Banjarmasin (ANTARA) - Pohon "lua" atau Ficus rasemosa L sebuah pepohonan yang menyimpan khasiat berupa obat tradisional untuk pengobatan bisul (sejenis penyakit kulit) bagi masyarakat daerah hulu sungai atau "Banua Anam" Kalimantan Selatan (Kalsel).
Pewarta Antara Kalsel dari Banjarmasin yang melakukan perjalanan ke Banua Anam terutama Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Ahad melaporkan, pohon lua masih banyak tumbuh di tebing atau tepi-tepi sungai.
Namun belum banyak warga masyarakat di daerah hulu sungai atau Banua Anam Kalsel sendiri mengetahui khasiat pohon lua tersebut, tidak terkecuali para generasi muda setempat.
Khasiat pohon lua, terutama getahnya dapat mempercepat pecahnya bisul atau berfungsi seperti ethiol sehingga tidak perlu repot-repot pergi ke apotek dan mengeluarkan duit untuk membeli obat pemecah bisul.
Karena pada umumnya, kalau bisul itu sudah pecah dan mengeluarkan "butuh" (akar)-nya akan cepat sembuh serta tidak terlalu sakit (marantan = bahasa daerah Banjar Kalsel).
Cara penggunaan getah lua itu untuk pengobatan bisul menguleskan di tepi/bagian pinggir dengan jarak paling lama sekitar sepekan bisulnya pecah mengeluarkan nanah dan bisa mengambil akarnya/butuhnya.
Kalau akar/butuhnya sudah diambil, tak akan menimbulkan nanah dan tidak terlalu sakit lagi, kemudian secara perlahan akan sembuh kembali dengan tetap menguleskan getah lua samapai kesembuhannya betul-betul.
"Hal itu terbukti selama ini, bahwa gerah lua bisa menjadi pengobat bisul," sebagaimana tutur Abdullah (60), warga Desa Aluan Mati (173 kilometer timur laut Banjarmasin) yang dia lakukan terhadap keluarganya.
Selama ini orang banyak hanya mengenal khasiat buah lua selain umpan ikan atau buat memancing di kali dan bisa dimakan manusia dengan rasa asam.
Pohon lua tersebut kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (puluhan tahun lalu), belakangan ini mulai berkurang terlihat pada pinggir-pinggir sungai di daerah hulu sungai Kalsel seperti HST, Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Kabupaten Tapin.
Keberadaan pohon lua di tepi sungai tersebut juga menjadi buat mainan anak-anak untuk terjun ke sungai dari atas pohon itu, karena sifat "dahan" (cabang)-nya yang lentur/tak mudah patah.
Pohon lua tertua yang usianya bisa mencapai seratus tahun lebih terdapat dekat makam Sjech Muhammad Nafis bin Idris (sekitar 220 kilometer utara Banjarmasin) di Kecamatan Kelua Kabupaten Tabalong, Kalsel.
Sjech Muhammad Nafis seorang ulama tasawuf dengan karya kitabnya berjudul "Darun Nafis" yang banyak menjadi rujukan kaum Sofi hingga ke negeri Jiran Malaysia dan Brunei Darussalam.