Listrik telah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat perkotaan hingga pedesaan meskipun ketersediaan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) hampir semua daerah di Indonesia masih minim.
Persoalan tingginya biaya produksi dan biaya operasional daya, membuat badan usaha milik negara tersebut belum mampu memenuhi semua kebutuhan listrik untuk masyarakat mulai dari Sabang sampai Merauke, dan dari Pulau Nias sampai Pulau Rote.
Biaya produksi dan daya yang masih mengandalkan bahan bakar dari fosil, baik yang berupa solar, "marine fuel oil (MFO), batubara maupun yang lain, membuat negara harus menggelontorkan triliunan rupiah untuk memberikan subsidi listrik bagi masyarakat.
Tingginya subsidi untuk listrik tersebut, membuat negara kewalahan membayar bahkan subsidi pada 2009 masih tersisa sekitar Rp4,6 triliun.
Sementara Badan Anggaran DPR dan pemerintah menyepakati subsidi listrik dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011 sebesar Rp40,7 triliun.
Untuk menekan dana subsidi listrik yang tinggi, mengharuskan pemerintah dan pihak yang terkait mencari solusi, antara lain menaikkan tarif dasar listrik (TDL) hingga mencari bahan bakar produksi yang harganya lebih murah.
Bahan bakar jenis MFO dan batubara adalah dua jenis bahan bakar yang lebih murah dibandingkan dengan solar.
"Indonesia tidak dapat mengandalkan jenis bahan bakar tersebut, karena suatu saat akan habis," kata General Manager PT PLN Kotabaru H Burhan.
Ia mengatakan ada alternatif bahan bakar yang lebih murah dan cukup tersedia yakni uranium dan pemerintah dapat menggunakannya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Menurut dia, memproduksi daya dengan tenaga nuklir jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar fosil.
"Bahkan biaya produksi dan biaya operasional bisa ditekan," ujarnya.
Namun, katanya, biaya pembangunannya lebih mahal dibandingkan dengan membangun pembangkit listrik dengan tenaga uap atau yang lain.
"Karena perlu teknologi tinggi dan perlu tingkat keamanan yang cukup, tidak seperti dengan apabila membangun pambangkit dengan menggunakan BBM," katanya menjelaskan.
Burhan mendukung pernyataan Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang bahwa Palangkaraya siap dijadikan lokasi studi kelayakan pembangunan PLTN.
Wacana tersebut, menurut dia, sangat baik, terlebih saat ini listrik di wilayah Kalimantan kedepan harus saling terhubung (interkoneksi).
"Pada 2014 listrik untuk wilayah Kalsel dan Kalteng sudah interkoneksi. Dilanjutkan dengan interkoneksi antara Kalsel, Kalteng, dan Kaltim," katanya.
Jika sudah saling terhubung, kebutuhan listrik akan cukup besar.
Solusinya adalah bisa menggunakan pembangkit tenaga nuklir, karena biaya modal awal yang besar itu sudah sesuai dengan kebutuhan juga sangat besar.
Seperti halnya di Pulau Jawa, pembangunan PLTN sudah sangat diperlukan, mengingat kebutuhan listrik di wilayah itu sudah mencapai kisaran 3.000 Megawatt (MW), kata Burhan.
"Apabila di Kalimantan akan dibangun PLTN, maka tingkat keamanannya harus jauh lebih baik dan perlu dicari lokasi atau pulau yang tak berpenghuni, untuk mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata dia.
Belajar dari kejadian di negara-negara lain, terutama yang telah menggunakan PLTN seperti Jepang, Indonesia harus lebih baik dalam keamanannya.
"Jepang yang sudah memiliki teknologi tinggi saja masih mengalami radiasi cukup besar, jadi semuanya itu jadi pelajaran," katanya.
Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan suatu saat untuk kebutuhan listrik di regional Kalimantan memerlukan pembangkit dengan menggunakan nuklir, karena kebutuhan daya cukup besar.
"Namun demikian, yang harus tetap diperhatikan adalah pembangunan yang berbasis ramah lingkungan dan aman," kata dia.
Radiasi adalah risiko
Gempa dan tsunami yang melanda Jepang juga menyebabkan ledakan reaktor nuklir di PLTN Fukushima dan radiasi yang ditimbulkan menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kotabaru H Ansyar MM, radiasi merupakan salah satu risiko yang harus dihadapi dan ditanggulangi oleh negara yang menggunakan PLTN.
Seiring dengan kemajuan teknologi, dampak buruk seperti radiasi dan apa saja yang dapat membahayakan manusia dapat diantisipasi sejak dini.
Menurut Ansyar, jika Indonesia ingin membangun pembangkit listrik tenaga nuklir maka perlu dipertimbangkan risiko tersebut.
"Meski telah diantisipasi dengan menempatkan lokasi pembangkit di sebuah pulau nun jauh dari kepadatan penduduk, namun radiasi tetap bisa menyebar kemana-mana oleh angin," katanya.
Ia mengakui lambat laun kebutuhan listrik akan semakin tinggi namun dengan kondisi yang ada saat ini listrik tidak dapat disediakan hanya dengan mengandalkan dari BBM fosil.
Karena lambat laun, BBM fosil itu akan habis. Untuk itu perlu ada soluasi yang terbaik.
"Terlebih listrik masuk dalah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), seberapa besar masyarakat bisa menggunakan listrik," katanya.
Tidak harus disamakan
Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Nor MAP mengatakan bisa saja pemerintah membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan tenaga nuklir.
"Namun demikian, perlu ada pengkajian lebih dalam, risiko yang akan dihadapi apabila terjadi insiden," katanya.
Insiden di Jepang harus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia.
Jepang yang telah memiliki teknologi cukup tinggi, masih kalang kabut menghadapi radiasi nuklir, terlebih Indonesia.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik, pemerintah seyogyanya tidak menyamakan semua daerah di Indonesia kondisinya seperti di Jawa.
"Jika suatu daerah memiliki potensi lain, seperti, cangkang kelapa sawit atau turunnya kelapa sawit bentuk yang lain dapat digunakan untuk pembangkit, kenapa tidak itu saja direspons dan didukung," katanya.
Seperti Kotabaru, cukup banyak memiliki potensi bahan bakar dari fosil tumbuhan yang dapat diperbaharui untuk pembangkit listrik, dan sebagian telah dikembangkan oleh perusahaan swasta namun belum mendapat dukungan.
Menurut dia, untuk menekan biaya produksi listrik bisa saja menggunakan bahan bakar alternatif gas, tidak harus menggunakan nuklir.
Karena gas juga tersedia cukup besar di Indonesia, dan mungkin saja bisa lebih murah apabila dibandingkan dengan uranium.
Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan masyarakat tidak perlu paranoid dengan rencana pemerintah membangun PLTN.
"PLTN ini perlu disiapkan karena nanti energi fosil untuk pembangkit listrik akan habis," kata Gusti seusai membuka Rapat Koordinasi Regional (Rakoreg) Jawa di Yogyakarta, Senin (21/3).
Menurut dia, masyarakat tidak perlu takut dengan PLTN karena energi yang dihasilkan lebih bersih untuk lingkungan dibandingkan emisi batubara dan murah dibandingkan energi lain meskipun investasi awal cukup besar.
Namun ia menyarankan untuk saat ini energi yang aman dari sumberdaya alam lainnya seperti batubara, panas bumi dan air masih bisa digunakan, meskipun PLTN juga perlu dipersiapkan.
Gusti menjelaskan, dalam pembangunan PLTN yang harus diperhatikan yaitu bahan bakunya harus dipersiapkan, dan kesiapan untuk mengolahnya serta adanya tenaga ahli.
Tempat pembangunan PLTN juga harus dipilih yang aman dari bencana alam.
Dia menambahkan, yang terpenting adalah menyiapkan mental masyarakat secara psikologis untuk menerima PLTN karena saat ini masyarakat trauma dengan nuklir terutama setelah berita kebocoran PLTN Fukushima, Jepang, akibat bencana gempa dan tsunami.
"Masyarakat sudah takut duluan, mereka tidak sadar bahwa di Indonesia sudah ada tiga reaktor nuklir meskipun bukan untuk PLTN tapi untuk penelitian," katanya.
Dalam pembangunan reaktor nuklir, pengamanan juga menjadi hal utama yang dipikirkan yaitu lima lapis pengaman.
Hal paling penting adalah penyimpanan limbah nuklir yang harus hati-hati karena biasanya yang menimbulkan radiasi adalah limbahnya.
Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mensyaratkan bahwa jika ada kegiatan yang memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan maka harus memiliki analisa mengenai dampak lingkungan (amdal).
Sebelum PLTN dibangun membutuhkan amdal dan masyarakat berkesempatan untuk protes jika tidak setuju pembangunan tersebut lewat amdal./Imam Hanafi