Banjarmasin (ANTARA) - Sejumlah akademisi menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (RUU KUHAP) harus memuat tindakan upaya paksa terhadap tersangka maupun saksi berdasarkan izin hakim pengadilan melalui penuntut umum atau jaksa.
“Kami mendorong Komisi 3 DPR RI untuk memperhatikan urgensi terkait pengaturan yang komprehensif terhadap upaya paksa agar tercapai perlindungan hak asasi para warga negara," kata Direktur Ekesekutif Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2FHUI) Daffa Putra Pratama melalui keterangan tertulis di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis.
Baca juga: Pakar: RUU KUHAP harus junjung HAM dan atur batas waktu penyidikan
Diketahui, LK2 FHUI, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila) dan BEM Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (FH UBL) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Jakarta, Kamis.
Daffa menuturkan usulan mengenai tindakan upaya paksa tersebut juga untuk memperkuat hak para tersangka atau terdakwa, saksi, korban, dan kelompok rentan pada KUHAP yang sedang dirancang Komisi III DPR RI.
LK2FHUI memberikan empat rekomendasi lain pada pembahasan RUU KUHAP untuk memprioritaskan perlindungan terhadap hak asasi manusia, penerapan due process of law yang adil, penerapan asas praduga tak bersalah menjadi salah satu rekomendasi diberikan.
Komisi III DPR RI pun diminta mengutamakan mekanisme keadilan restoratif, rehabilitatif, retitutif yang ditetapkan dengan prosedur pengawasan yang jelas dalam pembentukan KUHAP yang sedang dirancang.
Selain itu, LK2 FH UI juga mendorong Komisi Bidan Hukum DPR RI itu mengakomodir pengaturan dan pemanfaatan teknologi dan informasi digital berdasarkan kepentingan transparansi serta proses keadilan.
Sementara itu, Ketua BEM Unila Ammar Fauzan menegaskan pengenaan upaya paksa perlu mendapat pengawasan ketat dari hakim sebagai pemeriksa pendahuluan.
Baca juga: Wamenkum Eddy jelaskan urgensi pemberlakuan KUHAP yang baru
"Untuk menguji urgensi pengenaan upaya paksa guna mengawasi sistem peradilan pidana, mewujudkan sistem peradilan pidana lebih akuntabel, serta menjunjung tinggi presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah,” tutur Amar.
Dikatakan Amar, pengajuan upaya paksa dari penyidik Polri, penyidik lain dan PPNS melalui penuntut Umum untuk mendapat persetujuan penetapan dari hakim.
BEM Unila juga menyoroti kesetaraan penyidik yang agar tidak terpusat pada satu lembaga karena potensi penghentian pengaduan atau penanganan kasus semakin tinggi.
Sehingga, menurut Amar, penyidik cenderung tajam ke bawah tumpul ke atas, termasuk sejumlah laporan pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Sebagai contoh perkara dengan ketidakpastian hukum antara lain pemerasan warga Malaysia penonton DWP oleh oknum anggota Polri, peristiwa polisi menembak siswa SMK di Semarang, kasus Afif Maulana dan penetapan tersangka terhadap mahasiswa UI yang tewas kecelakaan.
BEM Unila sambung Ammar, menilai KUHAP yang berlaku saat ini tidak memberikan ruang bagi jaksa atau penuntut umum untuk mengawasi penyidikan secara substantif.
“Sementara hakim baru berperan saat praperadilan atau tahap persidangan,” ungkap Amar.
Baca juga: Rancangan KUHAP 2025 dan KUHP nasional dianggap tak selaras