Banjarmasin (ANTARA) - Apakah Anda bercita-cita menjadi wartawan?. Pertanyaan ini mungkin banyak dijawab seseorang yang menekuni dunia jurnalistik dengan satu kata yaitu tidak.
Mengapa demikian, ternyata hampir sebagian besar atau jika tidak ingin disebut seluruhnya, para wartawan itu banyak tak sengaja "tercebur" di dunia kewartawanan.
Begitu pula kisah yang dijalani Meidyatama Suryodiningrat. Direktur Utama Perum LKBN ANTARA ini awalnya sempat mencoba berbagai pekerjaan sana sini usai lulus kuliah. Namun tak pernah betah.
"Akhirnya ada teman menyampaikan dibuka lowongan di Kompas Gramedia karena tahu saya suka nulis," ungkap Dirut ANTARA membuka kisah awal perjalannya sebagai wartawan ketika ditemui di Banjarmasin, Senin.
Karena sesuatu yang tidak sengaja itu juga, Dimas, begitu biasa dia disapa, telah menjalani profesi jurnalis selama lebih dari 30 tahun.
Banyak godaan untuk pindah profesi. Bahkan dia sempat meninggalkan dunia jurnalistik selama 2 tahun untuk bekerja di konsultan asing dengan gaji jauh lebih tinggi.
"Maaf kalau boleh sombong, gaji saya di tahun 2002 bekerja di konsultan asing dibayar pakai US Dollar dengan nilai tinggi, terus Sabtu dan Minggu libur dan pukul 5 sore pasti pulang," kata Dimas yang hadir di Kalimantan Selatan dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2020 sekaligus membuka Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Program Bina Lingkungan ANTARA.
Menjalani pola hidup lebih teratur dengan pendapatan tinggi di atas rata-rata, tak lantas membuat Dimas betah duduk manis dalam kurun waktu lama.
Faktanya, dia "turun gunung" di tahun 2004 untuk kembali lagi ke dunia jurnalistik sebagai seorang wartawan.
"Tidak tahu kenapa seperti pola transmigran Jawa, sudah dikasih rumah, dikasih tanah. Setelah panen dijual, kembali lagi ke Jawa. Yang paling heran tentunya istri saya. Sudah gaji gede mau-maunya jadi wartawan gaji kecil lagi. Sampai istri tanya, benar kamu mau jadi wartawan seumur hidup," beber pria kelahiran Jakarta 12 Desember itu.
Bagi Dimas, wartawan menjadi sebuah "passion" bagian dari kehidupannya. Untuk itu, jika ditanya kenapa sampai begitu? Dimas mengaku tidak bisa menjelaskan. Dia menganalogikan sebagaimana pertanyaan kepada seseorang kenapa bisa jatuh cinta.
"Kalau Anda tidak mencintai dunia jurnalistik, Anda tidak akan bertahan lama sebagai seorang wartawan," tuturnya menekankan.
Apabila hanya diukur dengan gaji dan uang, menurut Dimas lebih baik bekerja di profesi lain. Dia pun percaya jika menjadi seorang wartawan hanya berlandaskan kepada uang, maka karir akan rusak.
"Karena salah satu kunci dari kewartawanan jurnalistik itu adalah integritas. Dan integritas harusnya tidak bisa dibeli. Itu saya rasa menjadi landasan dasar bagi wartawan," tandasnya.
Sebelum dipercaya menjabat Direktur Utama Perum LKBN Antara Januari 2016, Dimas yang lulusan Universitas Harvard jurusan Hubungan Internasional menjadi Pemimpin Redaksi Harian The Jakarta Post selama enam tahun. Dimas juga merupakan kontributor bagi sejumlah jurnal internasional terkemuka.
"Pesan saya kepada wartawan yang muda-muda, jalanilah profesi ini dengan senang dan gembira. Fokuslah terhadap pekerjaan untuk menghasilkan karya jurnalistik terbaik. Yakinlah Tuhan tidak tidur, bagi yang berprestasi pasti ada apresiasi," pungkasnya.
Sosok Dimas begitu humble. Sikap sederhana dan apa adanya begitu terasa ketika penulis mewawancarainya. Rasa humornya juga tinggi, sehingga obrolan siang itu begitu mengalir seperti tanpa jarak.
Sungguh seorang wartawan senior yang layak dijadikan panutan. Di puncak karirnya, Dimas sepertinya tak pernah lupa akan jati dirinya sebagai jurnalis yang selalu bersikap akrab dengan lawan bicara dan tak segan-segan untuk membaur dengan sekitar.
"Sebuah jabatan di perusahaan pers hanyalah tugas tambahan, jati diri saya tetaplah seorang wartawan sama seperti Anda dan yang lainnya," jawab Dimas ketika penulis menanyakan sikapnya tersebut sembari mengakhiri obrolan.