Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Dasar keputusan Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor untuk mencabut tiga izin usaha pertambangan perusahaan PT Sebuku di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru lantaran adanya keberatan dari masyarakat disanggah pihak penggugat.
Bahkan pengacara PT Sebuku selaku penggugat, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra menyatakan komplain masyarakat tersebut hanya asumsi.
"Kegiatan penambangankan belum dilakukan, jadi jika ada warga yang mengatakan kalau ada penambangan nanti ada pencemaran udara, kalau ada penambangan saya ngga bisa mancing lagi di laut. Nah itukan asumsi-asumsi," terangnya.
Hal itu dikatakan Yusril kepada wartawan usai persidangan perkara gugatan PT Sebuku selaku penggugat dan Gubernur Kalsel selaku tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banjarmasin, Jumat.
Menurut dia, asumsi tidak bisa mengalahkan hasil kajian akademik yang tertuang dalam dokumen Amdal. Maka dari itu, kalau keberatan masyarakat terkait penurunan daya lingkungan misalnya, bisa Amdal dibuka.
"Gubernur mencabut tiga izin usaha pertambangan perusahaan karena penolakan warga tidak bisa dijadikan dasar, apalagi mencabut izin tambang tanpa melalui tahapan peraturan perundang-undangan yang berlaku," paparnya.
Jika pun belakangan ada kajian lingkungan yang sama, ungkap Yusril, harusnya dikonfrontir dengan studi Amdal yang lama, yakni di Inspektur Tambang dan Dinas Lingkungan Hidup yang ada di kabupaten.
"Apabila terdapat kekeliruan, maka dilakukan perbaikan pada izin lingkungan, bukan mencabut izin tambangnya. Bahkan, izin tambang bisa digugat sendiri dan izin lingkungan bisa digugat sendiri. Artinya, kalau masalah lingkungan ya izin lingkungan bisa diperbaharui berkali-kali," tandas pakar hukum tata negara yang pernah menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara itu.
Sementara kuasa hukum tergugat Dr Andi Muhammad Asrun menegaskan keluhan masyarakat Pulau Laut soal keberadaan tambang tidak bisa dikatakan sebagai asumsi.
"Apakah diragukan juga kredibilitas akademisi Universitas Lambung Mangkurat, dimana terbitnya Peraturan Bupati No 30 tahun 2004 tentang larangan melakukan aktifitas pertambangan di Kabupaten Kotabaru berdasarkan kajian akademik. Kenapa mereka tidak konfrontir peraturan itu," tegasnya.
Apalagi, kata Asrun, penolakan masyarakat dilakukan terus secara berulang-ulang. Bahkan, keberatan masyarakat dan LSM setempat juga disampaikan ketika konsultasi publik terkait penyusunan Amdal perusahaan yang diketahui bermasalah.
"Padahal masyarakat tidak setuju, tetapi masukan negatif dari warga tidak dimuat dalam berita acara hingga kemudian Amdal tidak bisa diakses oleh publik," beber dosen Ilmu Hukum Universitas Pakuan Bogor itu.
Kalau pun semua orang setuju, tambah dia, bagaimana protes masyarakat yang berkelanjutan hingga kini masih terus saja disuarakan.
"Jadi, faktanya kerusakan akibat tambang jelas. Bukan sekedar daya serapan air. Namun air yang masuk di bekas tambang tidak bisa dipakai untuk kegiatan kehidupan yang lain. Sekarang yang tidak ada tambang saja potensi kerusakannya sudah diketahui dari hasil kajian, masa ketika kemudian rusak pasca tambang baru distop. Asumsi bagaimana jika kerusakan lingkungan yang luar biasa mengancam Pulau Laut di depan mata," tandasnya.
Keberatan Masyarakat Hanya Asumsi
Jumat, 18 Mei 2018 21:54 WIB
Kegiatan penambangan kan belum dilakukan, jadi jika ada warga yang mengatakan kalau ada penambangan nanti ada pencemaran udara, kalau ada penambangan saya ngga bisa mancing lagi di laut. Nah itukan asumsi-asumsi