Jakarta (ANTARA) - Pemohon uji materi UU Penyiaran pada Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), menilai pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebut ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum.
"Ketiadaan kepastian hukum dimaksud karena muncul perbedaan penafsiran terhadap UU Penyiaran, khususnya Pasal 1 Angka 2 apakah hanya mencakup penyiaran konvensional atau mencakup pula aktivitas penyiaran berbasis internet," ujar kuasa hukum RCTI serta INews TV sebagai pemohon, Imam Nasef, dalam sidang perdana di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (22/6)
Ia mendalilkan layanan konten video melalui internet pada dasarnya merupakan penyiaran, hanya berbeda metode pemancar luasan.
Padahal konten layanan over the top (OTT) ke ranah penyiaran tidak terelakkan seiring meningkatnya pengguna internet dari tahun ke tahun.
Migrasi pengguna siaran konvensional ke siaran berbasis internet pun signifikan, yakni berdasarkan studi Nielsen pada 2018, durasi menonton platform digital mendekati durasi menonton televisi konvensional.
Baca juga: Hidup tanpa siaran langsung olahraga itu hambar
Durasi menonton platform digital berbasis internet menjadi tertinggi kedua dengan rata-rata 3 jam 14 per hari, sementara durasi menonton televisi konvensional rata-rata 4 jam 53 menit per hari.
Namun, tingginya migrasi itu tidak diiringi kewajiban penyedia layanan OTT tunduk pada UU Penyiaran sehingga tidak harus memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia serta memperoleh izin siaran seperti penyelenggara siaran konvensional.
Selain itu juga tidak wajib tunduk pedoman perilaku penyiaran dan standar program penyiaran dalam membuat konten siaran agar tidak dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Baca juga: Kominfo dorong siaran televisi digital di daerah perbatasan
Untuk itu, RCTI dan INews TV meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.
Pengaturan siaran lewat internet disebut ambigu
Selasa, 23 Juni 2020 6:25 WIB