Balangan (ANTARA) - Suara bercanda ria terdengar di suasana heningnya malam, di kawasan Desa Panggung, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan.
Waktu menujukkan pukul 03.00 waktu setempat, berarti masih dinihari, suara gelak tawa dan canda pun kian terdengar di keheningan, dan terlihat puluhan orang perempuan lagi bergelombol seraya bercanda persis di halaman rumah seorang warga yang lagi menggelar acara perkawinan, Senin 11 Juli 2022.
Tangan para perempuan yang berkumpul itu terlihat lagi menumbuk-numbuk, mengiris-iris, serta ada yang mengolak-olak rerempahan, sayuran, ikan, dan aneka macam yang dikerjakan, semuanya tak lain, hanya membuat masakanan atau sesajian untuk dihidangkan saat acara perkawinan pagi harinya hingga siang.
Solidaritas perempuan kawasan yang dekat kaki Pegunungan Meratus tersebut tak lain hanya untuk meringankan kerja pihak warga yang ingin menggelar acara selamatan perkawinan tersebut.
Para perempuan tersebut bergotong royong membuat hidangan lauk makan acara kawinan tersebut, yang biasanya adalah masakan gangan humbut (sayur kuah umbut kelapa), gangan waluh (sayur kuah labu), masak balamak (masak dengan santan), masak kecap, gangan cendol, dan banyak lagi aneka makanan tradisi yang sudah berkembang di kawasan aliran Sungai Pitap, Balangan tersebut.
Nyaris semua bahan yang dijadikan menu makanan perkawinan tersebut merupakan hasil sumbangan warga sendiri.
Aneka bahan makanan yang sudah diolah para perempuan tersebut kemudian oleh beberapa perempuan yang lain dimasukkan ke dalam kawah atau wajan besar kemudian direbus, lalu ditambah santan dan irisan ada yang ikan asin, ada pula yang ditambah dengan daging sapi, ayam, dan ada pula dengan ikan gabus panggang.
Aneka bahan, daging dan ikan tersebut, tergantung jenis masakannnya. Jikalau jenis masakannnya gangan humbut itu bisa dibuati ikan asin, jika gangan waluh bisa dibuati gabus panggang, dan jika daging sapi bisa masak karih, atau gangan cendol, kata Norhanah perempuan penduduk setempat.
Menurut Norhanah, kebiasaan ikut dalam gotong royong membuat makanan tersebut sudah lazim di kalangan ibu ibu setempat. Bagi siapa yang suka membantu dan ikut gotong royong, maka perempuan tersebut diingat warga dan jika perempuan tersebut nantinya juga menggelar kawinan maka warga lain akan ringan tangan membantunya.
Sebaliknya jika ada perempuan setempat enggan membantu acara semacam itu juga diingat warga, jika perempuan malas ini menggelar acara kawinan maka tidak bakalan warga lain juga ikut membantunya, itu sudah hukum sosial yang berlaku sejak dulu kata Norhanah sambil tersenyum.
Namun, tambahnya, hampir dipastikan warga setempat ikut membantu karena ada perasaan malu jika tak ikut membantu, dan selain itu memang ada rasa senang dalam kegiatan tersebut, mungkin karena ada canda ria walau tengah malam, dan juga ada makan-makan "pupuluran."
Pupuluran tersebut istilah setempat adalah aneka makanan kecil (snack) dari olahan warga setempat pula, seperti ubi rebus, pisang rebus, kue untuk-untuk, gabin, serta aneka biskuit atau kue kering lainnya.
Menurut Norsanah, bahan sebanyak itu dimasak bersama-sama dan kemudian setelah siang dimakan bersama-sama pula, yang bisa dikatakan dari warga untuk warga, yang melakukan acara perkawinan walau ada mengeluarkan biasa hanya sedikit saja.
Bila kelompok perempuan lagi membuat penganan berupa gangan di waktu bersamaan pula puluhan laki laki atau kelompok bapak bapak bergotong royong mengawah.
Mengawah adalah menanak nasi untuk sesajian perkawinan, biasanya puluhan buah kawah untuk menanak nasi, menggunakan kayu bakar, semuanya dikerjakan oleh bapak bapak dinihari itu pula.
Seorang tokoh masyarakat yang juga mantan Kepala Desa Panggung, Kecamatan Paringin Selatan, Suhardi, atau Pak Umu di Desa Panggung, Senin, menyebutkan nilai gotong royong tersebut masih kental dalam perkawinan adat di kabupaten tersebut.
Ia mencontohkan, saat penyelenggaraan perkawinan Nahli, putra dari Saidah dinilai cukup sukses, karena seluruh anggota keluarga kampung terlibat dalam acara perkawinan tersebut.
Seperti saat mencari kayu bakar, semua warga kampung, terutama prianya, turun ke hutan lalu mencari kayu bakar, kemudian membawanya ke desa dan dipotong kecil-kecil (ditungkih) hingga menjadi kayu bakar.
Kemudian untuk bahan yang digunakan dalam kegiatan dua hari dua malam, wargapun ikut mencarikan rerempahan untuk bahan bumbu masakan, kemudian menghadiahkan apa saja yang bisa digunakan untuk tuan rumah penyelanggara perkawinan tersebut.
Seperti ada yang hanya bisa berikan kelapa, maka kelapa diserahkan ke tuan rumah, ada yang bisa bantu beras, bantu labu, bantu umbut nyiur (umbut kelapa), bantu ikan asin, bantu gula merah, bantu gula pasir, dan ada yang hanya memberikan bantuan berupa uang.
Kemudian barang-barang hasil bantuan warga itulah yang dijadikan bahan untuk menu makanan suguhan saat hari `bamula` maupun hari puncak perkawinan.
Lalu untuk mengerjakan menu makanan itu pun semuanya dikerjakan orang kampung, seperti yang dikerjakan oleh laki laki yakni mengupas nyiur, membuat tungku masak, membuat tempat duduk untuk undangan makan, membuat balijawa (tempat penganten bersanding), membuat umbul-umbul, hiasan rumah, tenda-tenda, dan serubung.
Kemudian yang dikerjakan oleh kaum ibu-ibu atau perempuan seperti membuat santan, mengiris sayuran seperti labu, umbut kelapa, membuat bumbu-bumbu masak, sampai memasaknya secara rame-rame, sehingga dikerjakan secara gotong royong maka pekerjaan menjadi ringan, kata Suhardi.
Kemudian semua peralatan acara, seperti kawah (tempat masak nasi) dandangan, bakul, piring, gelas, rinjing, dan apa saja semuanya dipinjami oleh warga yang memiliki alat tersebut kepada penyelenggara perkawinan tersebut.
Dengan kentalnya gotong royong tersebut hampir dipastikan acara perkawinan Suku Banjar di pedalaman Kalsel tersebut, relatif selalu sukses, katanya.
Tingginya tingkat solidaritas perempuan dalam adat kawin di Balangan
Selasa, 12 Juli 2022 20:29 WIB