Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bukti dan beberapa sampel kasus yang didalilkan pemohon tidak dapat meyakinkan terjadi pelanggaran pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
"Pemohon hanya menghadirkan bukti berupa model A.3 KWK, model C Daftar Hadir Pemilih Tambahan untuk beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS), hasil salinan KWK, salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara di TPS, hasil singkronisasi DPT dengan database kependudukan, DPT berbintang dan surat keterangan penduduk desa," Hakim MK Manahan Malontinge Pardamean Sitompul saat membacakan pertimbangan hakim dalam sidang putusan sengketa Pilkada Malaka di Gedung MK Jakarta, Kamis.
Setelah Mahkamah mencermati dalil pemohon mengenai rekayasa DPT yang dilakukan oleh termohon, kaa Manahan, mahkamah mendapati bahwa secara umum pemohon mendalilkan rekayasa DPT tersebut dimaksudkan agar pemilih dapat memilih lebih dari satu kali dan terjadi pengelembungan suara.
Sehingga, lanjutnya, Mahkamah tidak dapat mengetahui secara pasti apakah pemilih yang disebutkan oleh pemohon dalam permohonannya menggunakan hak pilihnya atau tidak. Lebih lanjut, apakah pemilih yang dimaksud menggunakan hak pilih lebih dari satu kali atau tidak sebagaimana dalil pemohon.
Hakim melanjutkan, pemohon juga tidak cermat dalam menuliskan dalil maupun rujukan bukti terkait yang diajukan. Kemudian rujukan bukti yang diajukan juga tidak sesuai dengan daftar bukti pemohon.
Setelah Mahkamah menyandingkan antara dalil pemohon dengan bukti termohon berupa formulir C, daftar hadir pemilih KWK dan formulir C daftar hadir pemilih tambahan KWK, Mahkamah menemukan sejumlah fakta di antaranya pemohon tidak dapat menguraikan secara pasti domisili dari pemilih atas nama Maria Bubu sebagaimana dalilnya.
Selanjutnya, pemohon menguraikan pemilih di TPS 6 dan TPS 7 padahal jumlah TPS di Desa Kereana, Kecamatan Bolu hanya lima TPS. Kemudian untuk DPT ganda sebagaimana yang diungkap sebelumnya, pemohon juga tidak dapat membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menggunakan hak pilih atau tidak.
"Kemudian jika pemilih yang dimaksud pemohon menggunakan hak pilihnya, pemohon juga tidak bisa membuktikan yang bersangkutan menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali," ujarnya.
Berdasarkan uraian tersebut yang menyatakan termohon melakukan rekayasa berupa pencantuman pemilih siluman dalam DPT dalam jumlah yang cukup besar, Mahkamah menyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Sengketa Pilkada Kabupaten Malaka diajukan oleh pasangan calon Stefanus Bria Seran bersama Wendelinus Taolin kepada MK dengan sejumlah pokok permohonan di antaranya pemohon mendalilkan termohon dalam hal ini KPU setempat melakukan rekayasa berupa pencantuman pemilih siluman dalam DPT model A.3-KWK dalam jumlah yang cukup besar di 395 TPS dan tersebar di 127 desa dan 12 kecamatan.
Dalam dalilnya, pemohon mengatakan pihak termohon menggunakan lima modus di antaranya nama identik, nomor kartu keluarga identik, identitas lain misalnya status perkawinan, alamat, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir identik namun nomor induk kepedudukan berbeda.
Selanjutnya, pemilih menggunakan KTP siluman, pemilih menggunakan model C pemberitahuan KWK yang dibagikan oleh KPPS untuk memilih di TPS yang namanya tercatat di DPT. Namun, setelah itu pemilih kembali menggunakan hak suaranya di TPS lain.
Pada amar putusan sidang perselisihan hasil pemilihan yang diketuai Ketua MK Anwar Usman tersebut, Majelis Hakim MK memutuskan menolak eksepsi termohon dan pihak terkait serta menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.