Kotabaru (ANTARA) - Kalangan Legislatif Kabupaten Kotabaru mengkritisi 'postur' Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kotabaru Tahun Anggaran 2021, bersamaan itu para wakil rakyat menekankan kepada eksekutif agar lebih relistis dalam menentukan anggaran.
"Menelaah anggaran pendapatan sebesar Rp1,573 trilun dengan rasio 77,94 persen mengandalkan transper Pemerintah Pusat," tandas Wakil Ketua DPRD Kotabaru, M Arif.
Hal ini menurutnya patut dipertimbangkan, apakah nilai tersebut dapat dipastikan perolehannya mengingat kondisi perekonomian secara nasional sangat terpukul karena pandemic virus corona.
Kemudian pertimbangan lain, diketahui Kementerian Keuangan kembali mengubah proyek pertumbuhan ekonomi pada kuarta III tahun ini, menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuarta lll akan berada dikisaran minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen.
Angka tersebut lebih dalam jika dibandingkan dengan proyeksi awalnya, yakni sebesar minus 2,1 persen hingga 0 (berita kompas.com). Dengan revisi proyeksi pertembuhan ekonomi yang cendrung negative pada akhir tahun, pertumbuhan ekonomi juga bakal negative pada kuarta III dan lV.
Kenerja perikonomian Indonesia telah mencatat kontraksi hingga minus 5,3 persen. Hal ini akan berdampak besar kepada transper pusat kepada daerah dikarenakan kekhawatiran perolehan pusat juga menurun.
Selain itu, tambahnya, saat ini kondisi perekonomian nasional yang berada dimulut resesi ekonomi, nilai yang tersebut harus bisa dipastikan perolehannya, sehingga apa yang sudah direncanakan dan dianggarkan dalam semua kegiatan pemerintahan tidak terganggu dan terhenti.
Untuk itu, Reformasi anggaran belanja harus dilakukan melalui penajaman focus prioritas (zerobased budgeting), berorientasi hasil (result- based budgeting), dan perlu alokasi yang bersifat antisipatif (automatic stabilizer) sebagai shock-absorber otomatis dalam menghadapi ketidakpastian.
Pada bagian lain, perbandingan yang penting dicermati jumlah belanja Rp1,623 triliun, sehingga terdapat selisih Rp49 miliar lebih dibanding pendapatan Rp1,573 trilun, yang berarti lebih besar postur Anggaran Belanja dari pada Anggaran Pendapatan.
"Sehubungan itu, ada yang tidak logis dalam penyusunan APBD tahun anggaran 2021, yaitu diawal penganggaran sudah terjadi devisit anggaran," bebernya.
Namun dalam rincian tersebut juga tidak ditemukan penjelasan besaran selisih itu berasal dari Silpa positif tahun akhir 2020, karena berdasarkan laporan BPK yang pernah dibahas dalam APBD Perubahan TA 2020, Silpa yang tercatat diangka Rp12 miliar.
"Melihat hal itu, maka saran kami kepada Pemerintah Daerah sekiranya dapat melakukan pembatasan atau mengurangi belanja pada APBD TA 2021," tandas Arif.
Ditambahkannya, Kebijakan Umum Belanja Daerah dan permasalahannya, hanya membahas permasalahan urusan pemerintahan wajib, pilihan dan belanja lainnya, padahal ada yang lebi penting untuk diprioritaskan, yaitu Hutang Pemerintah Daerah yang terjadi pada tahun sebelumnya.
"Artinya anggaran menjadi sangat besar dan defisitnya menjadi sangat besar, apabila ini tidak dicermati, apakah pencapaian visi dan misi pemerintah tahun 2021 daerah dapat terlaksana dengan baik," ujarnya dengan nada tanya.
Sebagai ilustrasi defisit pada APBD TA 2021 sebesar Rp49 milar, kewajiban jangka pendek pada akhir 2019 (hutang) sekitar Rp60 miliar, dan jika pembayaran kewajiban ini disepakati dibayarkan, maka sudah tercatat defisit anggaran yang sangat besar.