Surabaya (ANTARA) - LKBN ANTARA Biro Jatim bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Pemerintah Provinsi Jatim sepakat memasukkan materi jurnalistik sebagai bagian dari kurikulum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sedang menempuh pendidikan kepemimpinan di wilayah setempat.
Kesepakatan pemberian kurikulum jurnalistik, dituangkan dalam penandatanganan kerja sama antara Kepala Perum LKBN ANTARA Biro Jatim Rachmat Hidayat dan Kepala BPSDM Pemprov Jatim Aries Agung Paewai di Surabaya, Kamis malam.
"Kerja sama ini merupakan hal baru dan inovasi bagi BPSDM Jatim, serta merupakan yang kali pertama dilakukan di Indonesia, sehingga diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru bagi ASN," ucap Aries.
Ia mengatakan, keilmuan jurnalistik memiliki cabang yang luas, dan dengan masuknya kurikulum jurnalistik dalam mata pelajaran BPSDM diharapkan bisa membuka pola pikir bagi ASN terhadap keilmuan tersebut.
Kepala Perum LKBN ANTARA Biro Jatim, Rachmat Hidayat mengatakan, ANTARA yang memiliki jaringan luas di berbagai daerah serta mancanegara, siap membantu BPSDM Jatim dalam mengajarkan keilmuan jurnalistik di jajaran ASN.
"Keilmuan jurnalistik bukan hanya terkait tulis-menulis, melainkan bagaimana menyusun data dan membuat opini yang mendukung visi dan misi pemerintahan daerah," kata Rachmat yang juga mantan Kepala Biro Perum LKBN ANTARA Biro Kalimantan Tengah.
Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang menyaksikan penandatanganan kerja sama kedua pihak menilai, inovasi harus terus dilakukan oleh jajarannya, dan tidak hanya dengan instansi vertikal, melainkan horizontal.
Ia mengakui, saat ini hampir sebagian masyarakat tidak mengenali media mainstream, seperti LKBN ANTARA, dan hanya mengenal media sosial, dan pola-pola berbasis media sosial ini harus diwaspadai di zaman perubahan saat ini.
"ASN harus terbuka cara pandangnya dan tidak boleh menutup cara pandangnya terhadap inovasi, karena perubahan zaman sangat cepat," tutur Khofifah.
Berita sebelumnya, Direktur Utama Perum LKBN ANTARA, Meidyatama Suryodiningrat, menilai buku "Dialektika Digital" karya Agus Sudibyo memantik diskusi tentang praktik jurnalisme di Indonesia.
"Kita membaca buku tidak mencari jawaban, namun, mendorong proses dialektika dalam pemikiran kita," kata Meidyatama, dalam bedah buku "'Frenemy' Media Massa Konvensional dan Digital" yang diadakan Forum Merdeka Barat 9, Selasa.
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo, menulis buku "Dialektika Digital" yang mengupas kondisi industri jurnalisme Indonesia di tengah gempuran platform digital.
"Dialektika Digital" menyoroti bagaimana industri pers bekerja dan bagaimana pengaruh platform digital terhadap konten berita. Melalui buku ini, Agus mendorong platform digital mengambil tanggung jawab yang lebih besar, mereka tidak hanya menjadi perusahaan teknologi, tapi, pada praktiknya, mereka juga menjadi penerbit (publisher).
Buku tersebut, menurut Meidyatama, memancing pembacanya bertanya tentang industri media saat ini. Ketika membahas keberlanjutan media (media sustainability), misalnya, buku ini memantik pertanyaan apakah kita sudah bertanya yang benar tentang industri dan nasib media.
Baca juga: Dirut paparkan model bisnis baru LKBN ANTARA di KTT Media Dunia
"Dialektika Digital" juga memantik pertanyaan mengenai "Publisher Rights", regulasi hak cipta jurnalistik yang diajukan industri pers kepada pemerintah.
Membaca buku ini, menurut Meidyatama, menimbulkan pertanyaan apakah industri pers mengajukan "Publisher Rights" karena kalah berkompetisi dengan platform digital atau memang hak industri.
Agus Sudibyo dalam buku "Dialektika Digital" melihat ada hubungan yang kompleks antara industri media dengan platform digital sehingga dia memakai istilah "frenemy", gabungan friend (teman) dan enemy (musuh).
Perusahaan media di satu sisi berkompetisi dengan platform digital. Tapi, di sisi yang lain, mereka juga bekerja sama.
"Kita tidak bisa mengelak bahwa jurnalis, penerbit (publisher) banyak terbantu oleh platform ini dalam memproduksi konten dan mendistribusikannya," kata Agus, dalam acara yang sama.
Hubungan seperti ini menyulitkan, menurut Agus. Kehadiran platform digital adalah disrupsi bagi media konvensional. Media harus bisa bertahan menghadapi perubahan ini.
Agus menegaskan buku ini tidak menunjukkan sikap antiplatform digital, tapi, bagaimana industri media bisa membangun kemandirian secara bisnis, teknologi dan jurnalistik.
Baca juga: Gubernur Kalsel dan Dewan sepakat perlunya kerja sama antara daerah