Barabai, (Antaranews Kalsel) - Jika kita pernah melihat kesenian daerah khas Banjar Kuda Gepang atau Wayang Orang, maka yang ditunggu-tunggu penonton dan tidak pernah ketinggalan adalah penampilan sosok lucu dengan karakter nenek-nenek tua yang suka ngelawak bernama Ma Inang.
Salah satu pemeran Ma Inang itu adalah seorang kakek bernama Sarnuni yang jika main atau tampil pada pementasan kuda Gepang bergelar Aluh Kadap Diang Su'ur Jut Marijut Kambang Barinting Pasar Balauran.
Kakek yang sudah berusia 65 tahun itu merupakan warga Kelurahan Pantai Hambawang Barat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Provinsi Kalimantan Selatan.
Kakek Sarnuni yang akrab dipanggil Kai Gepang saat didatangi di rumahnya, Minggu (24/2/2019) menceritakan, bahwa menjadi Ma Inang sudah dilakoninya sejak umur 40 Tahun dan menjadi yang paling tua sebagai pelakon Ma Inang di Kabupaten HST bahkan se Kalsel.
Saat Dia tampil di pentas Kuda Gepang, dengan diiringi alunan gamelan khas Banjar, diam saja tanpa bicara dan tanpa melakukan apa-apa, penonton sudah terpingkal-pingkal tertawa melihatnya.
Itulah karakter spesial yang dimiliki oleh Sarnuni yang biasanya juga menyampaikan materi-materi nasehat pernikahan dan nasehat kepada masyarakat sambil berpantun jenaka, tari-tarian lucu yang dibuat-buatnya sendiri dan terkadang juga bernyanyi.
Penampilannya pun sangat menarik dengan karakter nenek-nenek tua berdandan lucu seperti memakai bedak dan gincu yang tebal, tulis kening bak melingkar parang serta diberi noda tompel di salah satu bagian pipinya.
"Walaupun saya berdandan seperti perempuan bukan berarti saya bencung, itu namanya pendalaman karakter," kata Kakek yang sudah beristri 3, anak 3, cucu 6 dan buyut 2 orang itu.
Menurutnya, kalau tampil tidak pernah secara perorangan mengisi acara, selalu mengikuti pementasan Kuda Gepang dan jika di Wayang Orang, biasanya sebagai Inang pengasuh anak raja yang menjaga Dewi Shinta dari gangguan Rahwana.
"Alhamdulillah kalau di Kalsel, hampir di seluruh daerah kita pernah tampil sejak ikut Dalang Diman di Pantai Hambawang hingga ikut Sanggar Seni Ading Bastari Desa Barikin," katanya.
Belajar menjadi Ma Inang
Sejak umur 40 Tahun, Inun panggilan mudanya, mulai belajar ngelawak dari generasi pertama pemeran Ma Inang di HST yaitu Paman Hamzah (alm) warga Desa Andang Kecamatan Haruyan.
Walaupun tidak ada hubungan darah dengan Paman Hamzah, Dia merupakan generasi kedua yang belajar langsung dan masih aktif hingga sekarang sebagai penerus seniman pemeran Ma Inang.
"Kalau menjadi seniman Ma Inang tidak harus dari keturunan berdarah seni tetapi lebih kepada kemauan untuk belajar dan hakun ba bongol (bodoh) di tertawakan orang," katanya sambil tertawa.
Dia menerangkan, dulu sambil memijat gurunya Hamzah, Dia diajarkan pantun-pantun papadahan (nasehat) yang sampai saat ini masih diingatnya dan selalu dibawakan saat tampil antara lain:
"Jalan-jalanlah jalin, buanglah ubak ambilah ilu
Bila kita sudah jadi pangantin, ubahkan parilaku pada nang dahulu"
"Hayam putih si hayam hirang
Mamatuki antah dinyiru
Jangan sa ilang-ilang ka rumah orang
Kalo nang laki manimburu" (bahasa banjar).
Menurutnya, membuat orang menjadi tertawa itu sebenarnya sulit, kalau pelakonnya tidak mendalami dan menjiwai karakter kita itu siapa dan penonton itu sebagai apa.
"Kalau kita sudah menjiwai dan mampu menyatukan hati antara diri kita dan para penonton, maka materi yang kita sampaikan pun akan mengalir dengan sendirinya dan mudah diterima," pesannya.
Dia mengaku sempat juga merasa bosan dan berhenti menjadi Ma Inang. Sampai-sampai pakaian yang biasa digunakan untuk tampil dibuangnnya.
Namun sayangnya, saat itu belum ada yang bisa menggantikannya dan hanya satu-satu di HST generasi penerus gurunya Hamzah sebagai Ma Inang. Disamping itu juga karena faktor ekonomi terpaksa Dia lakoni kembali.
"Dulu sempat juga belajar menjadi dalang namun karena tidak punya uang untuk membeli wayang dan peralatan gamelannya, terpaksa bakat ini saya kubur dalam-dalam," kata kakek yang juga mahir memerankan wayang orang sebagai Semar, Bagong dan Nala Gareng.
Kehidupan sehari-hari
Sarnuni saat ini tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari kayu berukuran 4x6 di sebuah gang Istiqamah tembus ke Padang Pahapitan di Kelurahan Pantai Hambawang Barat, Kecamatan LAS.
Dia mengaku tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Karena kondisi keluarganya yang dulu masih belum berkecukupan, membuat Dia sejak kecil ikut orangtua ke daerah pegunungan untuk bekerja menyadap karet.
"Jadi dulu, apapun pekerjaan yang halal saya lakoni hingga bertemu dengan Paman Hamzah dan beliaulah yang banyak menasehati saya dan belajar menjadi Ma Inang," katanya.
Selain sebagai Ma Inang, sebelumnya sehari-hari dia juga menjadi seorang petani. Namun karena sudah tua dan tidak kuat lagi, Dia bersama istrinya memilih jualan lontong di depan rumahnya setiap pagi yang Dia sebut sebagai warung pelunas hutang karena petugas Koperasi setiap hari datang.
"Pendapatan sebagai Ma Inang sekali tampil biasanya dari Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu, yang paling banyak itu biasanya saweran dari penonton bisa mencapai Rp 500 ribu, namun menjadi Ma Inang tidak dapat job setiap hari, kalau sepi paling-paling sebulan satu kali," katanya.
Menurutnya, anak muda sekarang mungkin malu kalau harus menjadi generasi penerus Ma Inang atau belajar jadi Ma Inang, padahal merupakan seni budaya khas Banjar yang juga perlu dilestarikan.
"Saat ini memang sudah beberapa orang yang mua jadi Ma Inang dan mereka mungkin belajar sendiri otodidak tanpa ada guru. Seperti Rusman di Desa Tatah dan beberapa orang lainnya di Desa Kayu Bawang," katanya.
Dia berharap ke depan, seni menjadi Ma Inang ini mendapat perhatian dari pihak terkait agar dapat terus dikembangkan sebagai bagian dari kesenian khas Banjar yang juga mampu mengedukasi masyarakat melalui pantun-pantun dan petuah kehidupan.
Baca juga: Mengenal kopi Tiga Kunci khas Barabai yang telah ada sejak 1985
Baca juga: Dalang Upik pengrajin wayang kulit dari HST yang masih bertahan
Baca juga: Bagian pemerintahan siapkan undangan pelantikan Bupati HST