Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pengetahuan saksi karyawan swasta Indra Hartanto terkait pembelian mobil oleh tersangka mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD) dan menantunya Rezky Herbiyono (RHE).
Penyidik KPK, Jumat (7/8) memeriksa Indra sebagai saksi untuk tersangka Nurhadi dalam penyidikan kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011-2016.
"Penyidik mendalami pengetahuan saksi terkait dengan dugaan pembelian mobil oleh tersangka NHD dan tersangka RHE melalui pembayaran secara kredit pada Mitsui Leasing," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Dalam penyidikan kasus itu, penyidik KPK pada Jumat (7/8) juga telah menyita dari vila milik Nurhadi di Gadog, Megamendung, Kabupaten Bogor berupa belasan motor gede/moge, mobil mewah, dan sepeda yang sebelumnya telah diamankan penyidik KPK saat melakukan penggeledahan, Maret 2020 lalu.
"Termasuk pula dilakukan penyitaan terhadap aset tanah dan bangunan yang diduga ada hubungan kepemilikan dengan tersangka Nurhadi tersebut," ungkap Ali.
Terkait aset-aset mewah yang dimiliki tersangka Nurhadi, KPK juga telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk mengembangkan kasus Nurhadi tersebut ke arah dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka terkait kasus tersebut pada 16 Desember 2019. Selain Nurhadi dan Rezky, Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Diketahui, tiga tersangka tersebut telah dimasukkan dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Februari 2020.
Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta Selatan, Senin (1/6). Sedangkan tersangka Hiendra saat ini masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun penerimaan suap tersebut terkait pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar dan gratifikasi terkait perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar sehingga akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.