Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima permohonan sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kota Banjarbaru Tahun 2024 yang diajukan pemantau pilkada Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) dan Udiansyah.
“Dalam pokok permohonan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dan 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025 di MK RI, Jakarta, Senin.
Baca juga: 33 hari sakit usai PSU Banjarbaru, Ketua KPPS mengaku tak diperhatikan KPU
Perkara Nomor 318 diajukan LPRI yang dalam hal ini diwakili oleh Syarifah Hayana selaku Ketua LPRI Kalimantan Selatan, sementara Perkara Nomor 319 diajukan oleh Udiansyah yang merupakan pemilih dalam Pilkada Kota Banjarbaru 2024.
Syarifah dan Udiansyah sama-sama mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam tahapan PSU pilkada Kota Banjarbaru. Tuduhan itu diarahkan kepada pasangan calon tunggal, Erna Lisa Halaby dan Wartono.
Menurut para pemohon, pelanggaran TSM dilakukan Lisa-Wartono dalam bentuk “duitokrasi”, politik uang di semua wilayah PSU, ketidaknetralan aparatur negara, intimidasi, hingga ketidakprofesionalan KPU karena disebut tidak ada sosialisasi ke pemilih dan terdapat perbedaan daftar pemilih tetap (DPT).
Namun, berdasarkan hasil persidangan sejak Kamis (15/5), Mahkamah menyatakan seluruh dalil yang diajukan Syarifah dan Udiansyah tidak dapat dibuktikan kebenarannya sehingga dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Terkait dalil ketidakprofesionalan KPU, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bukti yang diajukan pemohon tidak cukup meyakinkan bahwa KPU tidak melakukan sosialisasi PSU dan tidak membagikan undangan mencoblos kepada pemilih.
Baca juga: Penjabat Sekda Banjarbaru klarifikasi dugaan camat-lurah tidak netral di PSU
“Tidak terdapat bukti maupun uraian dalam permohonan Pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa terdapat pemilih pada PSU Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru Tahun 2024 yang telah keliru memberikan suaranya dikarenakan kurangnya sosialisasi pemungutan suara oleh Termohon (KPU),” kata Arief.
Sementara itu, mengenai dalil adanya perbedaan Daftar Pemilih Tetap (DPT) antara pilkada pada 27 November 2024 dan PSU pada 19 April 2025, MK mendapati persoalan kekeliruan penulisan DPT ternyata telah diselesaikan dan disepakati semua pihak.
Lebih lanjut perihal dalil “duitokrasi” yang diartikan sebagai daulat uang pada memenangkan Lisa-Hartono, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa para pemohon tidak menguraikan secara terperinci mengenai pelanggaran politik uang dimaksud.
Menurut hakim konstitusi, alat bukti yang diajukan para pemohon berupa buku, artikel, berita, hingga tangkapan layar komentar warga di media sosial tidak cukup meyakinkan pelaksanaan PSU Pilkada Kota Banjarbaru 2024 diwarnai praktik politik uang yang secara signifikan dapat memengaruhi perolehan suara.
Baca juga: Alasan Ketua DPD LPRI Kalsel jadi tersangka
Mahkamah Konstitusi juga menilai alat bukti berupa surat pernyataan tidak cukup meyakinkan adanya praktik politik uang dengan melibatkan aparat RT/RW. Terlebih, dari sejumlah surat pernyataan yang diajukan, terdapat pernyataan yang didapatkan dari pihak lain alih-alih peristiwa yang disaksikan sendiri oleh pembuat pernyataan.
Di samping itu, dalil ketidaknetralan aparatur negara yang dibuktikan dengan video yang bersumber dari media sosial tidak pula dapat dipastikan kebenarannya secara meyakinkan.
“Bukti video tersebut maupun uraian dalam permohonan tidak dapat menerangkan secara jelas dan lengkap peristiwa hukum yang didalilkan oleh Pemohon,” tutur Enny.
Adapun terkait dalil intimidasi, MK menilai pencabutan akreditasi kepada LPRI selaku lembaga pemantau pemilihan tidak dapat serta-merta diartikan sebagai bentuk intimidasi. Sebab, hal itu merupakan proses hukum yang menjadi kewenangan Bawaslu dan KPU.
Lantaran tidak mendapatkan keyakinan atas kebenaran dalil-dalil yang diajukan, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan untuk menunda pemberlakuan syarat formal pengajuan permohonan sengketa pilkada. Namun, Syarifah dan Udiansyah dinyatakan tidak memenuhi syarat tersebut.
“Oleh karena itu, tidak ada relevansinya untuk meneruskan permohonan pada pemeriksaan persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian,” kata Enny.
Baca juga: LPRI dianggap langgar kewenangan pemantau pemilu PSU Banjarbaru
Perkara Nomor 318 diajukan LPRI yang dalam hal ini diwakili oleh Syarifah Hayana selaku Ketua LPRI Kalimantan Selatan, sementara Perkara Nomor 319 diajukan oleh Udiansyah yang merupakan pemilih dalam Pilkada Kota Banjarbaru 2024.
Syarifah dan Udiansyah sama-sama mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam tahapan PSU pilkada Kota Banjarbaru. Tuduhan itu diarahkan kepada pasangan calon tunggal, Erna Lisa Halaby dan Wartono.
Menurut para pemohon, pelanggaran TSM dilakukan Lisa-Wartono dalam bentuk “duitokrasi”, politik uang di semua wilayah PSU, ketidaknetralan aparatur negara, intimidasi, hingga ketidakprofesionalan KPU karena disebut tidak ada sosialisasi ke pemilih dan terdapat perbedaan daftar pemilih tetap (DPT).
Namun, berdasarkan hasil persidangan sejak Kamis (15/5), Mahkamah menyatakan seluruh dalil yang diajukan Syarifah dan Udiansyah tidak dapat dibuktikan kebenarannya sehingga dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Terkait dalil ketidakprofesionalan KPU, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bukti yang diajukan pemohon tidak cukup meyakinkan bahwa KPU tidak melakukan sosialisasi PSU dan tidak membagikan undangan mencoblos kepada pemilih.
Baca juga: Penjabat Sekda Banjarbaru klarifikasi dugaan camat-lurah tidak netral di PSU
“Tidak terdapat bukti maupun uraian dalam permohonan Pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa terdapat pemilih pada PSU Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru Tahun 2024 yang telah keliru memberikan suaranya dikarenakan kurangnya sosialisasi pemungutan suara oleh Termohon (KPU),” kata Arief.
Sementara itu, mengenai dalil adanya perbedaan Daftar Pemilih Tetap (DPT) antara pilkada pada 27 November 2024 dan PSU pada 19 April 2025, MK mendapati persoalan kekeliruan penulisan DPT ternyata telah diselesaikan dan disepakati semua pihak.
Lebih lanjut perihal dalil “duitokrasi” yang diartikan sebagai daulat uang pada memenangkan Lisa-Hartono, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa para pemohon tidak menguraikan secara terperinci mengenai pelanggaran politik uang dimaksud.
Menurut hakim konstitusi, alat bukti yang diajukan para pemohon berupa buku, artikel, berita, hingga tangkapan layar komentar warga di media sosial tidak cukup meyakinkan pelaksanaan PSU Pilkada Kota Banjarbaru 2024 diwarnai praktik politik uang yang secara signifikan dapat memengaruhi perolehan suara.
Baca juga: Alasan Ketua DPD LPRI Kalsel jadi tersangka
Mahkamah Konstitusi juga menilai alat bukti berupa surat pernyataan tidak cukup meyakinkan adanya praktik politik uang dengan melibatkan aparat RT/RW. Terlebih, dari sejumlah surat pernyataan yang diajukan, terdapat pernyataan yang didapatkan dari pihak lain alih-alih peristiwa yang disaksikan sendiri oleh pembuat pernyataan.
Di samping itu, dalil ketidaknetralan aparatur negara yang dibuktikan dengan video yang bersumber dari media sosial tidak pula dapat dipastikan kebenarannya secara meyakinkan. “Bukti video tersebut maupun uraiannya dalam permohonan tidak dapat menerangkan secara jelas dan lengkap peristiwa hukum yang didalilkan oleh Pemohon,” tutur Enny.
Adapun terkait dalil intimidasi, MK menilai pencabutan akreditasi kepada LPRI selaku lembaga pemantau pemilihan tidak dapat serta-merta diartikan sebagai bentuk intimidasi. Sebab, hal itu merupakan proses hukum yang menjadi kewenangan Bawaslu dan KPU.
Lantaran tidak mendapatkan keyakinan atas kebenaran dalil-dalil yang diajukan, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan untuk menunda keberlakuan syarat formal pengajuan permohonan sengketa pilkada. Namun, Syarifah dan Udiansyah dinyatakan tidak memenuhi syarat tersebut.
“Oleh karena itu, tidak ada relevansinya untuk meneruskan permohonan pada pemeriksaan persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian,” kata Enny.
Baca juga: LPRI dianggap langgar kewenangan pemantau pemilu PSU Banjarbaru
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: MK tak dapat terima sengketa hasil PSU Pilkada Banjarbaru