Tanjung Selor (ANTARA) - Nama Kalimantan dalam beberapa hari terakhir berkilau, seperti asal-usul namanya yang konon dari kata "Kali Emas dan Intan".
Kalimantan kembali jadi topik hangat setelah disebut khusus oleh Presiden Jokowi pada Pidato Kenegaraan, 16 Agustus 2019.
Presiden mohon izin kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.
Nama ibu kota negara mengerucut ke Kalimantan Timur, setelah wartawan menggali keterangan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil.
Bahkan, lebih spesifik lagi, satu nama daerah yang dianggap paling layak disebutnya adalah Semboja, sebuah wilayah pesisir selatan Kaltim.
Semboja secara administratif milik Kutai Kartanegara, tapi sangat dekat dengan Kota Balikpapan.
Belum satu hari setelah pernyataan Sofyan Djalil, Presiden Jokowi di Istana Bogor, Kamis (22/8) menegaskan bahwa pihaknya belum menentukan provinsi yang akan menjadi ibu kota baru. Alasannya, Presiden mengaku masih menunggu satu atau dua kajian.
Sebelumnya, beredar kajian tentang kelayakan dua kandidat untuk menjadi ibu kota negara, yakni Gunung Mas (Kalteng), serta Semboja dan Bukit Soeharto (keduanya di Kaltim).
Dalam kajian itu disebutkan Gunung Mas memiliki kelemahan karena kurang dukungan infrastruktur (terlalu jauh dari pelabuhan laut dan bandara reprensitatif), serta ancaman bencana kebakaran lahan gambut saat kemarau. sedang wilayah Kaltim dinilai relatif aman karena tidak memiliki lahan gambut.
Kaltim juga memiliki infrastruktur lebih baik karena diapit dua kota besar di Kalimantan, yakni Samarinda dan Balikpapan.
Balikpapan memiliki Pelabuhan Pelni Semayang dan Bandara Internasional Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan.
"Benteng Terakhir"
Jika kota besar Indonesia kesulitan memenuhi 30 persen hutan kota (UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang Wilayah), maka Balikpapan ada ratusan ribu hektar hamparan hijau --sebagian besar-- kawasan konservasi.
Bahkan, Balikpapan layak disebut "salah satu kota memiliki hutan tropis terbesar di dunia", meski tanpa Semboja dan Bukit Soeharto.
Dari sisi ekologis, memang Semboja dan Bukit Soeharto tidak bisa dilepaskan dari keberagaman hayati saling menopang dengan ekosistem hutan sekeliling Balikpapan.
Banyak orang tidak tahu tentang arti strategis Balikpapan sebagai daerah yang memiliki "benteng terakhir hutan tropis dataran rendah Kalimantan".
Selama ini, orang hanya tahu bahwa Balikpapan adalah "Kota Minyak" karena potensi migasnya, padahal Balikpapan memiliki kawasan konservasi terluas.
Sebagai pembanding, Taman Raya Bogor hanya 80 hektare, sedangkan kota moderen di Kaltim itu tengah mengembangkan Kebun Raya Balikpapan (KRB) seluas 4.091 hektare.
Tahapan untuk KRB yang berlokasi pada Kilometer 15 kawasan Kariangau, kini pembebasan lahan 291 hektare serta sudah memiliki izin konservasi 140 hektare.
Ratusan hektare lahan KRB itu kini telah menjadi objek wisata lingkungan dan laboratorium pendidikan.
Balikpapan juga punya Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) --lokasinya tidak jauh dari KRB-- mencapai 10.000 hektare.
Meskipun hanya 15 Km dari kecamatan Balikpapan Utara, namun HLSW memiliki keanekaragaman hayati luar biasa karena terdapat kehidupan liar sekitar 200 spesies burung.
Di situ juga terdapat berbagai satwa langka, antara lain payau (rusa sambar), orangutan (Pongo pygmaues) serta beruang madu (Helarctos malayanus) yang menjadi maskot Kota Balikpapan.
Kawasan hutan lain yang eksotik adalah Teluk Balikpapan memiliki daerah aliran sungai (DAS) 211.456 hektare dan perairan 16.000 hektare.
Di Teluk Balikpapan masih banyak hutan primer, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Habitat satwa liar antara lain bekantan sekitar 1.400 ekor, pesut laut 60-140 ekor, 300 jenis burung, 100 mamalia, lebih dari 1.000 pohon sesuai data diungkapkan peneliti Teluk Balikpapan, yakni Stanislav Lhota.
Kawasan ini juga menjadi habitat beruang madu, macan dahan, duyung, buaya muara dan penyu hijau.
Mangrove di kawasan ini ada sekitar 40 jenis, separuh dari yang ada di Asia, dengan ketinggian pohon ada yang mencapai lebih 20 meter.
Ada beberapa kawasan pesisir kawasan itu yang masih terjaga dengan baik, seperti di Sungai Wain yang menjadi habitat Orangutan (Pongo pygmaues).
Teluk Balikpapan juga menjadi "rumah" bagi primata langka, yakni bekantan (Nasalis larvatus) sebanyak sekitar 1.400 ekor. Jumlah tersebut mewakili lima persen primata berbulu kuning itu di seluruh dunia.
Tidak hanya di darat, di perairan Balikpapan juga menjadi habitat salah satu satwa yang benar-benar dianggap terancam punah, yakni duyung (Dugong Dugon). Pada 1996 telah diusulkan bahwa "si Putri Duyung" telah punah di Bumi Kalimantan, tapi, empat tahun kemudian atau 2000, Yayasan RASI (Rare Aquatic Species Indonesia) menemukan mamalia itu di Teluk Balikpapan.
Karena potensi keanekaragaman hayati hutan sekitar Kota Balikpapan --termasuk Semboja dan Bukit Soeharto-- itu, para peneliti menyebutnya sebagai "benteng terakhir hutan tropis dataran rendah di Kalimatan".
Ledakan Penduduk
Di tengah upaya Balikpapan menyelamatkan lingkungan, faktanya saat ini terus terjadi deforestasi (kerusakan hutan karena aktivitas manusia).
Kerusakan lingkungan terus terjadi, baik di darat maupun perairan Teluk Balikpapan akibat permukiman, perkebunan sawit, pengeboran minyak, pembangunan Jembatan Pulau Balang, dan aktivitas Pelabuhan Peti Kemas Teluk Balikpapan.
Seandainya Semboja atau Bukit Soeharto pasti ditetapkan menjadi Ibu Kota Negara, maka tekanan bagi kelestarian lingkungan pasti kian berat.
Padahal hutan di Semboja dan Bukit Soeharto zaman Orde Baru merupakan "etalase" keberhasilan Indonesia dalam menyelamatkan hutannya.
Tamu-tamu kehormatan negara, mulai dari presiden, raja, perdana menteri, dubes hingga investor pasti diajak singgah melihat sekolah orangutan (untuk meliarkan kembali) primata langka itu di Pusat Rehabilitasi Orangutan Semboja.
Perjalanan dilanjutkan untuk melihat kerimbunan hijau hutan hujan tropis dataran rendah di Bukit Soeharto.
Awalnya kawasan ini berstatus Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 hektare. Kemudian statusnya beralih menjadi Taman Hutan Raya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004.
Kini kondisi hutan itu memprihatinkan akibat ledakan penduduk, umumnya karena faktor migrasi. Permukiman liar bertambah padat setiap tahun sepanjang Jalan Soekarno-Hatta yang membelah kawasan konservasi Bukit Soeharto.
Ledakan penduduk karena kemajuan sebuah daerah, harusnya menjadi pertimbangan utama dalam penetapan sebuah daerah menjadi ibu kota negara. Contoh nyata adalah Kalimantan Utara. Sejak menjadi provinsi lewat rapat paripurna DPR pada 25 Oktober 2012, Kaltara mengalami pertambahan penduduk pesat melalui migrasi.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kaltara mencatat sejak 2013 hingga 2017, jumlah penduduk meningkat dengan rata-rata 4,66 persen per tahun. Dari 577.275 jiwa pada 2013, meningkat menjadi 584.505 jiwa pada 2014.
Kemudian, 2015 meningkat menjadi 594.107 jiwa, pada 2016 menjadi 621.769 jiwa dan 2017 menjadi 729.128 jiwa.
Ini baru provinsi, bagaimana nanti jika Ibu Kota Negara jadi dipindahkan ke Semboja.
Presiden Jokowi menganulir pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menunjukkan sikap kehati-hatian karena banyak faktor harus dipertimbangkan secara komprehensif.
Salah-satu pertimbangan utama tentu faktor ekologis, mengingat peran hutan Kalimantan sebagai paru-paru dunia.
Wilayah Kalimantan masih sangat luas dan masih banyak pilihan untuk jadi Ibu Kota Negara.
Selain itu, "jika pembangunan mengutamakan prinsip ekologis, maka kehadiran ibu kota akan mengasuh kehidupan liar hutan di Kalimantan, bukan menjadi ibu tiri yang kejam bagi lingkungan hidup".
Baca juga: Pemindahan ibu kota harus diusulkan melalui UU khusus
Baca juga: Desain Ibu kota negara di Kalimantan Timur
Baca juga: Rencana pemindahan ibu kota belum dibicarakan dengan DPR
Artikel - Ibu kota negara dan benteng terakhir
Jumat, 23 Agustus 2019 11:54 WIB