Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Dewan Pimpiman Daerah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kalimantan Selatan menyoroti kondisi keluarga di provinsinya yang kini berpenduduk mencapai empat juta jiwa tersebut.
Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) Kalimantan Selatan (Kalsel) Munajah Ulya menyoroti kondisi keluarga di provinsi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota tersebut pada jumpa pres reflesi tahun 2016 di Banjarmasin, Kamis.
Menurut perempuan Muslim bergelar sarjana hukum dan magister hukum itu, di "Bumi Perjuangan Pangeran Antasari" Kalsel belum terwujud kondisi ideal pada keluarga atau masih masuk kategori darurat ketahanan keluarga.
Sebagai contoh, angka perceraian masih tinggi, untuk Kota Banjarmasin hingga awal September lalu, terdapat 1.600 kasus, bahkan masih ada 300 kasus yang belum tuntas, belum lagi kondisi generasi muda yang memprihatinkan.
Sementara data Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Banjarbaru, Kalsel, tidak ada satupun sekolah di kota tersebut yang steril dari bahaya narkoba dan seks bebas, ujarnya mengutip berita Harian Umum Banjarmasin Post 2016.
Begitu pula merebaknya penyimpangan seksual, lanjutnya dengan mengutip data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Banjarbaru, jumlah lelaki seks lelaki (LSL) selalu di atas seribu orang per tahun. Bahkan pada 2016 diperkirakan mencapai belasan ribu orang.
Kemudian data Kementerian Kesehatan RI, LSL di Kalsel pada tahun 2016 sebanyak 1.094 hingga 12.975 orang. Bukan hanya LSL, kaum penyuka sesama jenis lainnya yaitu waria hingga saat ini jumlahnya juga masih tinggi di atas ribuan, mereka itu sangat berisiko tertular HIV.
Menurut dia, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kompleksnya masalah anak mulai dari anak sebagai korban kejahatan hingga pelaku kejahatan, berbagai penyimpangan perilaku dalam berkeluarga, hingga tereduksinya fungsi-fungsi keluarga, itu semua dampak dari serangan pemikiran sekuler-liberal.
Oleh karena itu, MHTI mengingatkan semua pihak harus mewaspadai serangan pemikiran sekuler - liberal tersebut. "Tidak saja keluarga dan masyarakat, negara juga punya andil yang besar dalam menangkal serangan tersebut," katanya.
"Apalah artinya penolakan LGBT oleh sebuah keluarga atau masyarakat, sementara atmosfir kebijakan tetap memberi ruang pada mereka. Sehingga action dari individu, keluarga dan anggota masyarakat sekalipun akan menjadi mandul tatkala kebijakan negara tidak selaras," lanjutnya.
Oleh karena itu, negara sudah sepatutnya memerankan diri selayaknya negara. Dengan posisinya sebagai pelaksana peraturan, pembuat kebijakan dan pengelola seluruh urusan rakyat, negara adalah penanggungjawab langsung dalam mewujudkan ketahanan keluarga, demikian Ulya.