Sedimen atau endapan pada alur ambang Sungai Barito per tahun mencapai 3.000.000 metrik ton, yang harus dilakukan pengerukan, guna kelancaran pelayaran laut atau samudera, terutama dari/ke Pelabuhan Trisakti Banjarmasin.
Hal itu dikemukakan Ketua Komisi III bidang pembangunan dan infrastruktur DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) H Puar Junaidi, di Banjarmasin, Jumat, usai rapat dengar pendapat dengan PT Sarana Daya Mandiri (SDM).
SDM merupakan kontraktor pengerukan dan pemeliharaan alur ambang Sungai Barito, yang mendapat kepercayaan dari PT Ambapers, sebuah konsursium Perusahaan Daerah Bangun Banua, milik pemerintah provinsi (Pemprov) Kalsel dengan PT Pelindo III Banjarmasin.
Mengutip keterangan manajemen kontraktor tersebut, Ketua Komisi III DPRD Kalsel yang juga membidangi pertambangan dan energi, serta perhubungan itu, mengungkapkan, biaya pengerukan sedimen pada alur Barito berkisar antara 40 - 50 dolar Amerika Serikat/metrik ton.
"Dengan pengerukan dan pemeliharan secara rutin tiap tahun sejak 2008, sehingga alur ambang Sungai Barito bisa dilayari kapal-kapal laut dan samudera selama 24 jam," tuturnya kepada wartawan yang tergabung dalam Journalist Parliament Community (JPC) Kalsel.
Sedangkan sebelum pengerukan atau pemeliharaan rutin, alur ambang Sungai Barito hanya bisa dilayari kapal-kapal laut dan samudera sekitar enam dalam sehari, karena kedalaman air masih ketergantungan dengan keadaan pasang dalam.
Oleh karena itu, sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kalsel Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur pungutan atas penggunaan alur ambang Barito tersebut, tiap angkutan batu bara yang melintas dikenakan tiga sen dolar Amerika Serikat/ton.
"Semestinya angkutan batu bara yang kena pungutan dalam penggunaan alur ambang Barito tersebut, tapi angkutan lainpun juga kena pungut, terkecuali bahan kebutuhan pokok sebagaimana diatur dalam Perda 11/2008," ujar politisi senior Partai Golkar itu.
"Ke depan kita berharap Perda 11/2008 bisa diterapkan secara penuh, guna peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Kalsel, tidak cuma batu bara yang kena pungutan," lanjutnya.
Mengenai bagi hasil atas penerimaan kotor dari pungutan jasa alur tersebut, dia mengungkapkan, pada dasarnya, pihak kontraktor pengerukan dan pemeliharaan alur tersebut dapat memaklumi.
"Namun untuk tindaklanjutnya masih memerlukan pembicaraan yang lebih seksama dan mendalam lagi agar tidak merugikan masing-masing pihak," demikian Puar.
Sesuai kesepakatan, bagi hasil penerimaan kotor dari pungutan alur ambang Barito tersebut, untuk Pemprov Kalsel mendapat enam persen. Kemudian sisanya 10,25 persen untuk Ambapers dan 87,75 persen bagian kontraktor pengerukan dan pemeliharaan alur tersebut.