Barabai, Hulu Sungai Tengah (ANTARA) - Pakar Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik Universitas Al Azhar Indonesia MS Shiddiq Ph.d meminta pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, dibenahi penyelenggara dan pengawas buntut hakim memvonis tiga pegawai kontrak pemda setempat terlibat politik uang.
“Ada potensi penyalahgunaan aparatur negara di Kabupaten HST karena terbukti pegawai kontrak terlibat politik uang Pilkada 2024,” kata Shiddiq di Barabai, Hulu Sungai Tengah, Jumat.
Baca juga: Polhukam kemarin dari politik uang hingga pembobol minimarket
Sebagai akademisi, Shiddiq mengamati diberikannya vonis bersalah tiga pegawai kontrak Pemkab HST oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Barabai, Kabupaten HST, pada beberapa hari lalu.
Tiga pegawai Pemkab HST itu, yakni Akhsanul Halikin dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider kurungan 15 hari karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 187 A ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dua pegawai lainnya, yakni Riansyah dan Yusuf, juga terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal yang sama, namun hanya dijatuhi hukuman percobaan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp200 juta subsider kurungan 30 hari. Namun, pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama satu tahun berakhir.
Shiddiq mengatakan barang bukti berupa 742 lembar amplop berisi uang yang didistribusikan untuk mempengaruhi pemilih menunjukkan bahwa politik uang masih menjadi strategi yang digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu di daerah ini.
Baca juga: Tiga pegawai Pemkab HST divonis bersalah terlibat politik uang Pilkada
Dengan barang bukti yang lebih banyak, Akhsanul dianggap memainkan peran lebih besar untuk mempengaruhi hasil Pilkada, karena mendapatkan hukuman tiga tahun penjara, ini merupakan penerapan tegas dari undang-undang memberikan efek jera.
Namun, kata Shiddiq, hukuman hanya percobaan kepada Riansyah dan Yusuf dapat menimbulkan persepsi bahwa hukuman tersebut kurang memberikan dampak signifikan dalam mencegah politik uang pada masa depan.
"Meskipun hukuman ini sah secara hukum, masyarakat dapat menginterpretasikan bahwa pelaku dengan peran kecil atau tingkat keterlibatan tertentu dapat lolos dari hukuman berat,” tuturnya.
Menurutnya, dengan terlibatnya pegawai kontrak pemerintah daerah sebagai pelaku utama, kasus ini menjadi perhatian karena mencerminkan potensi penyalahgunaan aparatur negara untuk tujuan politik praktis.
Pakar politik lulusan Universitas Al Azhar Indonesia ini menilai perlu sebuah gebrakan besar untuk menghindari pengulangan kasus serupa melalui langkah-langkah pencegahan secara komprehensif melibatkan pemerintah dan masyarakat.
Baca juga: Polhukam kemarin dari gangster hingga politik uang pilkada