Jakarta (ANTARA) - Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Firli Bahuri dengan cepat melangkah ke arah pintu Istana Negara, Jakarta pada Jumat (20/12).
Ternyata Presiden Joko Widodo memanggil lima orang Dewan Pengawas (Dewas) dan lima orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2019-2023 ke Istana Merdeka setelah menyaksikan kesepuluh orang tersebut membacakan sumpah jabatan.
Kedua istana terpisah taman dan halaman yang berjarak sekitar 100 meter. Maka tak heran Firli pun menggerakkan kakinya dengan cepat untuk mengejar sembilan orang rekannya yang sudah merangsek ke Istana Merdeka.
Mereka adalah Ketua dan anggota Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, Syamsuddin Haris serta Ketua serta Wakil Ketua KPK Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango.
"Harus sekarang ya? Tidak bisa nanti?" tanya Firli sambil masih berjalan kepada salah seorang wartawan yang berusaha mencegatnya.
"Kalau nanti bapak sudah makin sibuk Pak," kata si wartawan salah satu surat kabar mencoba meyakinkan Firli untuk berhenti sebentar.
Bukannya memperlambat laju langkahnya, Firli malah terus melaju meski sejumlah wartawan sudah menyorongkan alat perekam ke hadapannya. Wawancara doorstop pun dilakukan sambil berjalan menuju Istana Merdeka.
Pertanyaan pertama yang diajukan kepada Firli adalah terkait dengan fokus kerja KPK, apakah ke penindakan atau pencegahan. Pertanyaan itu pun dijawab tegas oleh Firli.
"Tidak ada fokus-fokus kerja begitu, Anda baca pasal 6 UU 19 tahun 2019, tugas pokoknya ada 6, semua kita laksanakan," ucap Firli.
Pasal 6 UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK menyatakan tugas KPK adalah (1) tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi; (2) koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik; (3) monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara; (4) supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tipikor; (5) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tipikor; (6) tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Namun, UU No. 19/2019 menghilangkan kewenangan pimpinan KPK. Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Terhadap hal tersebut, Firli mengatakan pimpinan KPK tetap bertanggung jawab terhadap semua aktivitas di KPK. Ia mengaku hanya akan mengevaluasi bagian mana yang kurang dan lemah akan diperbaiki dan diperkuat agar KPK lebih baik.
Terkait dengan perubahan status kepegawaian pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UU No. 19 tahun 2019 yang menyatakan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps Profesi Pegawai ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Firli mengaku bahwa perubahan itu tidak membuat para pegawai KPK mengundurkan diri.
"Ini yang saya harus jelaskan. Pegawai KPK yang mengundurkan diri itu tidak ada kaitan dengan pengangkatan ASN, waktu saya deputi, tiga orang yang mengundurkan diri, satu, karena nikah; dua, karena bekerja di instansi lain; tiga, dia mendapat pekerjaan lain. Sama dengan 12 (orang pegawai KPK) ini, jadi itu tidak ada kaitan dengan ASN," ungkap Firli.
Sebelumnya diberitakan ada 12 orang pegawai yang mengundurkan diri terkait dengan penerapan UU KPK. Firli juga membantah ia punya relasi tidak baik dengan para pegawai.
"Yang membeku cairkan siapa? Anda yang beku? Saya nggak pernah beku, Kalau kita tidak memiliki integritas, kita tidak akan lulus tes, OK," jawab Firli dengan suara meninggi saat ditanya dengan relasinya di KPK
Pimpinan-Dewas-Pegawai
Sebenarnya bagaimana hubungan pimpinan dengan Dewan Pengawas KPK dan pegawai KPK? Ada sejumlah kontroversi terkait hubungan ketiganya sebagaimana diatur dalam UU No. 19 tahun 2019. UU tersebut menghilangkan kewenangan pimpinan KPK sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum seperti dalam pasal 21 UU No. 30 tahun 2001 tentang KPK. Artinya tindakan pimpinan akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan karena pimpinan KPK tidak bisa lagi menandatangani surat perintah penyelidikan, penyidikan atau berkas penuntutan
Namun, kewenangan lain tetap dimiliki pimpinan KPK seperti yang disampaikan oleh Firli.
Selanjutnya Dewan Pengawas KPK adalah struktur baru dalam tubuh KPK. Kehadiran Dewan Pengawas di bawah Presiden memang diatur sebagaimana dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G serta Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D.
Dewan Pengawas berdasarkan pasal 37 B punya 6 tugas yaitu Pasal 37B (1) mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK; (2) memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; (3) menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK; (4) menerima dan laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam UU; (5) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK; dan (6) melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala 1 kali dalam 1 tahun.
Sedangkan pegawai KPK berdasarkan perintah UU No. 19 tahun 2019 adalah ASN Pasal 69B ayat (1) berbunyi Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU berlaku dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Karena UU tersebut masih berupa garis besar maka menurut Firli KPK pun perlu membentuk peraturan KPK atau peraturan presiden atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang organisasi tata kerja KPK, termasuk terkait alih status pegawai sebagai ASN.
"Saya pernah di deputi penindakan KPK kurang lebih 1 tahun 2 bulan 14 hari, pendapatan pegawai KPK memang tinggi tetapi walau pun saya di Deputi Penindakan saya bekerja bagaimana memperjuangan kesejahteraan anggota. Saya tahu betul tentang gaji ke-13 dan ke-14 itu ada di peraturan pimpinan KPK sehingga kita dapat, meski kalau sesuai aturan Presiden kita tidak masuk di situ. Artinya ini bukti pemerintah bahwa saya peduli dengan pegawai KPK," ungkap Firli.
Firli pun mengaku selanjutnya akan memperjuangkan agar pegawai KPK dapat memperoleh gaji beserta tunjangan, atau setidaknya tunjangan risiko saat bekerja. Karena selama ini pegawai KPK hanya memperoleh single salary dan bahkan tidak mendapat THR namun take home pay mereka setidaknya tiga kali lipat dari ASN dengan golongan yang sama.
"Kalau gaji naik itu sama dengan pesawat. Saat pesawat naik semua menikmati, tapi saat turun saatnya berhenti. Kalau gaji pegawai KPK naik pasti tidak ada kegaduhan kalau gaji akan tururn terjadi kekacauan, kok tidak ada yang tepuk tangan ya? Saya tidak janji tapi sudah sampaikan mudah-mudahan ada Pak Men-PAN (menerima usulan) dan kebetulan beliau sangat 'welcome'," ucap Firli dengan suara tegas.
Kalimat selanjutnya yang meluncur dari mulut Firli adalah "mengapa pernyataannya itu tidak ditepuki?" akhirnya para pegawai KPK pun bertepuk tangan atas ucapannya tersebut.
Gaji besar pun ditambah tunjangan kerja pun sudah di depan mata para pegawai KPK.
Tidak hanya sistem penggajian yang (dijanjikan) berubah, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar sudah lebih dulu mengubah tampilannya, sejak pelantikan, Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2008-2018 mengenakan jilbab.
"Ya ini bagian dari hijrah, memang niatnya sudah begini dan itu sudah ditanamkan jauh, bahwa mudah-mudahan ketika duduk sebagai pimpinan KPK memang niatnya akan hijrah, paling tidak wajahnya tidak galak deh, tapi tetap akan komitimen untuk penegakan hukum dan pemberantasan korupsi," ujar Lili.
Lili mengaku ia dan empat orang pimpinan lain masih melakukan konsolidasi untuk pembagian kerja.
"Kemarin kita baru berbincang-bincang, kita juga sepertinya akan seperti komisioner yang sebelumnya. Tidak dibagi secara apa gitu, ini ahli di bidang apa ini bidang apa saja, jadi semuanya bisa dalam seluruh bidang, cuma mungkin penguatan di soal penuntutan. Kita belajar dari kasus itu kasus-kasus lepas, tuntutan bebas, atau pra peradilan yang dikabulkan kita belajar dari situ mudah mudahan itu nggak terjadi lagi," tutur Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Nawawi sendiri sudah mengajukan pengunduran diri sebagai hakim per 12 Desember 2019 lalu.
Nawawi Pomolango adalah hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali. Ia mengawali karier sebagai hakim pada 1992 di PN Soasio Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah. Ia pernah bertugas di PN Jakarta Pusat dan Jakarta Timur serta mengadili sejumlah kasus KPK seperti kasus Luthfi Hasan Ishaaq, Fatonah, Irman Gusman, Patrialis Akbar.
Namun, berbeda dengan Nawawi yang melepas jabatan sebagai hakim, anggota Dewan Pengawas, Albertina Ho mengatakan bahwa ia hanya melepas jabatan struktural sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, bukan profesinya sebagai hakim.
"Aturanya bilang apa? Saya harus melepas jabatan struktural saya sebagai Wakil Ketua PT Kupang, jadi saya lepas tapi tidak mundur dari hakim, hanya mundur sementara dari hakim," ungkap Albertina.
Albertina Ho dikenal sebagai ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia dikenal gigih dan tegas dalam menyidangkan perkara.
Sedangkan anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris yang tadinya getol menolak revisi UU KPK mengaku bahwa ia menerima tawaran sebagai anggota Dewas KPK karena menilai Dewas menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan KPK, bukan sebaliknya.
"Jadi saya yakin Dewan Pengawas dengan tim kami yang berlima ini bisa menjadikan KPK yamg malah mungkin lebih kuat dibanding sebelumnya. Sebetulnya Presiden Jokowi itu punya komitmen yang kuat untuk pemberantasan korupsi, cuma kan beliau di-fait accompli (harus menerima keadaan) oleh parlemen dan partai-partai politik di DPR yang kemudian semuanya menyetujui atas revisi UU KPK," ujar Syamsuddin menegaskan.
Tidak saling mencampuri
Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean sendiri mengaku Dewas tidak akan mencampuri teknis perkara yang ditangani lembaga penegak hukum tersebut.
"Nanti akan kami samakan apa yang dikerjakan oleh pimpinan KPK. Kami lakukan pengawasannya, tapi jangan lupa kami bukan penasihat, bukan. Kami tidak akan mencampuri teknis perkara yang dilakukan KPK," kata Tumpak.
Mantan pimpinan KPK 2003-2007 itu pun mengaku tidak ada arahan khusus dari Presiden Jokowi terkait dengan tugasnya.
"Arahan khusus tidak ada, secara umum iya. Secara umum, kami harus melakukan penegakan pemberantasan korupsi. Khusus kami Dewan Pengawas akan memberikan fundamen yang kuat untuk pimpinan KPK bisa melaksanakan secara baik menjamin kepastian hukum," ungkap Tumpak.
Namun, Tumpak meyakini bahwa Dewas sendiri dalam bekerja pun harus punya kode etik.
"Agak susah sore hari ini saya untuk berbicara karena rasa keharuan yang timbul di dalam hati saya. Saya tidak tahu kenapa saya harus kembali ke KPK ini. Ompung kembali lagi ke sini yang sudah lama saya tinggalkan kembali dulu sebentar sekarang kembali lagi, walau pun dengan jabatan sedikit berbeda," kata Tumpak di hadapan ratusan pegawai KPK di gedung KPK Jakarta saat acara serah terima jabatan.
Tumpak memang mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 sekaligus mantan pelaksana tugas Ketua KPK 2009-2010. Ia punya karir panjang di Kejaksaan Agung sejak 1973. Dalam pidatonya ia mengakui Dewas dapat mendapatkan masalah kepada KPK.
"Saya tahu (Dewas) ini adalah masalah yang sangat pelik yang menyentuh hati nurani seluruh pegawai KPK di waktu itu termasuk saya, tetapi sudah yang sudah terjadi UU sudah disahkan sudah dimuat dalam lembaran negara. Mari kita sama-sama laksanakan itu dengan baik. Kalaupun ada nantinya dalam pelaksanaan kekurangan sana-sini mungkin secara perlahan-lahan kita dapat sempurnakan kembali, itu harapan saya," papar Tumpak.
Ia juga meminta dukungan para pegawai, khususnya pegawai yang sudah belasan tahun bekerja di KPK untuk membantu lima anggota Dewas sebagai organ baru di tengah-tengah KPK.
"Tentunya kami tetap komitmen bahwa pemberantasan korupsi harus kita tuntaskan dengan mengedepankan KPK sebagi garda terdepan bersinergi dengan aparat penegak hukum yang lainnya, itu janji kami. Harapan kami. Singkatnya kami mohon kiranya kami berlima sebagai organ yang baru ada di sini dapat diterima dengan baik dan mohon doa restunya supaya apa yang disebut di dalam Undang-Undang itu dapat dilaksanakan dengan baik," tambah Tumpak.
Tak ada yang membantah bahwa korupsi itu buruk dan pemberantasan korupsi itu baik, lantas bagaimana cara terbaik untuk memberantas korupsi di Indonesia?
Jawabannya mungkin dapat diperoleh dari perkataan dan tindakan seorang hakim senior di Hong Kong bernama Sir Alastair Blair-Kerr yang mendorong pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC) alias Komisi Independen Anti-korupsi yang terpisah dari dari kepolisian.
Alasannya Blair-Kerr mendorong lembaga independen adalah karena kondisi korupsi di Hong Kong sudah sedemikian parah sebagaimana suatu adagium berikut:
1. "Masuklah ke dalam bus" artinya Anda mau menerima korupsi, maka bergabunglah bersama kami
2. "Berlarilah di samping bus" artinya kalau Anda tidak ingin menerima korupsi, tidak mengapa tapi jangan mengganggu (bus korupsi)
3. "Jangan pernah berdiri di depan bus" artinya kalau Anda mencoba melaporkan kasus korupsi, bus akan menabrak Anda dan Anda akan terluka bahkan kehilangan nyawa atau usaha Anda akan hancur. Kami akan menghajar Anda, entah bagaimana caranya.
Kondisi bobrok itu tercermin dari kasus korup seorang jenderal polisi Peter Fitzroy Gobder yang melarikan diri dengan aset senilai 4,3 juta dolar Hong Kong yang tersimpan di 6 negara. Jumlah itu adalah sekitar 6 kali lipat gaji bersihnya selama 26 tahun berdinas di kepolisian. Gubernur Hong Kong saat itu, Sir Murray MacLehose pun akhirnya membentuk ICAC sebagai badan antikorupsi independen pada 1974.
Jadi apakah pegawai, pimpinan dan dewas KPK saat ini berada di dalam bus, di samping bus atau berdiri di depan bus? Dari berbagai posisi tersebut apakah mereka dapat memperlambat laju bus (korupsi) yang merusak sendi-sendi bangsa Indonesia atau bahkan mempercepat kerusakannya?