Jakarta, (AntaraNews Kalsel) - Uni Eropa (UE) mendukung upaya Indonesia untuk mencapai target 100 persen minyak kelapa sawit berkelanjutan pada 2020.
Sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia diantaranya moratorium izin perkebunan sawit, tinjauan atas sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), replantasi kelapa sawit, intensifikasi lahan perkebunan, dan program pengembangan kapasitas petani kecil mandiri dianggap telah menuju arah yang tepat.
"Sekarang kuncinya adalah membawa standar ISPO ke level global, sehingga akan dipertimbangkan oleh konsumen," kata Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Guerend dalam temu media akhir tahun di Jakarta, Selasa (4/12) malam.
Konsumen Eropa, yang memiliki kepedulian tinggi terhadap industri yang berdampak besar terhadap kelestarian lingkungan dan pemanasan global, perlu meyakini bahwa sertifikat ISPO cukup kredibel untuk mencegah deforestasi dan degradasi keanekaragaman hayati.
Prinsip-prinsip keberlanjutan menjadi penting bagi konsumen Eropa, yang merupakan importir terbesar kedua minyak sawit Indonesia setelah India.
Vincent menegaskan bahwa konsumsi atas minyak sawit akan tetap tinggi, karena komoditas tersebut adalah elemen kunci dari banyak produk makanan.
Tetapi secara objektif, masyarakat Eropa akan memilih minyak sawit yang diproduksi secara bertanggungjawab.
"Dan karena pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan standar keberlanjutan dalam industri minyak sawit, kami percaya pasokan akan memenuhi permintaan, begitu pula sebaliknya permintaan dapat dicocokkan dengan pasokan," ujar Vincent.
Penegakan standar yang jelas mengenai industri sawit berkelanjutan akan melindungi masyarakat lokal, ekosistem, dan cadangan karbon sejalan dengan Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan hingga 70-90 persen di bawah tingkat proyeksi business as usual hingga 2030.
Menurut World Resources Institute, 55 persen dari hilangnya tutupan pohon di hutan primer Indonesia sejak 2000 hingga 2015 terjadi dalam area konsesi yang legal.
Konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit, industri pulp dan kertas, masing-masing memberikan kontribusi sekitar 1,5 juta hektare.
Sedangkan 45 persen dari hilangnya tutupan pohon terjadi di luar area konsesi dan telah menghancurkan 3,6 juta hektare lahan, yang sebagian besar dilakukan oleh pemegang konsesi dengan memanfaatkan lahan melebihi dari yang diizinkan dan tingkat panen yang tidak berkelanjutan.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dalam dokumen Status Hutan Indonesia, impor minyak sawit ke UE hingga 2030 akan meningkatkan permintaan impor sawit dari Indonesia, meskipun degradasi lahan gambut, hutan primer, dan sekunder tetap menjadi keprihatinan.
Impor minyak sawit UE dari Indonesia senilai lebih dari 2,4 miliar Euro meningkat 27 persen pada 2017 dibandingkan 2016.
Setelah rekor dicapai pada 2017, impor minyak sawit UE dari Indonesia untuk tujuh bulan pertama 2018 turun ke tingkat 2016 yaitu 2 juta ton.
Impor dalam lima tahun terakhir relatif stabil yaitu rata-rata 3,6 juta ton atau senilai 2,3 miliar Euro per tahun. Pangsa pasar Indonesia di UE tetap merupakan yang terbesar dengan 49 persen.
Baca juga: Diganggu Uni Eropa, Pemerintah fokus kembangkan pasar baru ekspor sawit
Baca juga: Indonesia minta UE hentikan pelabelan produk "Bebas Minyak Sawit"
Editor: Budi Santoso