Banjarmasin (ANTARA) - Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengingatkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berpotensi menjadi instrumen represi bagi aparat penegak hukum (APH).
Berdasarkan keterangan tertulis diterima di Banjarmasin, Rabu, Fachrizal mengungkapkan beberapa pandangan menggagas agar dominasi penyidik dan upaya paksa dihilangkan agar KUHAP tidak menjadi alat represif bagi APH.
Termasuk, menurut Fachrizal, mengenai kewenangan aparat kepolisian tidak semua menangani seluruh tindak pidana, meskipun polisi sebagai penyidik.
Baca juga: Akademisi: Upaya paksa tersangka harus libatkan hakim lewat penuntut umum
“Ada pidana khusus, lingkungan, penyidikan itu scientific evidence. Setahu saya kalau penyidik di KLHK itu lulusan biologi, Bintara tamtama lulusan SMA pasti gak akan sanggup. Ini mau disentralisasi generalis,” kata Fachrizal.
Saat Focus Group Discussion (FGD) dan webinar bertema “Menimbang Konstitusionalitas RKUHAP: Prosedur Modern atau Instrumen Represi?”, Fachrizal menyatakan perlu reformasi hukum pada RUU KUHAP 2025.
Fachrizal mencontohkan reformasi hukum acara pidana di India melalui Bharatiya Nagarik Suraksha Sanhita (BNSS) 2023, yang menggantikan CrPC 1973.
Menurut Fachrizal, BNSS menginspirasi hal keterlibatan aktif jaksa sejak tahap awal penyidikan dan berperan pengawasan substantif terhadap proses penyidikan, termasuk atas laporan polisi atau First Information Report (FIR).
BNSS membentuk Directorate of Prosecution yang bertugas menilai kelayakan perkara sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Jaksa juga wajib mempertimbangkan pendapat korban sebelum mengajukan penghentian perkara, langkah yang memperkuat akuntabilitas penuntutan dan memperkaya aspek keadilan restoratif.
“Indonesia harus belajar dari pendekatan ini. Memperkuat fungsi dominus litis jaksa sebagai pengendali perkara dan tidak membiarkan proses penyidikan sepenuhnya dikendalikan oleh kepolisian tanpa mekanisme pengawasan yang jelas,” ungkap Fachrizal.
Facrizal menegaskan penyelidikan seharusnya tidak ada upaya paksa seperti tertuang pada draf Pasal 16 RUU KUHAP 2025 yang dinilai penyelidikan mirip dengan upaya paksa, pengolahan tempat TKP, pengawasan, wawancara.
Hal itu, ujar Fachrizal, berpotensi melanggar prinsip due process dan RUU KUHAP tidak memberikan batasan tegas mengenai tindakan-tindakan upaya paksa, dan ini berpotensi menabrak prinsip legalitas.
Fachrizal juga menyebut adanya ketentuan pada Pasal 16 tentang wawancara terhadap seseorang yang tidak boleh didampingi penasihat hukum sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak atas pembelaan.
Baca juga: Pakar: RUU KUHAP harus junjung HAM dan atur batas waktu penyidikan
Dirinya juga menyoroti keberadaan Pasal 22 RUU KUHAP, dimana penyidik bisa mendatangi seorang atau memanggil seseorang tanpa status tersangka.
Fachrizal mengakui memang ada praperadilan untuk pembuktian terhadap penetapan tersangka tersebut, tapi hanya orang tertentu.
Selain itu, Fachrizal menyatakan rekaman pemeriksaan yang diatur RUU KUHAP 2025 sebagai langkah maju tapi juga masih mengalami kemunduran karena rekaman pemeriksaan dikuasai penyidik dan tidak bisa diakses advokat.
“Padahal rekaman pemeriksaan seharusnya bisa diakses advokat selaku pihak pembela,” tutur Fachrizal.
Lebih jauh Fachrizal juga menyebut keberatan terhadap penahanan masih menjadi persoalan pada RUU KUHAP 2025 yang masih mengacu terhadap KUHAP saat ini, yaitu masyarakat dapat mengajukan komplain atas keberatan penahanan kepada atasan penyidik.
Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Gajah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengkritik RUU KUHAP masih terlalu konvensional yang memosisikan korban sebagai subjek hukum.
Meskipun hak korban telah diakui, dituturkan Sri, tidak diintegrasikan secara sistemik dalam mekanisme peradilan pidana.
Dirinya menguraikan hak atas pemulihan, kompensasi, restitusi, hingga partisipasi korban dalam proses hukum, masih bersifat deklaratif dan belum operasional.
Akademisi UGM Yance Arizona menggarisbawahi bahwa dari perspektif hukum tata negara, pembentukan RKUHAP sangat problematis karena minim partisipasi.
Yance juga menekankan bahwa RKUHAP sebagai hukum acara pidana berkaitan erat dengan hukum tata negara karena menyangkut kontrol atas kekuasaan negara untuk menggunakan kekerasan secara sah.
Dosen Fakultas hukum UGM Muhammad Fatahillah Akbar menitikberatkan pengaturan yang lemah tentang tindak pidana korporasi dalam RUU KUHAP.
Meskipun KUHP Nasional telah memuat klasifikasi tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, Akbar menilai RKUHAP justru tidak menyediakan mekanisme hukum acara yang cukup rinci dan berbeda antara korporasi jenis PT, CV, atau bahkan PT Tbk.
Baca juga: Publik dukung penyidik tangani pidana transparan secara setara pada RUU KUHAP