Banjarmasin (ANTARA) - Pengamat Politik dan Kebijakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Taufik Arbain, S.Sos, M.Si mengatakan keberhasilan Kalimantan Selatan menciptakan demo damai dan tidak latah seperti di daerah lain lantaran massa tetap mengedepankan substansi tuntutan.
"Alhamdulillah massa mahasiswa, aktifis dan pengemudi ojol semuanya berkomitmen apa yang menjadi tujuan awal yakni memperjuangkan tuntutan tidak melenceng," kata dia di Banjarmasin, Selasa.
Baca juga: Polhukam kemarin dari aksi damai massa hingga "sweeping" peserta demo
Menurut Direktur Lembaga Survei Banua Meter ini, di Kalimantan Selatan seluruh komponen pemerintah dan non pemerintah serta perguruan tinggi juga mampu mengambil langkah sikap mengedepankan narasi-narasi empati publik dengan memahami karakteristik sosial dan lingkungan kebijakan.
Kemudian peran aktor Tuan Guru sebagai tokoh agama yang sangat dihormati dalam narasi yang mengajak menjaga dan merawat "Banua" Kalsel hingga simbol-simbol dan "papadah" (narasi) Tuan Guru menjadi “benteng terakhir” dalam mendinginkan situasi deprivasi relative saat ini yang didistribusikan lewat medsos.
Taufik menyebut kemampuan elit berkolaborasi dalam memetakan solusi atas kondisi ketidakpuasan rakyat bagian dari kapasitas memdayagunakan berpikir narrative policy framework dalam memahami konstruksi sosial.
Tak kalah penting kesediaan Ketua DPRD Kalsel Supian HK yang menemui massa aksi dengan jaminan keamanan dari aparat TNI-Polri dikomando langsung Kapolda Kalsel Irjen Pol Rosyanto Yudha Hermawan dan Danrem 101 Antasari Brigjen TNI Ilham Yunus membuat suasana semakin cair dan terkendali.
"Kemampuan aparat membaca isu ini sangat tepat, dimana sebelumnya massa menginginkan Ketua DPRD Kalsel menemui mereka ketika aksi demo," ujarnya.
Sebab, kata Taufik, aspek pamuntungan narasi elit dan kelompok tertentu yang mengarah pada kontraproduktif seperti di Jakarta harus menjadi pelajaran penting bagi aktor elit wakil rakyat dan pejabat pemerintah lainnya.
Termasuk aparat keamanan untuk memahami karakter publik dalam mengambil tindakan di lapangan.
Di sisi lain, aksi demo di Indonesia saat ini menurut Taufik merupakan sesuatu yang logis dan lumrah.
Hanya saja kelumrahan bisa saja menjadi sesuatu yang luar biasa ketika kondisi yang terjadi sudah mencapai pada titik kulmininasi yang tidak lagi beranjak dari sekadar persoalan dan isu biasa, tetapi sudah merasakan sensitifitas dan mengarah pada resistensi kehidupan publik.
Seperti naiknya pajak, masih tingginya pengangguran hingga rendahnya upah buruh dan pegawai honorer yang tidak ada pengangkatan.
Terlebih isu dan realitas ini berhadapan dengan fakta kontraproduktif seperti kenaikan tunjangan para wakil rakyat, pejabat pemerintah dan gaji BUMN serta narasi-narasi elit negara yang menyinggung perasaan publik.
Taufik menilai sensitifitas ini menjadi menguat justru karena narasi elit yang dipanggungkan berseberangan dengan narasi rakyat.
Baca juga: Berbagai tanggapan positif terhadap pengunjuk rasa di DPRD Kalsel
Apalagi sikap diam ini sudah terbentuk lama dari periodisasi pemerintah (Eksekutif-legislatif).
Jadi rakyat sudah berada pada apa yang disebut sebagai kondisi deprivasi relatif oleh Ted Gur, kondisi ketidakpuasan maka melahirkan sikap berontak.
Dia melihat efek lama berlangsungnya narasi-narasi sensitif di era digitalisasi sangat mudah menjadi instrumen aktor tidak bertanggung jawab membonceng kondisi deprivasi relative yang mengarah pada publik opinion maker (POM) untuk menggiring opini dan mengarahkan pada tujuan tertentu.
Akhirnya tuntutan dari ketidakpuasan publik dibawa ke ruang anarki dan ke jalan lain.
Dari isu mikro beranjak ke isu meso hingga isu makro dengan simbol perlawanan berupa pembakaran, penjarahan, dan perusakan simbol-simbol negara berupa fasilitas publik.
