Banjarmasin (ANTARA) - Pakar hukum pidana dari Universitas Borobudur Ahmad Redi menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) harus menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengatur batas waktu penyidikan.
Redi dikonfirmasi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), Rabu, mengatakan ketiadaan batas waktu penyidikan tidak memberikan kepastian penegakan hukum sehingga banyak laporan pidana yang terkatung-katung.
Baca juga: Polhukam kemarin dari KUHAP baru hingga walikota Banjarbaru terpilih
Idealnya, Redi menuturkan pembaruan KUHAP dapat menjamin keseimbangan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan antara lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan pengadilan.
“Pembaharuan KUHAP idealnya mengatur jangka waktu maksimal untuk penyelidikan dan penyidikan guna memberikan kepastian hukum bagi tersangka dan masyarakat,” kata Redi.
Selain itu, Redi menyatakan batas waktu penyelidikan dan penyidikan dapat mencegah penyalahgunaan wewenang dari penegak hukum, mengantisipasi yang belum selesai menjadi terlalu lama, memastikan proses hukum berjalan efisien.
Redi sempat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Jakarta, Rabu kemarin.
Poin usulan lain yang menjadi perhatian serius Redi, mengenai kesetaraan penyidik pada pembahasan RUU KUHAP agar mengatur tegas kedudukan penyidik Polri, penyidik lain, dan PPNS secara setara dan sebanding.
“Hal itu guna memastikan efektivitas penegakan hukum, mencegah potensi penyalahgunaan wewenang, dan memastikan keadilan dalam proses peradilan pidana," ungkap Redi.
Di samping itu, Redi menekankan pentingnya pengaturan atas aksesibilitas penuntut umum dan advokat terhadap proses penyidikan, termasuk pemeriksaan saksi, ahli, tersangka dan barang bukti.
Pembaharuan KUHAP perlu juga mengatur koordinasi secara intensif dan substantif antara penyidik dan penuntut umum sejak dimulai penyidikan guna meningkatkan kualitas penyidikan dan efisiensi proses peradilan pidana.
Baca juga: Wamenkum Eddy jelaskan urgensi pemberlakuan KUHAP yang baru
Redi turut mendorong gelar perkara sebagai salah satu mekanisme koordinasi, bukan penentu tindak lanjut penanganan perkara agar proses penanganan perkara pidana dapat berjalan lebih efisien dan efektif.
Akademisi Universitas Borobudur tersebut juga meminta pembaruan KUHAP dapat memaksimalkan peran kejaksaan sejak perkara dinyatakan mulai penyidikan.
“Dengan langkah itu diyakini akan meminimalisir kasus besar seperti pagar laut terhenti karena petunjuk jaksa tidak ditindaklanjuti,” ucap Redi.
Pada KUHAP yang berlaku saat ini, dijelaskan Redi, jaksa terlibat langsung dengan penanganan perkara setelah dinyatakan lengkap atau P21.
Padahal jaksa harus mengarahkan proses penyidikan sejak awal (setelah SPDP) untuk memastikan relevansi dan kelengkapan alat bukti demi kepentingan pembuktian di pengadilan, papar Redi.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menilai urgensi RUU KUHAP memperkuat hak warga negara yang bermasalah dengan hukum, termasuk tersangka, termasuk saksi dan korban.
"Menurut saya yang paling penting saat ini adalah penguatan peoples di hadapan states,” tegas Habiburokhman.
Pasalnya, dituturkan Habiburokhman, peoples adalah tersangka yang bermasalah dengan hukum, termasuk juga saksi, korban. Sedangkan, states seperti penyidik dan penuntut.
Baca juga: Rancangan KUHAP 2025 dan KUHP nasional dianggap tak selaras