"Utang pemerintah ini tidak pernah berdiri sendiri, artinya utang selalu ada karena kebutuhan untuk belanjanya ada," kata Scenaider dalam diskusi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, proses pengelolaan fiskal dimulai dari APBN yang di situ tercantum kebutuhan belanja dan sumber penerimaan. Apabila APBN defisit atau alokasi belanjanya lebih besar dari penerimaan negara, maka kekurangannya itu akan ditutup dari utang.
"Pemahamannya adalah utang tidak pernah berdiri sendiri, tetapi lahir dari kebutuhan belanja yang harus dipenuhi. Kalaupun utang itu besar, berarti kebutuhannya juga besar," kata Scenaider.
Kebutuhan pembiayaan utang 2018 adalah Rp793,2 triliun. Angka itu terdiri dari pembiayaan defisit APBN Rp325,9 triliun, utang jatuh tempo Rp394,0 triliun, pembiayaan investasi Rp65,7 triliun, pemberian pinjaman Rp6,7 triliun, dan kebutuhan untuk penjaminan Rp1,1 triliun.
Apabila dijabarkan, kebutuhan pembiayaan 2018 akan dibiayai dengan utang dalam denominasi rupiah sebesar Rp596,6 triliun (75 persen) dan utang valas Rp196,6 triliun (25 persen).
Scenaider mengatakan kebutuhan Rp793,2 triliun tersebut akan dipenuhi dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp737,6 triliun (93 persen) dan pinjaman Rp55,8 triliun (7 persen).
Pemenuhan utang dari SBN terdiri dari SBN domestik Rp592,2 triliun dan SBN valas (yen, euro, dan dollar AS) sebesar Rp145,3 triliun. Sementara untuk pemenuhan utang dari pinjaman berasal dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp4,5 triliun dan pinjaman luar negeri (program dan proyek) Rp51,3 triliun.
Baca juga: Bank Dunia nilai rasio utang Indonesia masih rendah
Editor: Jafar M Sidik