Jadi Kain Modern
Semenjak kain ini dibuat, para pendahulu mempercayai sasirangan sebagai pengobatan tradisional. Entah untuk menyembuhkan orang sakit ataupun untuk mengusir roh jahat.
“Kata nenek moyang dulu, kain sasirangan ini digunakan sebagai pengobatan dengan cara diikat di kepala,” kata Yudani, sembari meyakinkan diri tentang cerita dahulu kala itu.
Semenjak 2010, setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan sasirangan sebagai Warisan Budaya Tak Benda, saat itu juga pola pikir masyarakat mulai maju.
Jika sebelumnya pembuatan dibatasi karena alasan pengobatan tradisional, kini sasirangan menjelma menjadi kebutuhan penampilan banyak orang.
Di Sungai Jingah, 30 tahun lalu hanya ada tiga perajin sasirangan, namun Kemendikbud sukses mengubah pola pikir penduduk Suku Banjar hingga akhirnya kain itu diperdagangkan sampai ke pasar internasional.
Baca juga: Mengangkat Desa Belangian jadi objek wisata Geopark Nasional
Pada 2017, usaha ini kian digeluti masyarakat Sungai Jingah dan melahirkan 24 pengusaha yang sukses menembus pasar lokal dan ekspor. Apalagi semenjak dibangun Galeri Terapung Sasirangan, kedua situs ini menjadi satu kesatuan yang sukses mengenalkan budaya Banjar ke mancanegara.
Alasan ini semakin meyakinkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menetapkan dua di kawasan itu sekaligus sebagai Situs Geopark Meratus, warisan budaya, geologi, dan adanya kehidupan masyarakat.
Kini, masyarakat bantaran sungai sudah lebih fokus mengembangkan keterampilan membuat kain sasirangan. Setiap hari ratusan hingga ribuan lembar kain sudah dihasilkan para perajin.
Indonesia, Asia, hingga Eropa, menjadi pasar penting kain sasirangan, dengan omzet hingga ratusan juta rupiah.
Sukses ini pula yang menjadikan kawasan Sungai Jingah sebagai kampung mandiri.
Baca juga: Melestarikan pepohonan raksasa di Geopark Hutan Hujan Tropis Kahung