Jakarta (ANTARA) - Minggu (1/12/2019) pagi, dua gerbong kereta berdesain futuristik menurunkan penumpang setibanya di Stasiun Velodrome, Jakarta Timur.
Tak cukup banyak orang yang diangkut dari Stasiun Pegangsaan II Kelapa Gading, Jakarta Utara. Rangkaian gerbong dengan 40 tempat duduk berkapasitas angkut 270 hingga 278 orang terisi kurang dari separuhnya.
Yohana beranjak keluar kereta lewat pintu yang terbuka otomatis melewati satu dari lima rangkaian mesin tap tiket di peron 1 Velodrome.
Sesudah dua hari menggarap acara pernikahan, pekerja lepas salah satu "event organizer" itu harus kembali mengakrabi rutinitas menjadi ibu rumah tangga di Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Baca juga: High-speed train will be completed by 2021: President
"Keren juga ya, seperti naik kereta di luar negeri," kata perempuan berusia 31 tahun itu.
Tahun 2019 menandai realisasi operasional Lintas Rel Terpadu atau Light Rail Transit (LRT) sebagai wajah baru Jakarta. Untuk mewujudkan yang perlu invesrasi investasi sekitar Rp6,8 triliun.
Proyek garapan PT LRT Jakarta bekerjasama dengan Pemprov DKI sejak 2014 itu, baru merampungkan 89 persen pekerjaan fase 1 yang membentang dari Pegangsaan II hingga Velodrome, sejauh 5,8 kilometer pada Desember 2019.
Lintasan dibangun "elevated" atau layang setinggi sembilan hingga 12 meter membelah perbatasan kota di utara dan timur Jakarta. Sepanjang koridor dilengkapi enam stasiun, yakni Pegangsaan ll, Boulevard Utara, Boulevard Selatan, Pulomas, Equestrian sampai Velodrome.
Baca juga: LRT Jakarta offers flat tariff
Meluncur di dalam kabin LRT Jakarta rupanya memberi pengalaman tersendiri bagi Yohana. Kereta seharga Rp18 miliar per gerbong adalah yang pertama di Jakarta dan Jawa yang menggunakan sistem "third rail".
Dengan sistem yang dimaksud, aliran listrik disalurkan melalui rel ketiga yang terhubung ke bagian bawah kereta. Tidak ada rangkaian kabel yang menjuntai merusak estetika kota.
"Third rail" berbeda dengan "overhead line" atau listrik aliran atas seperti yang dipakai "commuter line" serta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta yang ditandai bentangan kabel panjang di atas lintasan kereta.
Rangkaian gerbong LRT memiliki lebar gandar 1.435 mm yang biasa disebut "standard gauge" sebagai aturan baku di perkeretaapian berkelas dunia.
"Laju kereta ini tidak begitu cepat. Pergerakannya pun cukup halus," kata Yohana.
Secara fisik, gerbong LRT Jakarta tidak memiliki perbedaan signifikan dengan KRL, di antaranya kursi penumpang yang disusun berhadapan, satu unit layar digital informasi perjalanan, fasilitas disabilitas, hingga mesin pendingin kabin yang sejuk.
"Kalau saya bandingkan kursi duduknya, ya lebih enak di KRL, sebab ada bantalan busanya, lebih hangat," katanya.
Sementara di kereta ini materialnya besi semua. "Jadi agak kurang nyaman. Agak licin dan keras," kata penumpang lainnya bernama Aulia.
Kuno
Kritik itupun mendapat respons dari General Manager Operasi dan Pelayanan PT LRT Jakarta, Aditya Kesuma yang menyebut kursi kereta berlapis busa itu kuno.
"Kereta di negara lain seperti Malaysia dan Singapura juga sama, hanya pakai bangku stainless steel," katanya.
Kursi berbahan stainless steel dilapis antikarat galvanis sengaja dipilih atas pertimbangan jarak tempuh penumpang yang relatif pendek.
Kursi tanpa balutan busa menjadi strategi operator dalam meminimalisasi biaya perawatan.
Mengunjungi Stasiun Velodrome di Jalan Balap Sepeda, Rawamangun, Jakarta Timur, mungkin bisa membuka wawasan masyarakat tentang rupa stasiun moderen di Jakarta.
Bangunan tiga lantai dilengkapi empat pintu masuk menuju peron. Penumpang bisa memilih pijakan tangga, ekskalator atau lift untuk mencapai seluruh lantai dari jalan raya.
Fasilitas teranyar di Indonesia hadir di Velodrome berupa platform "screen doors" yang memisahkan peron dan rel kereta. Penumpang kereta dapat bertransaksi tiket perjalanan secara daring (online) maupun manual pada empat loket yang tersedia.
Direktur Utama PT LRT Jakarta, Allan Tandiono mengatakan stasiun di seberang Arion Mal itu menjadi yang pertama di Jakarta mewujudkan integrasi tiga moda transportasi massal yang dihubungkan oleh jembatan layang atau Skybridge Pemuda Rawamangun.
Skybridge menjembatani pejalan kaki saat melintas dari LRT Jakarta, shelter Transjakarta dan Stasiun MRT Jakarta.
"Jadi kami bertiga bersinergi dan mewujudkan secara nyata tiga integrasi, integrasi rute fisik dan pembayarannya," katanya.
Penumpang LRT dari Stasiun Velodrome menuju Dukuh Atas, Jakarta Selatan, bisa langsung menuju Halte TransJakarta melalui skybridge tersebut.
"Bahkan nanti, setelah turun di Dukuh Atas, masyarakat juga bisa melanjutkan perjalanan menggunakan MRT Jakarta," katanya.
Selain MRT Jakarta, penumpang juga bisa melanjutkan perjalanan menuju Kereta Bandara melalui Stasiun BNI City yang letaknya tak jauh dari Halte TransJakarta Dukuh Atas.
Perbandingan
Seorang penulis pada perusahaan media massa di Jakarta, Noersativa (27) mengatakan sistem integrasi menjadi persyaratan mutlak bagi "tulang punggung" transportasi publik perkotaan.
Pada Agustus 2019, perempuan asal Semarang itu mengisahkan pengalamannya berkereta selama mengisi liburan musim panas melintasi Munchen (Jerman), Venesia dan Florence (Italia), Swiss, hingga ke Prancis, Agustus 2019.
"Kalau transportasi itu yang terpenting adalah integrasi. Meskipun beda negara, tapi koordinasi antarperusahaan operasional itu solid banget," katanya.
Noersativa menyebutkan LRT Jakarta saat ini mirip dengan kereta Metro di Milan, Itali.
Otoritas setempat membangun stasiun yang berdekatan dengan hunian apartemen pendatang.
Malam itu dia mau ke Kota Domo, maka naiklah kereta Metro karena apartemen deket Stasiun Milan. Tiket perjalanan setara Rp30 ribu, lebih mahal dari LRT Jakarta yang cuma Rp5.000 per perjalan.
Stasiun Metro di Milan berada di bawah tanah tanpa petunjuk berbahasa Inggris. Tapi ada petugas membimbing perjalanan penumpang.
Bahkan binatang peliharaan yang dibawa penumpang dibolehkan masuk ke dalam kereta meski di beberapa titik gerbong tercium bau tidak sedap dari kotoran binatang.
Entrance penumpang pun masih menggunakan lembaran tiket yang dimasukan ke dalam mesin otomatis. "Jeda waktu saat tiket masuk dan keluar agak lama di Stasiun Milan, jadi rawan disusupi dua orang atau lebih dalam satu tiket," ujarnya.
Keberadaan alat pengeras suara sebagai sumber informasi untuk penumpang di sejumlah stasiun Jakarta dinilai Noersativa kurang efektif.
"Kalau bisa banyakin layar informasi, jangan banyakin halo-halo karena di kereta kita pakainya halo-halo, itu gak efektif. Lebih efektif perbanyak pasang layar informasi," katanya.
Fasilitas penyimpanan seperti loker barang disediakan operator stasiun bagi keperluan penumpang untuk menyimpan barang mereka.
Loker ada di semua stasiun di Itali. "Jadi buat 'backpacker', tinggal taruh tas di loker, jalan-jalan keliling kota, lalu balik ke stasiun ambil barang di loker," katanya.
LRT Jakarta sepertinya tidak kalah untuk dibandingkan dengan transportasi moderen di sejumlah negara maju di dunia.
Lantas, apakah anda tertarik mencobanya?.