Kotabaru, (Antaranews Kalsel) - Perusahaan tambang bijih besi PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, kini berjuang keras untuk mempertahankan agar 1.600 karyawannya tetap bekerja dan tidak dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Manajemen masih sanggup untuk tidak melakukan PHK terhadap 1.600 karyawanya, meski sejak 12 Januari PT. Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) belum mendapatkan izin ekspor konsentrat," kata Manajer Operasional PT SILO Henry Yulianto, didampingi Human Resources Development/General Affair (HRD/GA) PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) ID Ketut Dharmaja di Kotabaru, Selasa.
Dharmaja menegaskan, sejak diberlakukannya Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pembatasan Ekspor Mineral yang belum diolah yang diberlakukan sejak awal 2014, sebagian besar karyawan perusahaan tidak melakukan aktivitas, karena perusahaan belum bisa mengekspor hasil produksi konsentratnya.
Apabila perusahaan tidak segera mendapatkan izin ekspor, tidak menutup kemungkinan 1.600 karyawan PT SILO mau tidak mau harus menerima kenyataan tersebut.
Oleh karenanya, lanjut dia, manajemen SILO berharap pemerintah daerah sama-sama membantu perusahaan untuk bersama-sama meminta agar pemerintah pusat segera mengeluarkan izin ekspor yang sudah ditetapkan sebesar 4 juta metrik ton per tahun.
"Kuota ekspor empat juta metrik ton per tahun itu belum kami terima secara tertulis, baru sebatas pernyataan saja," jelas Manajer Operasional PT SILO Hendry Yulianto.
Sebelumnya, Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar saat mendampingi Wakil Menteri (Wamen) ESDM Susilo Siswoutomo, ketika meninjau lokasi operasi PT SILO di Pulau Sebuku, Kotabaru, Kalsel, menyetujui kuota ekspor bijih besi yang telah diolah (konsentrat bijih laterit) sebanyak empat juta metrik ton per tahun.
Wamen ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan, dalam kunjungaannya ia bisa mengamati keseriusan PT SILO untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih besi, sebagai bentuk kepatuhan PT SILO terhadap UU No. 4 tahun 2009 tentang pembatasan ekspor mineral yang belum diolah yang diberlakukan sejak awal 2014.
Selama proses pembangunan smelter, perusahaan tambang mineral diberi waktu selama tiga tahun untuk mengekspor bijih besi yang sudah diolah dengan kadar kemurnian lebih dari 50 persen. Mineral yang belum mengalami pemurnian dilarang diekspor sesuai UU tersebut.
Wamen ESDM dan rombongan meninjau beberapa lokasi pabrik pengolahan bijih besi PT SILO, di antaranya proses pemurnan bijih besi hingga menghasilkan bijih dengan kandungan besi (Fe) sebesar 53 persen, kemudian lokasi produksi kokas dari batu bara dan gasifikasi batubara sebagai bagian dari rencana pembangunan smelter bjih besi yang sudah mulai dikerjakan.
"Saya kira mereka (PT SILO) serius. Bisa kita lihat apa yang sudah mereka lakukan (untuk membangun smelter)," kata Susilo ketika itu.
Sesuai UU tentang pembatasan ekspor mineral yang belum diolah tersebut, maka PT SILO sejak 12 Januari 2014 hingga saat ini tidak melakukan ekspor karena belum mendapat izin ekspor dari Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan.
