Banjarmasin (ANTARA) - Hari itu mulai terang walaupun fajar belum terlihat jelas di ufuk timur. Beberapa rumah di tepi Sungai Jingah, Banjarmasin, pagi itu sudah disibukkan oleh perajin yang memproduksi kain sasirangan.
Mereka adalah para pejuang ekonomi keluarga, yang merintis usaha melalui suka dan duka, termasuk pandemi COVID-19. Semua duka sudah dicicipi. Bagi mereka, mengantarkan diri menjadi pengusaha kain sasirangan bukan perjuangan mudah setelah beragam tantangan pernah nyaris memutus asa.
Baca juga: Menengok pulau para kera di situs Geopark Meratus Pulau Kembang
Harapan itu ternyata selalu ada bagi mereka yang gigih, Meski tertatih dan letih, perjuangan mereka berbuah nyata, mampu mengubah derajat ekonomi keluarga.
Yudani, salah seorang dari 24 perajin sasirangan di Sungai Jingah, tidak pernah mengira usaha yang dirintisnya itu diminati pasar lokal hingga internasional. Padahal, dulunya dia hanya diajak temannya. Siapa sangka kini omzetnya menembus puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Kampung Sasirangan ini terletak di sebelah utara Kota Banjarmasin. Jika melihat peta, titik koordinatnya berada di 3°18'47.6"S 114°36'30.3"E.
Kerajinan sasirangan memang sudah mengubah nasib perekonomian keluarga Yudani. Berkat usaha ini pula anak-anaknya berkesempatan mengenyam pendidikan. "Saya percaya ini adalah berkah dari Tuhan," ucapnya.
Mengulik ke belakang, dia menekuni usaha secara profesional sudah 7 tahun. Memang tidak terlalu begitu lama, namun tidak juga pemula.
Melihat sejarah, Kampung Sasirangan Sungai Jingah mulai ramai sejak 2017. Sejak saat itu kampung ini dikenal sebagai penghasil kain sasirangan.
Yudani layak disemati tanda perintis. Di antara ratusan bahkan ribuan warga, Yudani mengambil bagian dari 24 pengusaha sasirangan yang hingga kini tetap mentereng.
Di tepi sungai itu, pagi itu beberapa orang mulai menjalani kesibukannya. Ada puluhan bangunan berbahan kayu ulin berjejer dengan jarak sekitar 3 meter. Bangunan ini dijadikan gudang sebagai tempat pengolahan kain sasirangan.
Berbekal keterampilan khusus, kain dasar putih dibuat hingga menjadi kain sasirangan beragam warna dan bermotif, yang bernilai ekonomi tinggi.
Mereka mengambil kain putih, pensil, lalu mulai menggambar pola atau motif. Kadang mereka memanfaatkan pola yang sudah jadi dan tinggal menjiplak dengan cara digaris mengikuti pola.
Baca juga: Museum Lambung Mangkurat Kalsel miliki 12.149 artifak
Kebanyakan perajin mengakui menggambar pola memang tidak begitu sulit, sesekali mereka meletakkan pensil dan membentangkan kain untuk melihat motifnya sudah sesuai atau belum.
Setelah motif dibentuk, jarum mulai menembus lembar demi lembar diikuti benang menusuk kain demi membentuk lekukan jahitan mengikuti julur motif goresan pensil. Uniknya, semua lekukan jahitan ini dibentuk secara manual dengan keterampilan tangan. Alasannya, jika menggunakan mesin jahit, hasilnya tidak seindah lekukan jari.
Lalu, kain digulung memanjang, bagian tengah diikat kencang dan diapit dua ikatan masing-masing di ujung kain, kemudian dicelupkan ke pewarna dasar sebelum dibersihkan dengan sabun cuci agar kain steril dari kotoran.
Setelah dibersihkan, kain ini dibentangkan di atas nampan. Jari-jari mereka mulai mencubit-cubit kain mengikuti juluran benang dengan lihai, guna membentuk motif yang lebih khusus lagi.
Karena kebiasaannya mencubit kain, punggung tangan mereka timbul lekukan berwarna biru pucat menyerupai garis petir, urat tangan. Ini pertanda bahwa mereka sudah profesional.
Dalam proses itu, ada adu keterampilan. Semakin bagus motif, semakin mahal pula harganya. Di sebuah botol sudah disediakan pewarna sintetis, yang digunakan memberi warna tambahan di motif kain. Agar hasilnya sempurna, ujung botol diberikan lubang kecil. Ibarat menuangkan kecap ke telur mata sapi, seperti itu pula cara pemberian warna mengikuti juluran benang.
Berikutnya dituangkan beberapa zat perekat, gunanya agar warna kain sasirangan tidak mudah luntur. Lalu beberapa menit kemudian dibilas hingga bersih sebelum akhirnya dijemur di bawah terik sinar Matahari.
Semua prosesnya tampak seperti mudah bukan, tapi jika salah tahap menggambar motif dan mewarnai, hasilnya pun bisa terlihat buruk.
Kampung Sasirangan Sungai Jingah ini resmi ditetapkan sebagai Situs Ke-3 Geopark Meratus pada Desember 2022. Hal itu menyusul adanya sejarah geologi yang melekat pada proses terbentuknya kebiasaan masyarakat menggunakan sasirangan kala itu.
Baca juga: Memandang lalu-lalang "emas hitam" di Situs Geopark Meratus
Galeri Terapung Sasirangan
Ternyata, sebelum ditetapkannya Sungai Jingah sebagai bagian dari Geopark Meratus, Pemerintah Kota Banjarmasin sudah memberikan ruang bagi para perajin sasirangan mengembangkan usahanya dengan cara meresmikan Galeri Terapung Sasirangan pada 2020.
“Galeri Terapung Sasirangan ini sebagai wadah mempromosikan produk kain sasirangan milik masyarakat Sungai Jingah,” kata Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina.
Galeri ini pun menyusul dan ditetapkan sebagai Situs Ke-4 Geopark Meratus pada 2022.
Bentuknya bulat, tingginya sekitar 3 meter jika disertakan dengan atapnya yang berbentuk bulat melingkar. Posisinya di peta terletak pada titik koordinat 3°18'49.3"S 114°36'30.5"E.
Berada di kawasan permukiman perajin sasirangan, galeri ini mengapung di pinggir bantaran sungai.
Menilik lebih jelas lagi, di dalam galeri ini terdapat ruangan yang berbentuk melingkar, terpampang tulisan di lembaran-lembaran kertas menempel di dinding. Di sini sejarah tentang Kampung Sasirangan Sungai Jingah dikenalkan lebih dekat.
Perpaduan sejarah kehidupan masyarakat dengan kain tradisional, keberadaan Sungai Jingah (Sungai Martapura), sejarah pendirian galeri, menjadi alasan kuat Badan Pengelola Geopark Meratus (BPGM) tidak ragu menetapkannya sebagai situs ke-4 usai Kampung Tradisional Sasirangan Sungai Jingah.
Baca juga: Jejak sejarah di Museum Lambung Mangkurat situs "Geopark Meratus"
Galeri ini dimanfaatkan sebagai induk promosi hasil karya sasirangan masyarakat sekitar.
Manfaat ini semakin dirasakan masyarakat lainnya. Jika melihat lebih dekat lagi, hanya ada 24 pengusaha sasirangan tapi keterampilan mereka menular ke ratusan rumah tangga lain.
Jika berjalan di sepanjang pinggiran bantaran sungai, hampir semua rumah menjemur kain sasirangan dengan diikat di tiang depan rumah.
Beberapa di antaranya mengaku keingintahuan itu menular dari 24 perajin sasirangan. Lantas pengaruh itu memberikan dampak besar meningkatkan taraf ekonomi masyarakat bantaran sungai.
Mereka tidak sedikit pun menaruh kebimbangan jika hasil karyanya tidak laku. Semenjak keberadaan Galeri Terapung Sasirangan itu, ibu-ibu di bantaran sungai semakin giat. Entah sebagai pekerjaan sampingan atau utama, mereka sudah memiliki langganan tetap untuk menjual sasirangan buatannya.
Jika menilik sejarah, konon sasirangan sudah dibuat sejak abad ke-12 hingga ke-14 pada masa Kerajaan Negara Dipa di Kalimantan Selatan.
Baca juga: Pesona Geopark Meratus di kampung "Seribu Jukung" Pulau Sewangi
Jadi Kain Modern
Semenjak kain ini dibuat, para pendahulu mempercayai sasirangan sebagai pengobatan tradisional. Entah untuk menyembuhkan orang sakit ataupun untuk mengusir roh jahat.
“Kata nenek moyang dulu, kain sasirangan ini digunakan sebagai pengobatan dengan cara diikat di kepala,” kata Yudani, sembari meyakinkan diri tentang cerita dahulu kala itu.
Semenjak 2010, setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan sasirangan sebagai Warisan Budaya Tak Benda, saat itu juga pola pikir masyarakat mulai maju.
Jika sebelumnya pembuatan dibatasi karena alasan pengobatan tradisional, kini sasirangan menjelma menjadi kebutuhan penampilan banyak orang.
Di Sungai Jingah, 30 tahun lalu hanya ada tiga perajin sasirangan, namun Kemendikbud sukses mengubah pola pikir penduduk Suku Banjar hingga akhirnya kain itu diperdagangkan sampai ke pasar internasional.
Baca juga: Mengangkat Desa Belangian jadi objek wisata Geopark Nasional
Pada 2017, usaha ini kian digeluti masyarakat Sungai Jingah dan melahirkan 24 pengusaha yang sukses menembus pasar lokal dan ekspor. Apalagi semenjak dibangun Galeri Terapung Sasirangan, kedua situs ini menjadi satu kesatuan yang sukses mengenalkan budaya Banjar ke mancanegara.
Alasan ini semakin meyakinkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menetapkan dua di kawasan itu sekaligus sebagai Situs Geopark Meratus, warisan budaya, geologi, dan adanya kehidupan masyarakat.
Kini, masyarakat bantaran sungai sudah lebih fokus mengembangkan keterampilan membuat kain sasirangan. Setiap hari ratusan hingga ribuan lembar kain sudah dihasilkan para perajin.
Indonesia, Asia, hingga Eropa, menjadi pasar penting kain sasirangan, dengan omzet hingga ratusan juta rupiah.
Sukses ini pula yang menjadikan kawasan Sungai Jingah sebagai kampung mandiri.
Baca juga: Melestarikan pepohonan raksasa di Geopark Hutan Hujan Tropis Kahung