Nurini mengungkapkan hal itu dalam seminar bertajuk Critical Review atas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2025 di Gedung Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Jumat, menyoroti klausa yang mengatur interaksi antara jaksa dan penyidik yang hanya berjumlah satu kali dianggap berpotensi mencederai keadilan.
Baca juga: Polhukam kemarin dari PSU Banjarbaru hingga RUU KUHAP
“Tanpa kontrol yudisial dan kepastian perlindungan terhadap warga negara, hukum acara pidana hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang berpotensi represif dan mencederai keadilan,” kata Nurini dalam keterangan yang diterima di Banjarmasin, Jumat.
Nurini, yang merupakan ketua tim penyusun DIM RUU KUHAP dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini, menilai semestinya kejaksaan telah dilibatkan sejak awal proses penyidikan. Langkah tersebut dipercaya dapat memastikan proses penyidikan tidak sia-sia. Namun sayang Pasal 24-26 RUU KUHAP justru membatasi interaksi antara jaksa dan penyidik.
“Usulan kami itu adalah menegaskan kembali peran jaksa sejak awal, jadi jaksa ini harus diberikan satu posisi resmi dan aktif dari tahap penyidikan. Untuk apa ? Ya, untuk bisa melakukan monitoring legalitas dari upaya paksa, kemudian menilai kecukupan bukti lebih dini,” ujarnya.
Dia menilai keterlibatan kejaksaan dalam penyidikan juga mendorong efisiensi dan keadilan penanganan perkara yang terarah serta membangun mekanisme check and balances. Hubungan antara jaksa dan penyidik harus bersifat saling kontrol, bukan dominasi secara sepihak.
Menurut Nurini, mekanisme ini bisa berbentuk koordinasi, dan wajib di antara penyidik dengan jaksa. Kemudian kewenangan jaksa menghentikan penyidikan apabila ditemukan misalnya ada pelanggaran hukum di dalam, lalu ada penyusunan standar operasional prosedur bersama antara kepolisian dengan kejaksaan.
Baca juga: Revisi KUHAP diharapkan perbaiki mekanisme pra-penuntutan
Nurini berpendapat tanpa adanya revisi draf RUU KUHAP maka proses hukum menjadi rentan terhadap penyalahgunaan wewenang, ketidakpastian hukum, dan minim akuntabilitas dalam penyidikan untuk menciptakan peradilan pidana yang terbuka, berimbang, dan akuntabel.
Pembatasan ini, kata dia, tidak mencerminkan kerjasama yang berkelanjutan. Seharusnya bergantung pada kompleksitas dari pembuktian perkara. Dalam praktek ideal, jaksa harus aktif sejak awal penyidikan dan memainkan peran sebagai dominus litis agar bisa memberikan masukan, menjamin kelengkapan alat bukti, kemudian mencegah penyidikan yang tidak sah atau tidak perlu.
Kemudian, RUU KUHAP masih minim perhatian terkait penguatan pengawasan penyidikan karena draf yang ada, pengawasan terhadap penyidikan hanya dilakukan oleh atasan penyidik.
Menurut Nurini, model pengawasan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan sebab tidak ada mekanisme eksternal atau independen yang dapat menilai apakah penyidikan itu dilakukan secara adil, sah, dan proporsional.
“Idealnya mestinya pengawasan penyidikan ini harus melibatkan lembaga judicial atau otoritas independensi agar proses berjalan dengan objektif,” tuturnya.
Narasumber lain dari akademisi FH Universitas Indonesia (UI) Febby Mutiara Nelso berpendapat pembatasan interaksi antara penyidik dan jaksa hanya satu kali dalam setiap perkara adalah kebijakan yang keliru dan tidak realistis.
Pada praktiknya, ia menjelaskan penuntut umum memiliki fungsi strategis yang seharusnya terlibat sejak awal proses penyidikan untuk menjamin bahwa setiap perkara berjalan sah, adil, dan proporsional.
Baca juga: Publik dukung penyidik tangani pidana transparan secara setara pada RUU KUHAP

Baca juga: FH ULM mengulas lima pokok pembahasan krusial terkait revisi KUHAP
“Tanpa mekanisme kontrol eksternal yang melibatkan kejaksaan atau pengadilan, upaya memastikan akuntabilitas dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka menjadi ilusi,” tegas Febby.
Febby mengungkapkan istilah "penyidik utama" dalam Pasal 7 RKUHAP juga tidak memiliki dasar dalam doktrin hukum acara pidana. Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali menolak pendekatan eksklusivitas kewenangan penyidikan, dan menggarisbawahi sistem peradilan pidana harus menjamin keseimbangan fungsi antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penyidikan lainnya, terutama dalam konteks checks and balances.
Oleh karena itu, Febby mengusulkan RKUHAP memuat kewajiban koordinasi fungsional yang jelas antara penyidik dan penuntut umum karena hal ini tidak dapat diartikan sebagai intervensi independensi lembaga, melainkan langkah menciptakan struktur kerja yang akuntabel dan efisien.
Dalam kerangka ini, lanjutnya, jaksa harus memiliki kewenangan untuk memberikan petunjuk penyidikan yang mengikat, serta memiliki akses penuh terhadap hasil penyelidikan dan alat bukti sejak dini.
Selain pembatasan interaksi jaksa dan penyidik yang hanya berlangsung saat pelimpahan tersangka, sejumlah hal krusial lain turut menjadi catatan dalam kegiatan seminar hukum tersebut.
Ahli hukum dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi mengkritik penerapan konsep “penyidik utama”, seperti yang tertuang dalam Pasal 7 RKUHAP tidak dikenal dalam sistem hukum acara pidana Indonesia, konsep ini juga berpotensi menempatkan penyidik pada posisi yang menyerupai hakim.
“Dalam banyak ketentuan, penyidik diberi kewenangan untuk memanggil, menetapkan status, bahkan menilai keberatan atas penahanan. Ini menciptakan situasi di mana penyidik bukan hanya pelaksana penyelidikan, tetapi juga penafsir tunggal atas prosedur dan kebenaran. Itu sangat berbahaya dalam kerangka due process,” tegasnya.
Baca juga: Ahli FH UI: Penguatan Dominus Litis pada revisi KUHAP perkuat gakkum
Ia menuturkan bahwa kewenangan luas ini membuat penyidik dapat bertindak sebagai eksekutor, evaluator, bahkan quasi-judicial authority, yang seharusnya menjadi kewenangan lembaga peradilan.
Fachrizal menjelaskan RKUHAP 2025 secara konseptual gagal menjawab kebutuhan sistem peradilan pidana yang modern. Salah satu temuan dalam DIM adalah bahwa RKUHAP tidak menyediakan mekanisme pelaksanaan terhadap jenis-jenis pidana baru seperti pidana pengawasan, kerja sosial, dan pidana bersyarat yang telah diatur dalam KUHP.
Selain itu, ketentuan penahanan tanpa persetujuan hakim, seperti yang diatur dalam pasal 87 dan pasal 92-94 RKUHAP 2025, dinilai sebagai kemunduran dari prinsip judicial scrutiny dan bertentangan secara frontal dengan amanat Pasal 9 ayat (3) Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
“Tanpa izin hakim, penahanan tidak lebih dari bentuk pemidanaan dini (pretrial punishment) yang merampas hak kebebasan seseorang tanpa kontrol objektif dari lembaga peradilan,” ujar Fachrizal.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPN PERADI Imam Hidayat, yang ikut menjadi pembicara seminar, menekankan pentingnya posisi penasihat hukum dalam sistem acara pidana karena peran advokat bukan sekadar mendampingi, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak tersangka dan saksi.
“Setiap keberatan dari advokat wajib dicatat secara resmi dalam berita acara pemeriksaan. Ini bukan hal teknis semata, tapi bagian dari akuntabilitas proses hukum,” ujar Imam.
Baca juga: Penangguhan Penahanan Diatur Dalam KUHAP
Ia juga mendorong agar RKUHAP mencantumkan jaminan terhadap imunitas profesi advokat dalam praktik pembelaan.
Sedangkan Peneliti ICJR, Iftitahsari, menyoroti RKUHAP 2025 mencerminkan regresi dari berbagai rancangan sebelumnya. Upaya pembaruan yang telah muncul dalam draf-draf terdahulu, seperti keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, kini dihapus tanpa alasan yang dapat diterima secara akademik.
Selain itu, pasal-pasal terkait penyidikan dan penahanan masih memberikan ruang terlalu besar bagi diskresi penyidik tanpa kontrol eksternal. Ia juga menekankan bahwa korban tindak pidana belum diposisikan sebagai subjek hukum acara secara utuh, dan banyak hak mereka, termasuk hak atas informasi, restitusi, dan partisipasi, tidak terjamin secara prosedural.
Dalam seminar ini juga disampaikan sejumlah rekomendasi penting, diantaranya perlu mewajibkan seluruh tindakan upaya paksa mendapat persetujuan hakim, memperkuat peran penuntut umum dalam mengawasi penyidikan, pengakuan terhadap hak dan posisi korban, serta penyesuaian prosedur acara pidana dengan bentuk-bentuk pemidanaan baru.
RKUHAP juga didesak untuk mengatur mekanisme praperadilan yang efektif sebagai kontrol terhadap tindakan sewenang-wenang, serta mendukung sistem peradilan berbasis digital, transparan, dan akuntabel.