Rantau (ANTARA) - Di balik kabut asap ada seorang petani yang berjuang menyelamatkan tanaman Cabai Rawit Hiyung, namun usahanya gagal. Api dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terlalu besar dibandingkan dengan upayanya yang hanya mengandalkan semprotan rumput berisi air dan tangan untuk menghalau api.
Petani itu adalah Ardiansyah, lelaki berusia 63 tahun ini juga dikenal sebagai guru mengaji Al Qur'an. Sedangkan, peristiwa karhutla yang melanda sentra cabai terpedas di Indonesia tersebut mulai Jumat sore (15/9) hingga malam di Desa Hiyung, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
Baca juga: Hujan bantu penanganan karhutla di Tapin
Saat itu, api menjalar sangat cepat, membakar semak belukar, merambat ke jerami yang menjadi media tanam cabai rawit. Di tengah kepulan asap, Ardiansyah mencoba menyingkirkan semua jerami itu dengan ikhtiar tanaman agar tidak terdampak.
Hingga sore menjelang malam, Ardiansyah masih berjibaku dengan api tanpa peduli keselamatan diri. Sesekali ia lari keluar dari kepungan asap, mencoba hirup udara segar. Raut wajah keriput terlihat sangat lelah, matanya berlinang entah kena asap atau memang lagi sedih saja.
Semprotan rumput yang berisi air di punggung hampir habis, sedangkan api masih menyala. Ardiansyah memang nekat pada situasi tersebut, tumpukan jerami yang membakar barisan cabai rawit itu dipungut dengan tangan yang terasa panas.
Sebelum malam tiba, dua orang menantunya datang membantu setelah selesai menghalau api di sisi kebun lainnya. Kedua orang itu, Hadri dan Ivi, pria dewasa itu juga membawa semprotan rumput berisi air.
Memasuki malam, keluarga ini lari ke sisi kebun. Api begitu besar dan menyala terang membakar tanaman purun, siap melalap ratusan cabai rawit yang tersisa milik Ardiansyah.
Malam itu, cukup mencekam titik api ada di mana-mana. Dari kejauhan, Ardiansyah membawa pecah cermin menghadapkan ke arah api, sambil membaca surah-surah Al-Qur'an.
"Tolak bala," sahut Ardiansyah saat lari mengambil air.
Baca juga: Pemkab Tapin janji bantu petani Rawit Hiyung terdampak karhutla
Selesai ikhtiar itu, menggunakan semprotan rumput, ember dan kayu keluarga Ardiansyah mencoba menghalau api. Beruntung sumber air cukup dekat dengan kebun di sisi satunya ini.
Meski nekat, usaha itu membuahkan hasil. Ratusan tanaman cabai rawit dan pondok tani berhasil diselamatkan. Mereka, baru bisa pulang setelah lewat penghujung malam, sekitar pukul 01:00 Wita dini hari.
Lokasi kebun milik Ardiansyah ini, memang jauh dari jalan utama Desa Hiyung. Harus diakses menggunakan sepeda motor. Pemadam kebakaran tak sempat menyelamatkan kebun milik Ardiansyah.
Ada puluhan pemadam kebakaran di Desa Hiyung hari itu, tak terkecuali Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tapin. Mereka berjibaku menyelamatkan ratusan hektare kebun cabai rawit dan juga mengamankan pemukiman warga.
Ardiansyah mengaku rugi tak kurang dari Rp50 juta akibat gagal panen karena karhutla. Sekitar 4.000 batang cabai rawit siap panen miliknya ludes terbakar, hanya beberapa ratus batang saja yang berhasil diselamatkan.
"Cuma sempat panen tujuh ons," ujarnya.
Niat hati Ardiansyah dan Fatimah istrinya ingin memperingati 100 hari kepulangan anak bungsu ke Rahmatullah yang meninggal karena sakit, terancam pupus, akibat karhutla yang melalap ribuan cabai rawit itu.
Sekarang, untuk modal tanam lagi saja suami istri ini bingung harus mencari uang ke mana belum lagi untuk biaya hidup. Modal untuk sarana produksi misal bibit dan pupuk bisa mencapai puluhan juta.
Baca juga: Petani Rawit Hiyung di Tapin rugi Rp540 juta akibat karhutla
"Modal bisa lebih Rp10 juta lebih, itu pun tak dihitung biaya tenaga," ungkap Ardiansyah ditemui usai kebakaran.
Terus, hasil panen itu juga rencananya untuk membayar hutang anaknya yang baru meninggal itu sebesar Rp1,7 juta.
Utang ini, diwasiatkan anaknya melalui surat di dalam dompet. Uang itu digunakan untuk keperluan sehari-hari, saat menuntut ilmu agama di Batulicin, Kalimantan Selatan.
Satu petani tewas
Kebakaran di wilayah sentral Cabai Rawit Hiyung ini bukan kali pertama terjadi, musim kemarau ini sudah terjadi berkali-kali. Bahkan, menewaskan seorang petani, yakni Supian Suri (55).
Baru saja, petani itu tewas pada Senin siang (28/8), usai berjibaku dengan api untuk menyelamatkan kebun cabai rawit.
Ternyata, sosok petani yang tewas tewas ini adalah keponakan dari Ardiansyah, hal itu diungkapkannya saat bercerita setelah kebakaran di pondoknya usai mengais sisa cabai di dahan yang terbakar.
Saksi Ardiansyah, keponakan itu tewas karena lupa diri tentang kesehatan dan kondisi sebaran api yang mengancam tanaman Cabai Rawit Hiyung. Ya, mungkin sama halnya apa yang dilakukan Ardiansyah pada Jumat lalu itu.
Supian ditemukan dalam kondisi hidup di kebun cabai oleh personel pemadam dan masyarakat. Tergeletak di tengah kepungan asap di atas tanah.
Tubuh keponakan Ardiansyah itu dilarikan ke RSUD Datu Sanggul yang berjarak lebih 20 KM di Kota Rantau ibukota Kabupaten Tapin, menggunakan mobil Palang Merah Indonesia (PMI) yang saat itu berjaga di lokasi kebakaran.
Namun, nahas. Setelah ditangani pihak rumah sakit selama 25 menit, Supian dinyatakan tak bernyawa. Dengan dugaan penyakit jantung.
Baca juga: Perkiraan 12 ribu Cabai Rawit Hiyung terbakar, petani di Tapin rugi ratusan juta
Total kerugian
Kebakaran hebat itu mengharuskan tiga hektare lebih dari total 115 hektare kebun di sentral cabai rawit Desa Hiyung pada Jumat itu dengan kerugian ditaksir mencapai setengah miliar rupiah lebih.
Staf Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Tapin, Kalimantan Selatan Junaidi menaksir petani Cabai Rawit Hiyung mengalami kerugian mencapai Rp540 juta akibat karhutla pada Jum'at lalu itu.
Kerugian itu berdasarkan hitungan tanaman Cabai Rawit Hiyung siap panen sebanyak 12 ribu batang yang terbakar. Jika dihitung luas, maka ada lebih tiga hektare.
Dihitung berdasarkan luas, rata-rata per hektare bisa menghasilkan cabai rawit sekitar empat sampai enam ton. Angka Rp540 juta itu dihitung dengan asumsi harga cabai Rp45 ribu per kg.
"Petani yang terdampak ini, yakni Juhani, Ardiansyah, Irun dan Fahri," ujarnya yang juga sekaligus Ketua Kelompok Tani Desa Hiyung.
Junaidi menjamin, tak ada rekayasa terkait dampak karhutla tersebut. Terkait jumlah ia klaim kemungkinan lebih dari 12 ribu batang Cabai Rawit Hiyung yang terbakar. Saat ini pun, pihaknya masih melakukan verifikasi terkait dampak karhutla, untuk menemukan data kongkrit.
"Kemungkinan lebih, namun tak jauh dari angka 12 ribu, kita masih lakukan pendataan," ungkapnya, Minggu.
Setelah bencana ini, secercah harapan timbul dari pemerintah daerah Kabupaten Tapin, yakni janji bantuan untuk para petani agar tetap semangat menanam cabai rawit andalan daerah ini.
Belajar dari pengalaman ini, Sekretaris Daerah Kabupaten Tapin Sufiansyah mengatakan akan melakukan pemetaan khusus untuk mitigasi bencana agar petani Cabai Rawit Hiyung tak perlu was-was terhadap karhutla.
Baca juga: BPBD Tapin : Ribuan Cabai Rawit Hiyung siap panen terbakar
Tumpuan Ekonomi
Hampir seluruh masyarakat di Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah telah menggantungkan hidup dari tanaman cabai rawit yang tumbuh subur di ekosistem rawa ini.
Khusus di Desa Hiyung saja, saat ini lahan produktif ada 116 hektare milik 11 kelompok tani.
Lahan seluas itu melibatkan 300 kepala keluarga (KK) setempat. Jika ditambah dengan 140 hektare lahan milik petani mandiri, maka totalnya ada 329 KK atau 99 persen penduduk Desa Hiyung mengandalkan tanaman cabai ini sebagai tumpuan ekonomi.
Apabila sepanjang musim tahun ini cuaca bagus dan ancaman penyakit bisa diminimalisir, maka panen besar bisa dilakukan 20 kali lebih.
Jika terjadi musim kemarau kering, petani cabai di Hiyung bisa menghasilkan 3 ton/hektare. Namun apabila terjadi kemarau basah, maka hanya 1,5 ton/hektare dan panen sepanjang musim cuma bisa dilakukan di bawah 20 kali oleh petani.
Terkait harga, cabai rawit hiyung lebih unggul dari pada cabai jenis lainnya, sehingga di pasaran, nilai jual bisa selisih Rp5 ribu-Rp10 ribu/kg dari cabai rawit asal daerah lain.
Harga tertinggi dan terendah belakangan ini yang dialami cabai rawit hiyung, yaitu Rp35 ribu-120 ribu/kg, yang fluktuasinya sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar.
Jika harga anjlok, misalnya di bawah Rp35 ribu, sejak 2015 kelompok tani di desa itu sudah mempunyai cara untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani. Kelompok akan membeli sebagian hasil panen petani untuk kebutuhan rumah produksi abon atau sambal Cabai Rawit Hiyung.
Tentunya, nilai tukar pada konsep dagang itu disesuaikan, tetap memperhitungkan keuntungan petani dan rumah produksi turunan Cabai Rawit Hiyung.
Beda kondisi apabila harga bersahabat. Anggaplah di atas Rp90 ribu, di saat musim panen baik, momentum ini disebut petani sebagai berkah, keuntungan bisa berlipat ganda.
Baca juga: 12 hektare belukar dan sawit terbakar di Tapin Kalsel
Turun Hujan
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan Raniansyah menyebutkan hujan yang melanda sejak Minggu sore hari, membantu penanganan kebakaran hutan dan lahan.
"Sebagian wilayah hujan dengan intensitas tinggi, jelas hujan ini membantu penanganan karhutla," ujar Raniansyah saat dikonfirmasi ANTARA di Rantau, Tapin, Minggu.
Meskipun tak lama, hujan yang hanya berkisar satu jam, menurut Raniansyah, membasahi area rentan atau rawan kebakaran, seperti kawasan rawa pada beberapa wilayah di Kabupaten Tapin.
"Beberapa pekan terakhir, dan Agustus cuma ada sekali hujan," ucap Raniansyah.
Dampak hujan ini juga dirasakan petani Cabai Rawit Hiyung yang terdampak karhutla di Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah pada Jumat kemarin.
Ketua Kelompok Tani Desa Hiyung Junaidi memastikan hujan yang mengguyur pada sore ini mampu memadamkan api di lahan perkebunan Cabai Rawit Hiyung.
"Alhamdulillah hujan sangat deras di Hiyung," tutur Junaidi.
Usai hujan tersebut, kata Junaidi, sudah tak terlihat kepulan asap di wilayah rawa kering yang terdampak kebakaran.
Berdasarkan data BPBD Tapin hingga puncak kemarau sejak Juni sampai akhir Agustus 2023, terjadi 52 karhutla dan membakar lebih dari 76 hektare yang didominasi lahan semak belukar.
Baca juga: Perkiraan 12 ribu Cabai Rawit Hiyung terbakar, petani di Tapin rugi ratusan juta