Jakarta (ANTARA) - Kepala programming ESPN Burke Magnus dipaksa berpikir keras, padahal sebelum ini dia terbiasa meracik dan merancang acara pada kondisi lebih mudah oleh berlimpahnya siaran langsung olahraga di mana-mana.
Tak seperti saluran-saluran televisi lainnya, ESPN khusus menyiarkan olahraga, dan siaran langsung pertandingan olahraga adalah andalan utama salah satu televisi kabel olahraga pertama di dunia yang didirikan oleh Scott Rasmussen dan Bill Rasmussen itu.
Tetapi andalan itu seketika lenyap setelah semua kompetisi dan turnamen menutup pintu guna menghindari amukan virus corona baru atau SARSCoV2 yang menciptakan penyakit COVID-19 yang sejak dua bulan lalu menjadi pandemi global itu.
Kini Magnus, dan banyak program director di televisi manapun di dunia termasuk Indonesia, mesti membiasakan diri melihat acara televisi tanpa siaran langsung olahraga atau tanpa cuplikan paling aktual event olahraga.
Padahal, acara-acara olahraga biasanya sudah jauh-jauh hari disiapkan, bahkan bertahun-tahun sebelumnya, sungguh runyam kalau tiba-tiba hilang dari peredaran.
Dan rusaknya jadwal olah raga oleh pandemi COVID-19 itu membuat ESPN dan outlet-outlet media lain seperti NBC Sports membentuk gugus tugas pemrograman yang khusus mengurusi pembatalan dan penundaan kompetisi, event atau turnamen.
Itu pula yang kini dikerjakan Magnus yang mesti menyusun acara-acara televisi yang bolong besar karena tiadanya siaran langsung olahraga.
Memang tak seluruh program acara ESPN diisi siaran langsung dan event aktual, karena ada juga beberapa yang sifatnya historikal yang biasanya ditayangkan dalam periode tertentu yang umumnya seminggu sekali.
"Bedanya sekarang kami harus melakukannya dalam 24 jam sehari," kata Magnus yang jabatan resminya adalah wakil presiden eksekutif untuk akuisisi dan penjadwalan program, dalam blog korporat ESPN.
Saking merana oleh terhentinya pasokan siaran langsung olahraga, ESPN mengekspos habis acara-acara yang dulu kurang begitu digembar-gemborkan.
Contohnya, miniseri dokumenter perjalanan sang legenda NBA Michael Jordan dan klubnya Chicago Bulls, "The Last Dance", yang episode awalnya tayang 19 April silam.
ESPN tidak sendirian karena stasiun-stasiun televisi lain semisal CBS, TNT, TBS dan banyak lagi, dan di negara-negara lain serta Indonesia, juga berlaku begitu.
Ini karena olahraga adalah bagian dari menu wajib siaran di manapun karena akan hambar acara tanpa ada informasi olahraga.
Di sisi lain, kerinduan menayangkan siaran langsung olahraga membuat stasiun televisi sport seperti ESPN memasang mata dan telinga lebar-lebar selama 24 jam penuh guna mengendus potensi acara yang lebih menantang ketimbang siaran ulangan, memutar arsip atau menayangkan dokumenter seperti "The Last Dance".
Endusannya bahkan sampai ke Korea Selatan, negara yang disebut-sebut paling berhasil menaklukkan COVID-19 sehingga membuatnya berani membuka lagi banyak sektor kehidupan, termasuk kompetisi olahraga.
Dan manakala liga bisbol Korea Selatan KBO yang menjadi salah satu dari sedikit liga di dunia yang lanjut berlaga masa pandemi, menyatakan akan menggelar kembali tikar kompetisi di bawah aturan tanpa penonton, ESPN datang menyambar.
Pada 4 Mei 2020 ESPN pun resmi menyepakati hak siar untuk menyiarkan enam pertandingan KBO setiap pekan, mulai 6 Mei kemarin.
Tiga sumber pemasukan
Kisah ESPN itu merepresentasikan perjuangan berat industri siaran dan olahraga yang sempoyongan dihantam dampak buruk krisis virus terhadap arus permintaan dan pasokan materi paling gres, dalam menghadapi tantangan hilang tiba-tibanya pemasukan andalan yang juga nyawanya olahraga profesional.
Intinya, bukan cuma merusak agenda-agenda olahraga dan menjerumuskan dunia kepada ancaman resesi yang melebihi Depresi Besar 1930-an, pandemi COVID-19 juga telah membuat berantakan industri olahraga di seluruh dunia.
Padahal industri ini menawarkan keuntungan luar biasa besar.
Pada 2018 saja, mengutip Forum Ekonomi Dunia, nilai industri olahraga global sudah mencapai 471 miliar dolar AS atau 0,6 persen dari total PDB dunia tahun itu yang sebesar 84,93 triliun dolar AS.
Angka itu 45 persen lebih tinggi dari 2011. Namun tahun ini diperkirakan terpangkas habis-habisan oleh pandemi COVID-19 yang menghentikan turnamen-turnamen dan kompetisi-kompetisi olahraga yang menjadi darahnya olahraga profesional di mana-mana.
Berhentinya kompetisi itu juga berdampak buruk terhadap atlet, tim, dan liga, serta tentu saja media yang menyiarkan pertandingan-pertandingan olah raga.
Harap diketahui, ada tiga aliran pendapatan utama yang diperoleh olah raga profesional besar manapun di dunia ini.
Ketiga sumber pendapatan itu adalah penyiaran (penjualan hak siar), komersial (sponsor dan iklan), dan pemasukan atau pendapatan dari pertandingan (tiket dan akomodasi).
Olah raga-olah raga besar yang memiliki basis penggemar global, termasuk sepak bola, sangat mengandalkan pendapatan dari hak siar yang porsinya secara global mencapai 10 persen dari nilai industri olahraga.
Tetapi dari angka 10 persen itu, 60 persen di antaranya cuma dibagi di antara lima liga besar olah raga di dunia.
Kelimanya adalah Liga Premier di Inggris, dan empat liga olahraga di Amerika Serikat, masing-masing liga hoki NHL, liga basket NBA, liga rugby NFL, dan liga bisbol MLB.
Global Media Report dari SportBusiness Consulting menyebutkan dari sekitar 49 miliar dolar AS total nilai hak siar olah raga pada 2018, 46,0 persennya lari ke sepakbola, 15,6 persen untuk NFL, 8,6 persen untuk bola basket, 7,4 persen menjadi bagian bisbol. Sedangkan motosport, kriket, golf, dan turnamen-turnamen multievent seperti Olimpiade mendapat bagian di kisaran 3,4 persen sampai 2,2 persen.
Kini mereka semua harus menghadapi kenyataan hilangnya siaran langsung dari layar kaca yang berarti tergerus habisnya pula pemirsa dan pemasukan iklan.
Beberapa mereka sudah tak tahan lagi, dengan membatalkan komitmen finansialnya kepada klub-klub, liga-liga, dan atlet.
Hal seperti ini mengancam kehidupan atlet yang pada titik lain mengancam daya tarik olahraga walau untuk sementara waktu.
Televisi-televisi pemegang hak siar olahraga seperti DAZN di Inggris dan Canal+ Prancis sudah mengatakan tak akan membayar hak siarnya selama tak ada pertandingan olahraga.
Itu jelas pukulan besar untuk liga-liga dan klub-klub olahraga. Namun beberapa liga seperti Liga Sepak Bola Jerman (DFL) berusaha mencari solusi lebih arif bersama mitranya Sky Jerman.
Milenial rindu siaran langsung
Di Inggris, dua raksasa pemegang hak siar olahraga, yakni Sky Sports dan BT Sport, yang keduanya memegang hak siar liga sepak bola paling makmur di dunia, Liga Premier, mengaku kehilangan banyak sekali pelanggan gara-gara absennya siaran langsung olahraga.
2019 lalu, nilai hak siar Liga Premier mencapai 6,2 miliar dolar AS atau 7,5 persen di bawah angka 2018. Namun penurunan itu terkerek oleh performa hak siar di luar negeri sehingga total nilai hak siar Liga Premier 2019 mencapai 11,1 miliar dolar AS.
Kedua pemegang hak siar itu khawatir keadaan seperti ini tak menemui jalan keluar.
Tak heran, mereka dan juga hampir seluruh pemegang hak siar diam-diam berharap dan aktif bermain di belakang layar, agar kompetisi-kompetisi besar olahraga dinyalakan kembali, sekalipun para pakar kesehatan seluruh dunia mengingatkan bakal munculnya gelombang kedua virus corona.
Namun keinginan mereka itu beresonansi dengan animo sebagian besar klub dan sebagian kalangan atlet, apalagi dampak pandemi sudah membuat mereka merana sampa gaji pun dipotong, bahkan ada yang terpaksa ditangguhkan. Lebih buruk lagi, ada klub olah raga yang langsung sekarat dan terancam tak bisa hidup lagi.
Keuntungan miliaran dolar AS yang sudah di depan mata, mengingat hampir sebagian besar liga olahraga berada di sepertiga terakhir musim kompetisinya, lenyap seketika.
Dan mereka tidak yakin bisa mendapatkannya lagi cepat-cepat, sekalipun kompetisi bergulir kembali dalam waktu dekat ini.
Namun Persepsi Konsumen terhadap COVID-19 yang dirilis lembaga konsultansi NextWave dari IMI menyebutkan bahwa konsumen akan seketika kembali menonton laga olahraga begitu kompetisi dan turnamen membuka tirainya lagi.
Paling tidak hal itu terlihat dari keinginan 38 persen laki-laki Generasi Z dan Milenial yang disurvei secara global oleh NextWave itu, menyatakan bahwa menonton siaran langsung olah raga bersama keluar dan sahabat adalah hal yang mereka rindukan selama pandemi.
Survei itu juga menangkap keinginan besar penggemar olah raga yang berjanji untuk manteng lagi di depan layar kaca atau ponsel pintar guna menyaksikan siaran-siaran langsung pertandingan olah raga begitu kompetisi yang terhenti pandemi ini dilanjutkan lagi.
Dan Cohen, konsultan hak siar media dan wakil presiden Octagon, memperkuat temuan survei tersebut.
Kepada SportsPro, Dan Cohen berkata bahwa industri olahraga tidak perlu khawatir berlebihan bakal kehilangan pemirsa karena begitu kompetisi digelar kembali orang akan berbondong-bondong menyaksikannya di platform manapun.
Dugaan Dan Cohen sepertinya cenderung benar, setidaknya itu terlihat dari besarnya antusiasme masyarakat dalam mengikuti kompetisi-kompetisi virtual olahraga yang melibatkan para bintang olahraga yang banyak dari mereka memang benar-benar bermain videogame.
Intinya orang memang sudah rindu menyaksikan pertandingan-pertandingan aktual olahraga.