“Hanya 36,9 persen yang menyatakan bahwa penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparat sebagai pelaku tindak kriminal sudah terbuka/sangat terbuka. Mayoritas responden (54,9 persen) juga menyatakan sanksi etik saja tidak cukup bagi aparat yang melakukan tindak kriminal,” ucap Yoes.
Yoes mengungkapkan, sorotan juga ditujukan LSI terhadap berbagai peristiwa yang mengkritik lembaga penegak hukum namun justru membuat masyarakat harus meminta maaf terhadap institusi tersebut. Permintaan maaf dari masyarakat yang dianggap merendahkan lembaga penegak hukum itu antara lain kasus yang dialami Band Sukatani dan video viral patroli pengawalan.
“Sebanyak 47,4 persen responden memandang hal itu sebagai bentuk persekusi atau tekanan atas kebebasan berpendapat. Sementara 31,6 persen menyebut aparat penegak hukum telah melakukan tugasnya secara profesional,” ungkap Yoes.
Survei juga memberikan gambaran bahwa 19,8 persen responden menyatakan pernah berurusan dengan aparat penegakan hukum. Mayoritas menyatakan setuju terhadap pernyataan bahwa mereka sudah mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam mendapatkan keadilan dan diperlakukan secara adil dan manusiawi.
"Pernyataan ini tidak otomatis diartikan bahwa masyarakat pada umumnya telah memiliki pengetahuan dalam terhadap hak dan kewajiban mereka dalam mendapatkan keadilan dan diperlakukan secara adil, serta mengenai cara bagaimana mendapatkan keadilan. Publik cukup terbelah mengenai pernyataan terkait kekhawatiran harus membayar biaya tambahan kepada aparat penegak hukum di luar biaya yang ditetapkan. Indikasi awal adanya kekhawatiran publik atas pungli,” tutur Yoes.
Minim sosialisasi
Di samping itu, kata Yoes, meski rapat paripurna DPR RI pada 18 Februari 2025 menyetujui RUU KUHAP sebagai RUU Inisiatif DPR dan akan segera dibahas oleh Komisi III, ironisnya mayoritas publik tak mengetahui informasi tersebut.
“Hanya 29,7 persen yang saat ini mengetahui pemerintah dan DPR sedang membahas perubahan Kitab Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara 70,3 persen menyatakan tidak tahu bahwa saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas perubahan KUHAP,” ucapnya.
Baca juga: Ahli FH UI: Penguatan Dominus Litis pada revisi KUHAP perkuat gakkum
Ia menyebutkan bahwa awareness mengenai pembahasan perubahan KUHAP masih sangat rendah, hanya 29,7 persen yang mengetahui dibandingkan 70,3 persen yang tidak tahu bahwa saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas perubahan KUHAP.
Menurut Yoes, perlu sosialisasi untuk meningkatkan awareness masyarakat bahwa akan ada revisi KUHAP. Opini atau pendapat masyarakat umum dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi seluruh pihak terkait revisi KUHAP. Mungkin bisa dibilang saat ini RUU KUHAP hanya isu di elit, belum di masyarakat sepenuhnya.
Revisi KUHAP dinilai mendesak untuk segera dibahas mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah terbit melalui UU Nomor 1 tahun 2023. RUU KUHAP juga telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
