Barabai, (Antaranews Kalsel) - Muhammad Rizani dan Rika Fitriani adalah petugas kesehatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, yang ditempatkan di belantara Pegunungan Meratus, salah satu daerah yang bukan hanya masih minim infrastruktur tapijuga medan yang cukup berat.
Bagaimana tidak, untuk menuju ke tempat tugas, di Puskesmas Tandilang, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT) HST, tepatnya di Desa Aing Bantai, keduanya harus menumpuh perjalanan antara enam hingga sepuluh jam dengan berjalan kaki, karena belum ada jalan yang bisa dilalui sepeda motor.
Sejak tujuh bulan yang lalu, Riza, alumni D3 Keperawatan Akper Murakarta Barabai dan Rika alumni Gizi di Poltekkes Kemenkes Banjarmasin bertugas di Desa Aing Bantai, sebagai petugas kesehatan dengan status pegawai tidak tetap (PTT) dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalsel.
Riza mengungkapkan, kondisi di lapangan selama bertugas sangatlah sulit, jarak yang harus ditempuh dan juga tanjakan pegunungan yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki, membuat tugas mereka terasa berat.
Bukan hanya medan yang berat, perjalanan juga cukup berbahaya dan membahayakan keselamatan, tidak jarang mereka juga harus berhadapan dengan binatang liar, sepert ular, anjing dan lainnya.
"Ketika melakukan perjalananan berdua, tentu berbahaya bagi keselamatan kami. Karena belum tahu apa-apa, alam dapat bersahabat atau malah sebaliknya, apalagi berhadapan dengan alam bebas, istilahnya hukum rimba berlaku," katanya.
Kondisi tersebut diperparah saat hujan, mereka akan terjebak di seberang sungai yang pasang, sehingga harus menunggu sungai kembali surut, yang berarti perjalanan ke tempat tugas memakan waktu lebih lama.
Hal serupa juga dialami Rika. Menurut dia, bertugas di pedalaman merupakan pengalaman pertamanya. Sehingga, awal ditempatkan bertugas dia merasa tugas tersebut berat apalagi tidak ada pengalaman untuk di alam bebas. Beda halnya dengan Riza yang memang sebelumnya, memiliki jiwa petualang dan penggiat alam di HST.
Menurut dia, sudah tak terhitung dia jatuh terpeleset, keseleo, bahkan digigit binatang seperti pacat (lintah) saat di perjalanan menuju Desa Aing Bantai.
Namun semakin semakin lama, rasa nyaman mulai timbul, semuanya menarik, yang pasti apapun yang terjadi, baik itu tantangan rintangan pada perjalanan yang ekstrem, menjadi lebih mudah dihadapi.
"Intinya, untuk bisa bertahan, setiap perjalanan yang dilalui harus dijalani dengan sabar, ikhlas dengang niat tugas yang diemban untuk membantu sesama dan mencari rezeki, Insya Allah selamat sampai ke tujuan. Percayalah akan ada pelangi setelah hujan," ungkap Rika.
Meski tempat tugasnya sangat terpencil, jauh dari ibukota HST atau Kota yang pernah ia jadikan tempat tinggal, saat berkuliah, tetapi banyak pelajaran dan hikmah yang dirasakan.
Dari perjalanan setiap kali berangkat bertugas, Rika mengaku, dirinya semakin mengerti arti kehidupan, bagaimana bersyukur dan saling menyayangi, terutama dengan warga masyarakat adat.
Saat bertugas ke Aing Bantai, keduanya tidak menetap lama, yaitu dua kali dalam satu bulan. "Satu kali kami berangkat, biasanya tinggal dulu di Puskesdes Desa, selama satu minggu atau bahkan hingga sepuluh hari, tergantung stok bekal dan obat-obatan yang kami bawa, kalau lebih cepat habis kami juga harus segera turun gunung," lanjut Riza.
Kesehatan
Riza mengungkapkan, kendati sejak puluhan tahun di desa tersebut belum pernah tersentuh oleh petugas kesehatan, namun rata-rata masyarakatnya cukup sehat, hingga kini belum ditemukan gejala penyakit yang cukup berat diderita oleh masyarakat.
Mungkin hal itu terjadi karena pola hidup masyarakat, yang banyak bergerak karena harus naik turun gunung, udara yang sejuk dan pola makan yang masih terjaga.
Bulan pertama masuk ke desa Aing Bantai, tambah Riza, masyarakat belum terbiasa dengan pengobatan medis, karena selama ini, mereka memilih pengobatan secara tradisional, yang bahannya ada di sekitar tempat tinggal mereka, seperti dedaunan, akar-akaran, dan buah-buahan seperti halnya tanaman toga.
Kalau ada penyakit yang tidak diketahui obatnya, dan tidak sembuh-sembuh, masyarakat menganggapnya, penderita terkena kutukan atau dalam bahasa banjar adalah katulahan.
Bila sudah menghadapi penyakit tersebut, warga akan mengadakan ritual pengobatannya dengan dengan sesajen menurut kepercayaan Kaharingan.
Setelah tim kesehatan dari pemerintah masuk, sedikit demi sedikit pengetahuan masyarakat sekitar bertambah, walaupun tidak serta merta warga langsung mempercayainya, namun kini masyarakat mulai bersedia datang ke puskesmas.
"Awalnya, tidak ada warga yang bersedia datang berobat, apalagi memeriksakan kesehatan mereka. Namun lama kelamaan, kebiasaan masyarakat berubah, mereka mulai peduli untuk memeriksakan diri setiap kali petugas kesehatan datang ke desa," katanya.
Penyakit yang sering diderita masyarakat Aing Bantai adalah magh (gastritis), rematik atau asam urat, dan nyeri otot (myalgia).
walaupun rata-rata warga Pegunungan Meratus adalah perokok berat, namun sangat jarang ditemukan penyakit yang disebabkan oleh rokok, seperti asma dan darah tinggi. "Mungkin karena kebiasaan mereka yang selalu berjalan kaki, sehingga badan mereka selalu segar bugar,"katanya.
Sementara itu, menangani kelahiran, masyarakat juga mengandalkan kemampuan dukun beranak untuk membantu setiap kelahiran, namun kini setelah ada tim kesehatan, selain dukun beranak, pertolongan kelahiran juga didampingi tim kesehatan.
Reza mengungkapkan, selain keterbatasan infrastruktur dan kesehatan, masalah pendidikan juga harus mendapatkan perhatian serius, karena masih banyak anak-anak usia sekolah yang buta huruf.
"Cukup banyak kekurangan yang harus dibenahi, untuk memenuhi hak masyarakat yang hidup di rimba Meratus, namun demikian, kesederhanaan dan kemampuan masyarakat untuk mengikuti harmoni alam, membuat seluruh kesulitan yang terjadi menjadi tidak terasa," katanya.
Rika mengungkapkan, perjalanan bertugas di Rimba Meratus, banyak memberikan pelajaran berharga bagi dirinya, yang harus banyak disyukuri, karena pendidikan yang mereka tempuh, bermanfaat bagi masyarakat. Bahkan memiliki kebanggaan sendiri karena bertugas di Desa sangat terpencil.
Walaupun kata Rika yang diamini Riza, gaji yang didapat sebesar Rp3,7 juta hampir tidak cukup untuk biaya hidup dan operasional saat menjalankan tugas.
Sebab dari gaji tersebut, dipotong untuk biaya logistik setiap kali naik ke tempat tugas, setelah mengambil obat-obatan ke dinas Kesehatan sebesar Rp1,5 juta.
Dalam satu bulan, minimal dua kali harus turun ke Kota Barabai, untuk mendapatkan obat-obatan yang habis dimanfaatkan selama sepuluh hari di desa Aing Bantai.
"Namun demi pengabdian dan kesehatan masyarakat pedalaman kami sangat ikhlas melakukannya walaupun yang pastinya nyawa menjadi taruhannya," katanya.
Riza dan Rika berharap, pemerintah daerah dapat memperhatikan dan mendukung tugas mereka saat bertugas di daerah sangat terpencil.
Seperti dukungan transportasi paling tidak untuk menuju Desa Batu Perahu. Karena, menuju Desa Aing Bantai, keduanya perlu Dana untuk logistik pribadi, bahkan tidak jarang porter yang membawa obat-obatan.
"Saya bersyukur, Bupati Abdul Latif bersedia terjun langsung meninjau kondisi warga pedalaman, sehingga ikut merasakaan perjuangan kami dan masyarakat, semoga bisa membawa perubahan, untuk akses ke Desa dan petugas kesehatan," katanya.