Peribahasa ayahanda dengan bahasa Banjar Pahuluan tersebut mengibaratkan seuntai tali, walau tali itu mengecil hampir putus tetapi tak boleh putus, karena kalau tali sampai putus, jika tali tersebut sebagai penahan sebuah batang pohon yang ingin tumbang maka tumbanglah pohon itu, lalu tamatlah riwayatnya.
Peribahasa ayahanda tersebut, agaknya lebih ditujukan kepada persoalan keuangan rumah tangga pada era awal tahun 80-an, di mana kala itu hampir semua warga di desaku Inan Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, lagi peceklik, harga karet murah dan ditambah produksi padi yang kurang baik.
Sebab, kata ayahanda kala itu, dia sebagai kepala rumah tangga harus pandai-pandai mengelola atau memanajemen keuangan dalam kehidupan yang miskin, menurut dia tidak perlu berlebih yang penting bisa makan.
Sebagai kepala rumah tangga, menurut ayahanda wajib hukumnya menjaga stabilitas keuangan keluarga dengan tujuh anak-anaknya termasuk aku, dan agaknya ia meng "haram" kan pula jika keluarga sampai tidak makan.
Memang kala itu, kondisi desa kami benar-benar miskin, jalan belum beraspal, beras masih mendatangkan dari luar daerah, itupun dengan jenis beras yang kurang baik dengan warna beras putih kemerah-merahan, kalau dimasak tercium bau apak.
Untung saja, desa kami berada di lereng Pegunungan Meratus yang relatif subur,sehingga untuk sayuran tidak perlu beli, tanam sedikit sudah mudah tumbuh, ditambah tanaman hutan banyak yang bisa dijadikan sayuran pula.
Begitu juga untuk ikan, asal rajin memancing ke sungai atau danau yang ada di wilayahku, maka dapat saja ikan setidaknya untuk keperluan keluarga.
Kehidupan keluarga kami memang mengandalkan menyadap karet, tetapi karena harga waktu itu kurang baik tak sebanding dengan kebutuhan, apalagi jika terjadi musim hujan dimana pohon karet tak bisa disadap maka jika tak pandai-pandai mengelola keuangan maka dipastikan akan terjadi yang disebut "kelaparan."
Kala itu, ibunda aku seorang yang penurut dan tak pernah menuntut kepada ayahanda dan berusaha menikmati apa yang dimiliki.
Suatu ketika pula, aku kaget melihat perilaku ibundaku, setiap kali dia mengambil beras untuk dimasak di dalam wadah beras yang disebut "padaringan," selalu ada yang dilempar ke wadah lain yang disebut "guntan," yang berada di samping padaringan.
Aku menjadi penasaran untuk melihat apa yang dikerjakan ibunda tersebut, lalu aku perhatikan apa yang dilempar ibundaku saat mengambil beras untuk dimasak tersebut, ternyata beras pula yang dilemparnya ke wadah yang disebut guntan tersebut.
Lalu saat itu kuberanikan bertanya kepada ibunda mengapa lempar beras ke tempat lain, dengan tersenyum, ibunda menjawab "itu beras sebagai tabungan,"
Lalu ibu menceritakan, kalau sekali memasak harus mengambil beras dengan ukuran tiga kaleng susu,maka saat mengambil beras untuk memasak itu harus diambil segenggam beras untuk tabungan, berarti kalau sehari ada tiga kali memasak maka ada tiga genggam beras yang ada di dalam tabungan dalam guntan pada sehari itu.
Jika seminggu tujuh hari, dikalikan dengan tiga genggam beras maka akan ada tiga kaleng susu beras di dalam guntan sebagai tabungan. Maka jika terjadi kehabisan beras di dalam padaringan, keluarga kami akan tetap bisa masak karena tersimpan tiga kali susu beras di dalam guntan.
Berperilaku hemat
Dua kejadian tersebut di atas yang melanda keluarga kami yang miskin tersebut telah merasuki pikiranku setelah aku berumah tangga serta melahirkan budaya mengelola keuangan yang tidak boros tetapi sedikit pelit.
Saat awal-awal perkawinan aku, kondisi keuangan memang susah, berapa kali isteriku ngomel-ngomel minta belikan apa yang ia mau, tetapi semua permintaan isteriku tersebut, hanya sebagian yang aku kabulkan, tetapi lebih banyak yang tidak aku kabulkan terutama yang menurut aku yang diminta itu termasuk keperluan yang tak mendesak.
Soal keperluan makan sehari-hari, biaya listrik, biaya air bersih, biaya anak sekolah, itu tak ada masalah semuanya aku penuhi permintaan, tetapi untuk beli televisi ukuran besar, mesin cuci kualitas baik, atau harus bertamasya jauh ada yang dikabulkan tetapi lebih banyak yang aku tolak.
Dengan sikap aku seperti itu maka seringkali pula aku dikatakan isteriku, seorang bapak yang pelit, dan itu berlangsung bertahun-tahun.
Sebuah kejujuran memang adalah jalan yang baik, tetapi ketidak jujuran untuk kebaikan menurut aku juga tidak selamanya jelek dan salah.
Sebagai contoh saja, ketika isteriku minta belikan sesuatu yang menurut aku belum saatnya untuk dimiliki, maka aku selalu mengatakan bahwa aku tak punya uang.
Padahal sebenarnya uang tersebut ada saja, tetapi tak setahu isteriku, uang itu aku tabung kecil-kecilan ke sebuah bank dekat rumah aku, sebab kalau uang di tabungan setahu isteri maka akan relatif sulit memanajemen keuangan tersebut.
Ketika waktu terus berlalu dan ternyata uang tabungan di bank yang tadinya dikumpulkan secara kecil-kecilan itu, jumlahnya memadai, tahap pertama aku berhasil membeli rumah walau dengan sistem kredit di bilangan Jalan Sultan Adam Kota Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, Â tetapi aku tak sulit mencarikan uang muka, dan akhirnya kami memiliki rumah sendiri.
Selanjutnya waktu terus berlalu pula, ternyata nilai tabungan aku tambah membengkak, aku sendiri sempat kaget, dan seakan aku tak percaya bahwa aku memiki uang sebanyak itu.
Suatu hari, ku bilang kepada isteri aku aku akan membeli sebuah sebidang tanah yang cukup luas di daerah yang tak terlalu jauh dari rumah kami. Isteriku kaget lalu mempertanyakan dimana dapat uang sebanyak itu? Lalu secara terbuka kuceritakan semua kelakukanku selama ini.
Mendengar ceritaku tersebut yang selama ini dinilainya pelit, isteriku hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum kegirangan.
Di lahan yang aku beli tersebut kemudian aku bangun tiga buah toko dengan kontruksi beton pula, dan dari bangunan toko tersebut disewakan ke pedagang ternyata hasilnya sungguh benar-benar meringankan keluarga aku.
Kemudian secara diam-diam lagi kebiasaan aku terus menabung tidak setahu isteriku, kemudian aku membeli lagi sebuah rumah kost, dan hasilnya pun kuserahkan kepada isteriku, dan hasilnya juga begitu menyenangkan.
Gaji aku kerja sebagai seorang wartawan sebenarnya kalau dihitung benar-benar tidak mencukupi, tetapi karena kerja terus kujalani sebaiknya, maka ada-ada saja uang tambahan selain gaji dan itulah yang secara diam-diam aku tabung ke bank.
Dengan jumlah uang cukup lumayan akhirnya ku tak terlalu pelit lagi dengan keluarga aku, termasuk membiayai sekolah anak, dan beberapa anak keponakan yang yatim yang aku besarkan dalam rumah aku.
Fasilitas pun sekarang selain rumah, ada beberapa buah sepeda motor,mobil, dan fasilitas rumah tangga lainnya.
Hanya untuk mobil aku berusaha tidak membeli mobil dengan merk yang ternama dan mahal, tetapi yang penting mobil dengan merk biasa yang penting bisa jalan dengan enak, bukan lantaran uangnya tak cukup tetapi kelebihan uang beli mobil itu yang aku jadikan lagi sebagai uang "jaga-jaga," untuk keluargaku.
Maklum di zaman sekarang ada-ada saja keperluan yang mendesak, yang kalau tak ada uang "jaga-jaga," dipastikan kita akan ngutang, dan kalau utang ke keluarga tak masalah, yang jadi masalah jika harus utang sistem bunga, apalagi sampai terjerat ke tangan para rentenir.
Selain terus menabung, aku juga tak ketinggalan ikut agen asuransi sebagai bekal hari tua nanti, disamping tersedianya dana-dana tabungan pensiun (tapen) yang sudah tersedia di lembaga di mana aku bekerja.
Sebenarnya setelah dikumpulkan tabungan cukup lama, ternyata hidup aku tak ada masalah, yang dulu sulit untuk mencari makan sekarang keinginan makan apa yang diinginkan relatif mudah-mudah saja.
Jika dulu hanya jalan kaki dan bersepeda sekarang alhamdulillah sudah ada beberapa sepeda motor ditambah mobil.
Kemudian pula cita-cita untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, dengan cara menabung tersebut,alhamdulillah pula sudah bisa diwujudkan berasama isteriku tahun 2008 lalu.
Memang dalam pemikiran aku, hidup ini hanya akan bisa tenang menjalaninya jika memiliki dua cadangan, yakni cadangan hidup, dan cadangan mati. Â
Cadangan hidup adalah jika sudah mempunyai harta benda dan memiliki tabungan , sedangkan cadangan mati adalah selalu melakukan amal ibadah dan amal jariah, dengan selalu memberikan sedekah kepada orang-orang yang memerlukannya, terutama orang-orang yang terdekat.Â
Dengan perinsip hidup hemat dan bermartabat demikian maka hari hari yang kulalui tak pernah menemukan masalah dalam keuangan, dengan begitu maka walau "aku tak pernah kaya tetapi aku juga tak miskin."
