Jakarta, (Antaranews Kalsel) - Bank Indonesia terus mencari terobosan baru untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, pascakrisis ekonomi global dan anjloknya harga berbagai komoditas ekspor utama nasional, yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah.
Melalui kebijakan moneter, makroprudensial serta kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang kredibel, Bank Indonesia berupaya meningkatkan kemampuannya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional agar pulih seperti sebelum krisis.
Salah satu upaya yang tidak kalah penting yang kini terus dibangun oleh Bank Indonesia adalah membangun optimisme masyarakat dan pasar untuk terus melangkah menghadapi setiap tantangan, dan terus bergerak sesuai dengan program yang telah ditetapkan pemerintah.
Membangun optimisme dan menyosialisasikan seluruh program yang ditetapkan tersebut, Bank Indonesia menggandeng 400 lebih jurnalis dari berbagai media baik cetak, online, tv maupun radio dari seluruh Indonesia, untuk lebih mengenal program serta peran dan fungsi Bank Indonesia.
Program temu wartawan daerah yang dilaksanakan dalam dua sesi mulai Minggu 2 Oktober hingga Rabu 5 Oktober 2016 di Jakarta Pusat yang diikuti 250 peserta. Sesi pertama diikuti peserta dari pulau Jawa, Sulawesi, dan Bali.
Sesi selanjutnya diikuti sebanyak 220 wartawan dari Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara saat membuka acara, Senin (10/10), mengungkapkan, Bank Indonesia terus berupaya untuk menjadi bank sentral yang kredibel dan terbaik melalui penguatan nilai strategis untuk menjaga inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil.
Menurut Mirza, Bank Indonesia harus menjaga inflasi agar terus terkendali, karena bila inflasi terlalu tinggi, maka yang miskin akan semakin miskin, selain itu inflasi juga akan "memakan" nilai uang.
Inflasi yang terlalu tinggi, akan membuat harga-harga kebutuhan pokok melambung dan nilai rupiah akan terus menurun, kondisi ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk menjaga inflasi tetap terkendali merupakan tugas yang tidak mudah bagi Bank Indonesia, karena persoalan inflasi adalah persoalan yang cukup komplek dan melibatkan banyak pihak.
Apalagi, kata dia, penyumbang inflasi nasional terbesar adalah di sektor makanan. "Sebagian besar pendapatan masyarakat habis untuk memenuhi kebutuhan pangan," katanya.
Saat ini, untuk mengendalikan inflasi, Bank Indonesia bersama Badan Pusat Statistik, rutin selalu melakukan survei terhadap 800 jenis produk, mulai dari makanan, perhotelan, pendidikan, kesehatan, bahkan komunikasi.
"Hasilnya, sektor makanan menjadi salah satu penyebab sering terjadinya inflasi yang cukup tinggi di beberapa daerah," katanya.
Mengatasi hal tersebut, Bank Indonesia, melakukan koordinasi kelembagaan dengan berbagai instansi terkait termasuk pemerintah daerah yang tergabung dalam tim pengendali inflasi daerah (TPID).
Melalui TPID dan berdasarkan survei yang dihimpun, Bank Indonesia akan memberikan rekomendasi terkait langkah-langkah yang harus diambil, untuk mengatasi inflasi di masing-masing daerah.
Seperti di Sumatera, salah satu penyumbang inflasi terbesar adalah cabai, maka disarankan di daerah tersebut untuk meningkatkan produksi cabai, begitu juga dengan di daerah lain.
Selain itu, tambah dia, Bank Indonesia juga mendorong pemerintah daerah melalui dinas dan instansi terkait, untuk membangun klaster-klaster produk penyumbang inflasi di daerah, baik itu peternakan, pertanian, perkebunan maupun perikanan.
Melalui klaster tersebut, seluruh pihak terkait, mulai dari pertanahan, perbankan, pemerintah provinsi maupun kabupaten, bergerak bersama untuk mendorong produksi yang telah diprogramkan.
Sedangkan Deputi Direktur Departemen Pengembangan UMKM Bank Indonesia, Ika Tejaningrum, mengatakan, saat ini Bank Indonesia telah mengembangkan 158 klaster ketahanan pangan, meliputi 15 komoditas di 45 Kantor Perwakilan BI di seluruh Indonesia.
Klaster adalah sekelompok UMKM yang beroperasi pada sektor/subsektor yang sama atau merupakan konsentrasi perusahaan yang saling berhubungan dari hulu ke hilir.
Hasilnya, pada 2016 ini, inflasi masih relatif terkendali di angka 3,5 persen. Dengan inflasi yang terkendali, maka suku bunga kredit juga akan bisa ditekan, yang pada akhirnya akan mampu menarik minat masyarakat untuk meningkatkan usahanya, sehingga menggerakkan perekonomian daerah.
Pertumbuhan Membaik
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara mengungkapkan, banyak program Bank Indonesia yang harus disampaikan ke masyarakat, dan peran media massa sangat penting, untuk bisa menyampaikan seluruh program tersebut agar bisa lebih mudah diterima secara cepat dan tepat oleh masyarakat.
Sehingga, tambah dia, perlu pemahaman secara menyeluruh terhadap berbagai kebijakan dan program yang telah ditetapkan, baik jangka pendek, menengah maupun panjang.
"Melalui temu wartawan daerah ini, diharapkan akan diperoleh pemahaman dan pandangan yang sama, antara pemerintah, Bank Indonesia dan media, dalam menyampaikan seluruh program yang ditetapkan ke masyarakat," katanya.
Di sektor moneter, selain menjaga inflasi tetap terkendali, Bank Indonesia juga bertugas menjaga kurs tetap stabil sesuai dengan fondamentalnya.
Anjloknya harga komoditas unggulan nasional, yaitu tambang batu bara, CPO dan karet, membuat pertumbuhan ekonomi nasional melemah, terutama Kalimantan dan Sumatera yang merupakan penghasil utama ketiga sektor tersebut.
Seperti di Kalimantan Selatan, pertumbuhan ekonomi di daerah kaya tambang ini awalnya, berada di posisi tujuh, kini merosot di posisi 27 nasional.
Pada saat komidatas tambang masih mengalami masa keemasan tiga tahun silam, pertumbuhan ekonomi Kalsel bisa mencapai tujuh hingga delapan persen bahkan lebih per tahun.
Namun, begitu terjadi krisis ekonomi global, yang berdampak besar terhadap harga komoditas unggulan mulai dari batu bara, karet, bahkan CPO, pertumbuhan ekonomi Kalsel merosot hingga angka 3,8 persen.
Walaupun pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan dinilai masih sedikit lebih baik dibanding provinsi lainnya seperti Kalimantan Timur, yang pertumbuhan ekonominya mengalami minus, namun perlu upaya dan kerja keras dari seluruh pihak untuk segera memulihkan kondisi ekonomi Kalsel.
Secara nasional, sebagian besar ekspor juga masih tergantung pada sektor tambang dan CPO, maka begitu sektor unggulan tersebut nilainya anjlok, juga sangat berpengaruh terhadap cadangan devisa negara.
"Harga batu bara yang sebelumnya bisa mencapai 150 ribu dolar AS per ton dan anjlok menjadi 50 ribu dolar AS, cukup berpengaruh terhadap perekonomian nasional, sehingga pemerintah harus banyak melakukan revisi program untuk mengatasi hal tersebut,"katanya.
Namun kini, harga batu bara mulai membaik, begitu juga dengan CPO, kondisi tersebut menjadi harapan baru membaiknya pertumbuhan nasional, khususnya Sumatera dan Kalimantan.
Mulai membaiknya harga komoditas ekspor unggulan tersebut, juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya cadangan devisa negara yang hingga Oktober 2016 mencapai 115 miliar dolar AS,atau setara 8,7 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Pada kesempatan tersebut, hadir juga sebagai pemberi materi Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Andiwiana S dan Direktur Departemen Komunikasi, Arbonas Hutabarat.
Adapun materi lainnya yang disajikan sejumlah narasumber dari internal BI yaitu mengenai pengendalian inflasi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan program klaster.
Selain itu, kebijakan uang muka kredit dan perannya terhadap pertumbuhan ekonomi, gerakan nasional nontunai, dilanjutkan dengan pengelolaan rupiah mulai dari perencanaan hingga pemusnahan uang yang rusak.
Memperkaya wawasan wartawan, Bank Indonesia, selain menghadirkan moderator dari editor media terkemuka nasional, juga mengundang wartawan ekonomi Suryopratomo, Ketua Forum Pemred dan Direktur Pemberitaan Metro TV.