Memupuk Ciayumajakuning jadi lumbung padi nasional

Memupuk Ciayumajakuning jadi lumbung padi nasional

Pupuk Indonesia saat melaksanakan panen padi pada lahan sawah hasil implementasi program Makmur di Cirebon, Jawa Barat, pada 29 November 2024. ANTARA/Fathnur Rohman.

Cirebon (ANTARA) - Hamparan lahan di Desa Cikawung, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada 4 Februari 2025, diselimuti udara panas yang menggigit kulit.

Saat itu mentari bersinar terang menyilaukan, sementara tanah di bawahnya kering dan berdebu, meski belum sampai retak.

Di tengah pemandangan itu, sekelompok petani duduk berkumpul di lahan terbuka. Sebagian dari mereka, memperlihatkan sejumput senyuman yang tergurat di wajahnya.

Beberapa petani lainnya di lahan itu, tampak menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya.

Lengkap dengan caping dan cangkul, para petani itu rupanya sedang bekerja membuat bedengan, yakni gundukan tanah yang ditinggikan serta diolah khusus untuk menanam benih tanaman.

Dengan penuh ketelitian, mereka meraup segenggam benih padi varietas gogo, kemudian menaburkannya ke dalam lubang-lubang kecil di bedengan tanah yang sebelumnya disiapkan.

Para petani di sini menerapkan teknik sederhana. Mereka membuat bedengan selebar 1-1,5 meter, melubangi tanah sedalam 2-3 sentimeter, lalu memasukkan 5 hingga 10 butir benih padi gogo di tiap lubang.

Tanpa perlu penyemaian awal, benih langsung ditutup dengan tanah dan disiram agar tetap lembap.

Petani saat menanam benih padi gogo untuk pelaksanaan program agroforestri di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (4/2/2025). (ANTARA/Fathnur Rohman)

Apa yang dilakukan kelompok petani di Desa Cikawung, Indramayu bukan sekadar menanam padi. Mereka dilibatkan dalam strategi besar ketahanan pangan nasional melalui program agroforestri.

Mereka dikerahkan untuk menyulap lahan kering maupun tanah tidak terurus, dengan menanam komoditas unggulan, salah satunya adalah padi.

Adapun padi gogo dipilih, karena benih dari varietas ini dapat tumbuh tanpa memerlukan pasokan air yang banyak, sehingga lahan kering pun bisa ditanami bahan pangan tersebut.

Langkah kecil yang mereka lakukan, mungkin tak langsung mengubah peta ketahanan pangan nasional. Namun, dengan konsistensi, dukungan pemerintah, dan kegigihan petani, bukan tak mungkin Indramayu akan menjadi salah satu lumbung pangan utama dari hasil agroforestri.

 

Baca juga: Pemkab Indramayu sediakan 4.400 ha lahan untuk program agroforestri

 

Halaman berikut: Kabupaten Indramayu penyangga ketahanan pangan


Penyangga

Kabupaten Indramayu didapuk sebagai salah satu lokasi di Jawa Barat, untuk penerapan program agroforestri pangan yang digagas oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Pertanian (Kementan).

Pemerintah Kabupaten Indramayu sendiri sudah menyediakan sekitar 4.400 hektare lahan yang tersebar di Kecamatan Gantar, Kroya, dan Terisi untuk mendukung pengembangan sistem agroforestri.

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni, dalam kunjungannya di Indramayu beberapa waktu lalu, menjelaskan sistem agroforestri memungkinkan pemanfaatan lahan yang terdegradasi (gundul), dengan menanam pohon hutan bersama tanaman pangan seperti padi gogo dan jagung.

Penerapan program ini, menurut dia, bertujuan mengembalikan fungsi ekologis lahan sekaligus meningkatkan produksi pangan.

Petani saat berkumpul di lahan pelaksanaan program agroforestri di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (4/2/2025). (ANTARA/Fathnur Rohman)

Sebelumnya, Kemenhut telah mengidentifikasi adanya potensi 1,1 juta hektare lahan yang bisa dikembangkan untuk ditanami padi gogo dengan sistem agroforestri.

Pemerintah memiliki tiga fokus utama dalam kebijakan ini yakni menjaga kelestarian hutan, mendorong pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kemenhut memproyeksikan target awal penanaman dari program ini mencapai 141.232 hektare pada 2025, dengan potensi produksi sekitar 419.462 ton beras dalam sekali panen.

Pola agroforestri ini diperkirakan mampu menghasilkan rata-rata 2 ton gabah kering per hektare, atau setara 1 ton beras.

Dengan skema ini, lahan-lahan yang selama ini kurang produktif, termasuk di Indramayu, bisa menjadi penyangga ketahanan pangan nasional.

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut kalau sistem agroforestri, bisa menjadi salah satu solusi untuk mempercepat target swasembada pangan.

Jika program ini terealisasi tahun ini, dia menilai Indonesia dapat mencapai target itu dalam waktu singkat, sebagaimana yang selalu disampaikan Presiden RI.

Ketika di Indramayu, Amran menekankan saat ini pemerintah pusat sangat mendukung sektor pertanian, sehingga berbagai kebijakan yang berpihak kepada petani sudah banyak digulirkan.

Sebagai contoh, pemerintah mengalokasikan Rp12 triliun untuk memperbaiki irigasi pada 2 juta hektare lahan, termasuk di Indramayu.

Selain itu, pada 2024, kebijakan pompanisasi yang dilakukan di berbagai wilayah terdampak El Nino dan La Nina, telah meningkatkan produksi pertanian hingga 1 juta ton lebih dengan nilai sekitar Rp17 triliun.

Pada sisi lain, pemerintah pun sangat memperhatikan nasib para petani dengan memprioritaskan kemudahan akses mereka terhadap pupuk subsidi.

Mentan memastikan semua program untuk sektor pertanian, kini sedang dijalankan agar target swasembada pangan bisa lebih cepat tercapai.

 

Baca juga: Menhut: Program agroforestri dukung swasembada pangan

 

Halaman berikut: Kota Mangga yang juga lumbung padi

 


Lumbung padi

Kabupaten Indramayu, yang dijuluki Kota Mangga, sedari dulu dikenal sebagai salah satu daerah penopang ketahanan pangan di Indonesia.

Dari data yang dihimpun ANTARA, sejak zaman Kesultanan Cirebon hingga masa kolonial Belanda, wilayah ini menjadi lumbung padi yang penting.

Perannya semakin menonjol pada masa pendudukan Jepang. Kala itu, Indramayu ditetapkan sebagai pemasok utama beras untuk pulau-pulau di luar Jawa, serta untuk dikirim ke medan pertempuran di Pasifik Selatan.

Indramayu disebut sebagai Gudang Beras Jawa, karena 55 persen dari total luas wilayahnya merupakan lahan sawah, dengan total mencapai 113.232 hektare saat itu.

Pada masa sekarang, kabupaten yang berada di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa itu kembali menegaskan diri sebagai lumbung padi nasional.

Selama 2024, produksi padi di daerah ini mencapai 1,7 juta ton gabah kering panen (GKP), setara dengan 1,49 juta ton gabah kering giling (GKG).

Kondisi tanaman padi siap panen di lahan sawah di Ciayumajakuning, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman)

Bupati Indramayu Nina Agustina mengatakan capaian tersebut, menjadikan Indramayu sebagai penghasil padi terbesar di Jawa Barat bahkan Indonesia.

Luas sawah di Indramayu mencapai 125.442 hektare, dengan 112.000 hektare masuk kategori lahan dilindungi. Kawasan ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan sekaligus simbol identitas agraris bagi masyarakat setempat.

Kabupaten dan kota lain yang masuk ke dalam wilayah aglomerasi Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan) turut memainkan peran penting dalam produksi padi, meskipun cakupannya tak sebesar Indramayu.

Di Kabupaten Cirebon, produksi padi sepanjang 2024 mencapai 560.713 ton, dengan 359.473 ton di antaranya telah diolah menjadi beras berkualitas.

Kepala Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Cirebon Alex Suheriyawan menuturkan, keberhasilan ini tidak lepas dari optimalisasi pengelolaan lahan sawah, meski dihadapkan dengan tantangan cuaca ekstrem.

Untuk 2025, Distan Cirebon menargetkan produksi padi mengalami penyesuaian menjadi 528.824 ton, dengan beras diproyeksikan mencapai 339.029 ton. Faktor cuaca dan keterbatasan lahan menjadi pertimbangan utama dalam penyesuaian ini.

Guna menjaga produktivitas, pemerintah daerah setempat fokus pada perbaikan jaringan irigasi dan pemanfaatan benih unggul.

Sementara itu, di Kota Cirebon, keterbatasan lahan menjadi tantangan utama untuk sektor pertanian. Dengan luas sawah yang tersisa hanya 111 hektare, produksi padi per tahun berkisar di angka 900 ton.

Meski demikian, produktivitas lahan meningkat hingga 7 ton per hektare, naik dari rata-rata sebelumnya yang berkisar 5-6 ton.

Elmi Masuroh, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP3) Kota Cirebon, mengungkapkan di kotanya saat ini hanya ada 15 kelompok tani (poktan) dengan masing-masing kelompok beranggotakan sekitar 15 petani.

Kota Cirebon, kata dia, memang bukan daerah agraris. Namun pihaknya tetap berupaya memberdayakan para petani, setidaknya mereka bisa bertahan secara ekonomi dengan menggarap lahan yang tersedia.

Di Kabupaten Kuningan, produksi padi pada 2024 tercatat lebih dari 353.146 ton dengan tingkat produktivitas mencapai 62,03 kuintal per hektare.

Pemkab Kuningan menerapkan strategi panen raya serentak dan percepatan tanam, supaya menjaga produktivitas lahan agar tetap optimal sepanjang tahun.

Berbeda dengan Kuningan, Kabupaten Majalengka menghadapi penurunan luas panen. Pada 2024, luas panen padi hanya mencapai 87.013 hektare, turun 13,09 persen dibandingkan 2023.

Produktivitas padi pun mengalami penurunan dari 58,77 kuintal per hektare pada 2023 menjadi 55,50 kuintal per hektare pada 2024.

 

Baca juga: NTB mulai Gerakan Satu Desa Satu Demplot Agroferestri di Sumbawa

 

Halaman berikut: Manfaat program pupuk bersubsidi


Pupuk jadi kunci

Indra (53), petani asal Kuningan, Jawa Barat, merasakan langsung manfaat program pupuk bersubsidi. Dengan harga pupuk nonsubsidi yang perbedaannya bisa dua hingga tiga kali lipat, subsidi menjadi penyelamat bagi petani kecil seperti dirinya.

“Tanpa subsidi, mungkin saya sudah tak sanggup lagi bertani,” ujarnya kepada ANTARA.

Menurutnya, program membantu menekan biaya produksi untuk menggarap sawah, serta menjaga keberlangsungan usaha pertanian yang digelutinya selama hampir 16 tahun.

Peran poktan pun, lanjut dia, sangat vital. Melalui kelompok ini, petani saling mendukung dalam pendaftaran serta pengadaan stok pupuk bersubsidi.

Inovasi untuk mempermudah distribusi pupuk subsidi juga sudah dilakukan. Kini, petani cukup membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk menebus pupuk bersubsidi di kios resmi.

Selanjutnya, petugas akan memindai NIK pada KTP untuk mengakses data petani di sistem e-Alokasi. Transaksi dilakukan melalui aplikasi i-Pubers, yang dilengkapi teknologi geo-tagging dan timestamp untuk memastikan penyaluran tepat sasaran.

Pemerintah daerah menyambut baik terobosan ini. Wahyu Hidayah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Diskatan) Kabupaten Kuningan, menyebut inovasi ini sebagai langkah transformasi penting di sektor pertanian.

Pihaknya juga sangat mengapresiasi pelaksanaan program diskon pupuk nonsubsidi dari PT Pupuk Indonesia pada 2024, yang memberikan solusi tambahan bagi petani.

Di daerahnya, petani menerima sebanyak 5.000 kupon diskon sebesar 40 persen yang disediakan untuk menebus pupuk nonsubsidi jenis Urea Nitrea dan NPK Phonska Plus dengan kemasan 25 kilogram.

Program ini dilaksanakan di 42 titik, termasuk Kuningan dan Cirebon, sehingga petani saat itu dapat membeli pupuk nonsubsidi dengan harga lebih terjangkau.

Tidak hanya diskon, perusahaan plat merah itu memiliki program lain untuk membantu petani di sejumlah daerah yakni dengan menggelar rembuk tani.

Petani membawa gabah hasil panen dari lahan sawah di Cirebon, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman)

Officer Pendukung Penjualan Wilayah 1 Pupuk Indonesia Drikarsa menyampaikan, program tersebut melibatkan para petani di pelosok daerah. Pihaknya mendengarkan berbagai kendala yang dihadapi petani, mulai dari akses hingga distribusi pupuk.

Dari forum ini, lanjut dia, berbagai solusi diberikan agar subsidi benar-benar sesuai kebutuhan petani.

Ia mengemukakan untuk memastikan subsidi tepat sasaran, pupuk bersubsidi hanya diberikan kepada petani yang terdaftar dalam sistem e-RDKK, dengan batas lahan maksimal dua hektare.

Teknologi seperti aplikasi i-Pubers dan Distribution Planning and Control System (DPCS) digunakan untuk memantau distribusi secara real-time.

Ia juga mengungkapkan pada 2024, Kabupaten Cirebon memperoleh peningkatan alokasi pupuk bersubsidi dari 1.711 ton menjadi 48.880 ton untuk 77.000 petani.

Dengan berbagai upaya tersebut, pihaknya optimis dapat meningkatkan efektivitas distribusi pupuk subsidi, serta membantu meringankan beban produksi petani kecil di Cirebon dan sekitarnya.

 

Baca juga: Memetik inspirasi dari praktik agroforestri desa Sungai Merah Jambi

 

Halaman berikut: Program memakmurkan petani


Makmur bersama petani

Dulu hamparan sawah di Desa Leuwidingding, Kecamatan Lemahabang, Cirebon hanya menghasilkan panen pas-pasan.

Pupuk subsidi yang digunakan petani cepat habis, padi tampak lemah, dan serangan hama seakan tak terelakkan.

Namun, pada akhir November 2024, hamparan sawah itu bercerita lain. Gabah melimpah, padi tampak segar, dan petani tersenyum puas.

Inilah transformasi yang dialami Syaefudin, seorang petani di Desa Leuwidingding, yang bergabung dengan program Makmur dari Pupuk Indonesia sebagai mitra binaan.

Sejak bergabung dengan program ini pada 2023, hasil panennya meningkat dua kali lipat.

Jika dulu dari setengah hektare sawahnya hanya menghasilkan 2 ton GKG, panen terakhir bisa mencapai lebih dari 4 ton. Kuncinya? Pemupukan yang lebih optimal memakai pupuk nonsubsidi.

Dia bercerita, pupuk subsidi memang membantu tahap awal pertumbuhan tanaman, tetapi pemupukan lanjutan dengan pupuk nonsubsidi memberikan hasil yang lebih baik.

"Dulu per hektare butuh 4 kuintal pupuk, sekarang cukup 2,5 kuintal. Padi pun lebih sehat, tidak kering kerontang terkena hama," ungkapnya.

Petani seringkali dihadapkan pada dilema antara harga dan kualitas. Pupuk nonsubsidi memang lebih mahal misalnya, pupuk jenis Phonska subsidi seberat 50 kilogram seharga Rp120 ribu, sementara yang nonsubsidi hanya 25 kilogram tetapi berharga Rp250 ribu.

Namun, Syaefudin membuktikan kalau investasi lebih ini sepadan dengan hasil panen yang meningkat drastis.

Syaefudin, seorang petani muda, yang menjadi mitra binaan dalam program Makmur di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman)

Ia menuturkan dari total 60 hektare sawah yang dikelola dua kelompok tani di desanya, sebanyak 120 ton gabah telah diserap Bulog.

Harga jual pun menguntungkan, dengan GKG dibeli Rp7.400 per kilogram dan gabah basah Rp6.500 per kilogram.

“Dengan kalkulasi sederhana, keuntungan yang diperoleh petani pun meningkat signifikan berkat program Makmur,” tuturnya.

Dia menilai program Makmur bukan sekadar pemberian pupuk, melainkan sebuah ekosistem pertanian yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Dalam lawatannya ke Cirebon, Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia Tri Wahyudi Saleh menjelaskan program ini melibatkan berbagai pihak, termasuk BUMN dan Bank Indonesia.

Bantuan pompa listrik serta perluasan jaringan irigasi, menjadi faktor penentu dalam peningkatan produktivitas pertanian di desa ini. Teknologi irigasi yang lebih baik turut mendorong efisiensi biaya.

Pihaknya mendata berkat program ini, produktivitas sawah di Desa Leuwidingding, Cirebon, meningkat dari 5 ton menjadi 7 ton per hektare.

Sementara untuk pendapatan petani, dia mengatakan nilainya melonjak dari Rp19,6 juta menjadi Rp33 juta per musim panen.

Tak hanya untuk padi, program Makmur juga diterapkan pada berbagai komoditas seperti jagung, singkong, kopi, dan hortikultura.

Pihaknya menargetkan perluasan program ini hingga 500 ribu hektare pada 2025, dengan 200 ribu hektare untuk padi dan sisanya untuk komoditas lain.

Lalu, selama periode 2024, program ini telah mencakup 450 ribu hektare lahan dengan lebih dari 200 ribu petani binaan.

Bagi petani di Desa Leuwidingding, program ini telah membuka jalan menuju ketahanan pangan dan kesejahteraan.

Meski harga pupuk nonsubsidi lebih tinggi, hasil panen yang lebih besar membuktikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan adalah investasi yang berlipat ganda.

Berkat kolaborasi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga BUMN, para petani di Ciayumajakuning tak lagi ragu karena mereka yakin kalau tanah sawah yang selalu digarap adalah sumber kemakmuran yang sesungguhnya.

 

Baca juga: Peneliti antisipasi pengaruh agroforestri sawit untuk petani kecil

Baca juga: Menhut lepas 9 ton produk hasil agroforestri ke Jepang

 

Pewarta : Fathnur Rohman
Editor: Dadan Ramdani
COPYRIGHT © ANTARA 2025