Masjid Keramat Pelajau di Desa Pelajau Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan, adalah salah satu masjid tertua di provinsi itu.
Tokoh Masyarakat setempat, Jayadi, mengatakan, warga sering berkunjung ke masjid keramat baik dalam rangka berziarah atau pun karena ada hajat tertentu agar dapat terkabul.
Mereka meyakini masjid ini memiliki sejarah dan rahasia terhadap penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan.
Mesjid Keramat Pelajau didirikan di abad ke - 14 selain mesjid tertua juga merupakan bukti dari perjuangan melawan penjajah Belanda di masa lalu khususnya di Kalimantan Selatan.
Letak masjid ini berada di desa Pelajau Kecamatan Pandawan yang berjarak kurang lebih 3 sampai 5 kilo meter ke arah Barat Laut dari Kota Barabai, Ibu Kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Masjid Keramat yang dikelola masyarakat dengan cara swadaya itu memiliki luas 400 m2.
Keberadaan mesjid ini cukup berarti bagi masyarakat Pelajau yang taat beribadah dan agamis.
Selain menjadi tempat ibadah mahdhoh, juga menjadi pusat berkembangnya peradaban umat Islam di Barabai, umumnya di Kalsel.
Penulis buku "Sejarah Mesjid Keramat Pelajau Barabai" Meldy Muzada Elfa, mengungkapkan, sejarah berdirinya Mesjid Keramat dimulai dari telah dikenalnya Kampung Pelajau yang memiliki sungai sejak abad ke - 13 M yang mulanya sungai tersebut bernama Palayarum.
Palayarum, sebuah nama yang diambil dari sungai di pegunungan Meratus.
Namun keberadaan sungai Palayarum sekarang sudah mati dan ditumbuhi oleh pohon-pohon-pohon rumbia.
Padahal sebelumnya air mengalir dari pegunungan Meratus melalui sungai batang alai, sungai Palayarum ini menjulur ke sungai Buluh sampai ke Negara dan terus ke Banjarmasin yang merupakan pusat dari Kerajaan Banjar.
Di sebuah daerah di lereng pegunungan Meratus yang bertemu dengan dataran rendah ini, terdapat pusat kediaman penduduk yang tertua di Kalimantan Selatan.
Memanjang dari utara ke selatan yaitu Muara Tabalong, Kelua sampai pada Amuntai atau yang lebih dikenal dengan Negara Daha.
Sungai Alai Birayang dengan ranting sungai-sungainya seperti Sungai Kambat dan Sungai Palayarum yang semakain mengalami pendangkalan karena erosi.
Sungai Palayarum dahulu merupakan satu-satunya urat nadi perhubungan yang dapat dilayari oleh para pedagang.
Sambil berdakwah menyiarkan agama Islam, ditepi sungai yaitu ditempat yang disebut Pelajau tumbuh sebatang pohon kayu besar yang rimbun.
Dibawah pohon tua itu dibangun tempat peristirahatan yang sangat sederhana, dan pohon kayu tersebut kemudian dinamai Pelajau.
Sama Masjid Demak.
Sekitar abad ke-14 datanglah utusan Raden Fatah dari Kerajaan Islam Demak, bersama-sama Pangeran dari Kerajaan Banjar.
Utusan dari Pulau Jawa itu berjumlah tujuh orang yakni : Malik Ibrahim, Imam Santoso, Habib Marwan, Mujahid Malik, Rangga Ali Basah, Santeri Umar dan Imam Bukhari.
Dari Kuin mereka menyusuri sungai Negara, terus ke Sungai Buluh dan Ilir Pemangkih sehingga sampai ke Sungai Palayarum, Pelajau.
Di bawah pohon Pelajau itulah kemudian dibangun masjid.
Pembangunan masjid ini bersamaan dengan program dari pengembangan ajaran Islam Kerajaan Demak Bintaro yang membangun sembilan buah masjid, termasuk masjid yang dibangun di Pelajau dengan bentuk yang sama dengan masjid-masjid yang ada di Demak.
Menurut Sejarah, masjid Pelajau adalah yang kelima dari sembilan buah mesjid yang dibangun oleh Kerajaan Islam Demak.
Seuai dengan jumlah Wali Songo, yaitu sembilan orang, bukti sejarahnya pada tiang bangunan tersebut terdapat tulisan pahat dari huruf Jawa di tiang menara (soko guru) dan terdapat tulisan, tempat, nama hari dan waktu pendirian masjid.
Pada tiang itu pula terdapat lubang pahatan berbentuk panjang.
Pahatan tersebut konon dokenal sebagai tempat penyimpanan catatan-catatan dengan tulisan Allah, dan memuat silsilah orang-orang yang terlibat dalam pembangunan masjid.
Disamping itu pula terdapat gumpalan rambut yang diduga rambut dari Raden Fatah, sebilah keris yang berelok sembilan dan sebuah tombak skil segi tiga dengan ukiran sembilan Wali.
Begitupun pada kubah mimbar digunakan motif pohon hayat.
Dalam metodologi Dayak atau ajaran Kaharingan dilukiskan mengenai pohon hayat yang disebut "batang garing".
Pohon hayat ini mewujudkan kesatuan alam atas dan bawah, konsep serba dua seperti ayam jantan betina, siang malam, terang gelap, baik jahat atau baik, hidup dan kematian.
Selain melambangkan totalitas kosmos, juga dualisme religius.
Kenyataan ini menggambarkan agama Islam yang berkembang, tidak terlepas dari unsur kepercayaan yang dianut masyarakat Dayak yakni, Kaharingan dan agama Hindu-Budha.
Dalam perkembangannya sampai sekarang Mesjid Keramat Pelajau tetap lestari walaupun sudah beberapa kali mengalami perubahan atau renovasi.Fat/C