Barabai (ANTARA) - Rancangan Perda tentang pajak daerah yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) terus menuai kontroversi di masyarakat dan banyak mendapatkan kritikan dari para anggota DPRD setempat.
Setelah uji publik pada Kamis (9/9) banyak mendapatkan keberatan terkait besaran pajak restoran, kali ini Raperda yang juga memuat tentang pajak parkir menjadi sorotan.
Masalahnya, jika Raperda tersebut disahkan, maka setiap tempat usaha baik itu warung, ruko, cafe termasuk objek wisata yang menyediakan lahan untuk perparkiran di luar yang dikelola oleh Pemerintah, akan dikenakan tarif pajak sebesar 10 persen (pasal 31).
Diterangkannya, sesuai pasal 32, besaran pokok pajak parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dalam Pasal 31 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Pada pasal 30 disebutkan, dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir. Jumlah yang seharusnya dibayar termasuk potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa parkir.
Berikutnya, pengenaan pajak parkir berdasarkan harga sewa parkir yang diatur dalam Peraturan Bupati dengan mengacu pada harga sewa parkir rata-rata di wilayah tersebut.
Saat uji publik, perwakilan pengelola rumah makan Kalijo Barabai sempat keberatan terhadap pajak perparkiran tersebut.
Karena dikatakannya, yang mengelola parkir di depan rumah makannya bukan mereka, namun masyarakat setempat atau organisasi warga. Jadi, pihak warung makan tidak menerima pendapatan dari lahan parkir tersebut.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan Pemkab HST yaitu Kabid Pajak dan Retribusi Daerah, Alipansyah mengutarakan karena objek pajak parkir tersebut adalah pokok usaha, maka jika dikelola oleh masyarakat tetap menjadi tanggungjawab pemilik usaha.
"Hal tersebut memang tergolong baru bagi kami, namun pemilik usaha nantinya bisa membicarakan dengan masyarakat yang menjadi pengelola parkir dan bisa dibebankan pajakanya dari berapa penghasilan parkir tersebut," katanya.
Namun, Anggota DPRD HST Yajid Fahmi mengkritik rencana kebijakan pajak parkir bagi pelaku usaha itu, terutama yang ada di lahan objek wisata.
Saat ini menurutnya, para pengelola wisata sedang memulai bangkit pasca banjir beberapa bulan yang lalu banyak fasilitas mereka yang rusak bahkan wisatanya tutup. Belum lagi di masa pandemi dan pemberlakukan PPKM juga Pemerintah mengharuskan objek wisata tutup.
Jadi, dikatakannya, dengan kebijakan pajak parkir ini justru Pemerintah terkesan memberatkan para pelaku usaha, sedangkan kontribusi buat mereka belum ada.
"Seharusnya, pemkab turut membenahi dan membantu mereka dulu agar wisata kembali bangkit dan maju. Kalau nantinya kondisi ekonomi mereka sudah membaik, silahkan dikenakan tarif pajak perparkiran, itu tidak masalah," kata Yajid.
Ditambahkan, kalau perda tersebut diterapkan saat ini momentumnya kurang tepat dan sebaiknya dikaji kembali agar tidak menambah beban masyarakat.
Baca juga: Warung beromset di atas Rp4 juta sebulan bakal kena pajak lima persen
Baca juga: Berikut beberapa bantuan yang diserahkan Menteri Sosial saat kunker di Kabupaten HST
Baca juga: Komnas HAM berikan sikap terhadap dugaan kasus salah tangkap Gaston