Barabai, (Antaranews Kalsel) - Taupik Rahmad Hidayat (38) atau lebih akrab dipanggil Dalang Upik warga desa Panggung, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel), merupakan salah satu pengrajin wayang kulit Banjar yang masih bertahan di tengah lesunya usaha hiburan pewayangan di tanah air.
Pria kelahiran tanggal 4 Juli 1980 itu saat ditemui di rumahnnya di Desa Panggung, Rabu (13/2/2019) menceritakan, telah menggeluti wayang kulit sejak duduk dibangku sekolah kelas tiga SD. Saat itu, dia cuma membantu ayahnya yang juga seorang dalang bernama Saderi.
Bakat seni turun temurun sejak dari kakeknya itu, membuat dia tetap bertahan memproduksi wayang kulit khas Banjar yang tidak hanya sebagai mata pencaharian tetapi juga hobi.
Setelah beranjak dewasa dan lulus Tsanawiyah (setara SMP), Upik sudah mulai memasarkan wayang kulit ke beberapa daerah di Kalsel.
Sampai sekarang, pesanan wayang kulit selalu datang dari berbagai daerah, antara lain dari Pulau Jawa dan terbanyak adalah di daerah Sumatera.
Diterangkannya, harga wayang buatannya dipatok dari Rp200 ribu sampai Rp 500 ribu tergantung motif dan tingkat kesulitannya.
"Paling cepat saya mengerjakan pembuatan satu buah wayang paling lama 10 hari, khusus proses pemahatan biasanya memerlukan waktu hingga lima hari," kata Dalang yang sudah pernah tampil di berbagai pertunjukan bertarap Nasional itu.
Keindahan
Pada proses pengerjaan wayang yang paling cepat diselesaikan menurutnya adalah wayang dengan karakter Bagung dan yang paling sulit adalah pembuatan gunungan serta karakter Arjuna.
Wayang buatannya berbeda dengan wayang buatan di Pulau Jawa. Kalau wayang Banjar mengutamakan keindahan bayangan, jadi perlu pahatan yang teliti dan rapi sedangkan wayang Jawa mengutamakan tampilan dan latar yang bagus pada setiap karakternya.
Wayang Banjar umumnya menggunakan bahan dari kulit sapi atau kambing dan wayang jawa menggunakan bahan dari kulit kerbau. Sebenarnya diakui Upik, kualitas kulit kerbau memang lebih bagus namun sejak nenek moyang telah membuat bahan dari kulit sapi atau kambing ternyata mempunyai filosofis tersendiri.
"Kalau sapi atau kambing, terkadang sering kita temukan di pasar, di gunung, di jalan bahkan dimana-mana, sedangkan kerbau hanya ditemukan di tempat khusus seperti daerah rawa," katanya.
Dalam pembuatan wayang juga ada ritual tersendiri, tidak bisa langsung bentuk dan dipahat, jadi harus menyediakan piduduk (sejenis sesajen) yang berisi beras, gula, telor, kelapa, benang kuning atau hitam, jarum dan garam terlebih dahulu.
Tujuannya agar ketika membuat wayang tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan kena pingit karena berkaitan dengan hal-hal mistis dan magis.
Cara pembuatan wayang selanjutnya yaitu bahan kulit tadi dikerik bulunya dan diukur sesuai tinggi rendahnya lalu direndam ke air. Setelah itu di kencang sambil dijemur sampai kering kira-kira tiga hari. Berikutnya dibuat pola dengan cara digambar menggunakan pensil.
Setelah pola terbentuk maka dilakukan proses pemahatan atau yang disebut dengan Tatah Suging, lalu baru dicat dasar dan dicat lagi untuk kedua kalinya dengan pembentukan sesuai karakter wayang.
"Kalau ada pesanan satu peti wayang yang jumlahnya 99 karakter, pengerjaannya bisa mencapai enam bulan dan harganya Rp 25-30 juta," kata pemuda yang menjadi pelatih tari dan musik gamelan serta aktif di Dewan Kesenian Daerah HST itu.
Saat ini menurutnya, kebanyakan pesanan orang adalah satuan wayang saja, baik itu untuk koleksi pribadi maupun pajangan rumah.
"Namun Alhamdulillah pesanan selalu ada dan tetap kita layani," kata lelaki yang juga ahli membuat gamelan dan gong besi serta memfavoritkan karakter wayang Santiaki Arya Fatma Negara.
Untuk wilayah Kabupaten HST, pengrajin wayang kulit hanya tiga orang termasuk Dalang Upik dan sepupunya Riza Fahmi serta keluarganya Saputra di Desa Tatah.
Baca juga: Mengenal kopi Tiga Kunci khas Barabai yang telah ada sejak 1985