Jakarta (ANTARA) -
Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Violla Reininda mengkritisi rencana pelaksanaan pemilu yang digelar secara serentak pada 2024.
Violla dalam siaran persnya, Jakarta, Rabu, berpendapat enam poin desain pemilu serentak yang telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2019 tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang seringkali timbul ketika pemilu dilaksanakan.
"Karena permasalahan seharusnya segera diselesaikan berhubungan dengan unsur prinsipil dan teknikal," ujarnya.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh MK, kata dia, sebenarnya untuk meningkatkan sistem presidensil yang efektif, tetapi sayangnya hingga saat ini MK belum mendefinisikan secara mendalam.
Dia mencontohkan upaya yang dilakukan MK hanya sampai memberikan 6 alternatif desain pelaksanaan pemilu serentak, tetapi pemutusan mana yang akan dipakai, sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakan (DPR).
"Desain pelaksanaan pemilu serentak bukan hanya urusan waktu, tetapi juga mencakup penegakan hukum dan pembentukan konsep pemilu serentak secara holistik," paparnya.
MK seharusnya juga memperhatikan teknik-teknik dan prosedural yang sekiranya dapat memicu permasalahan dalam pelaksanaan pemilu serentak. Contohnya, seperti hak-hak konstitusional warga negara yang tidak terpenuhi meskipun mereka memiliki KTP.
"Hal ini terjadi sempat terjadi pada tahun 2009, dimana banyak warga yang memiliki KTP tidak dapat terpenuhi hak-hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diberikan undangan oleh pemerintah atau panitia setempat," tuturnya.
Oleh karena itu, Kode Inisiatif memberikan lima catatan kritis. Pertama, hak konstitusional pada pemilih, hak atas calon-calon pemimpin cadangan dari kelompok-kelompok minoritas juga perlu diperhatikan.
Kedua, penyelenggaraan pemilu secara serentak juga pasti akan banyak memberatkan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).
Ketiga, selain unsur teknis dan prosedural, agar pemilu dapat terwujud sebagai bentuk pemenuhan hak demokrasi yang konstitusional yang utuh, maka manajemen dan penegakan hukum pemilu juga harus diperhatikan.
Keempat, dalam pemilu serentak tahun ini ditakutkan masyarakat juga akan hanya fokus untuk pemilu presiden, sehingga pengawasan pemilu tidak optimal dan maraknya pelanggaran mungkin terjadi, sebagaimana pada pemilu 2019.
Kelima, khusus untuk Pemilu di tingkatan lokal (Pilkada), lebih baik dilaksanakan di tahun 2022 dan 2023. Atau bisa juga di undur di tahun 2025 jika ada perubahan dalam kerangka hukum dan antisipasi pengadaan pelaksana tugas (plt) bisa dilakukan.
"Hal itu dilakukan agar penyelenggara pemilu dapat lebih fokus dan penegakan hukum bisa dilakukan secara maksimal. Sehingga bangunan demokrasi Indonesia lebih berkualitas," tegasnya.