Padang (ANTARA) - Pagi itu dalam gerimis bulan September 2019, dua ratus perempuan muda dari berbagai daerah berkumpul di Ulak Karang, Padang. Ada semangat yang terpancar dari wajah-wajah itu. Semangat api kaum muda yang tak lekang oleh cuaca.
Mereka adalah lulusan dari sejumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Sumbar. Jurusannya macam-macam. Latar belakangnya juga macam-macam. Namun mereka disatukan oleh satu frasa yang sama. Masa depan.
Tempat berkumpul itu adalah halaman kantor PT. Andalan Mitra Prestasi. Salah satu perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri di Padang. Ya, mereka akan diberangkatkan ke Malaysia. Bekerja memupuk mimpi masa depan di negeri Jiran itu.
Dulu istilahnya menjadi TKI, tenaga kerja Indonesia. Identik dengan tenaga kerja informal sebagai pembantu rumah tangga yang kemudian diperhalus istilahnya menjadi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Istilah yang berbeda, namun hakikatnya masih sama.
Sekarang istilah TKI tidak digunakan lagi. Diganti pula dengan PMI, pekerja migran Indonesia. Penggantian itu disesuaikan dengan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
PMI mungkin terdengar lebih keren. Tapi, faktanya masih tetap identik dengan tenaga kerja informal, karena sebagian besar dari 3,65 juta pekerja Indonesia di luar negeri memang masih didominasi sektor informal. Sementara sektor formal masih saja "redup", setidaknya sejak 2014.
Sejumlah 200 perempuan muda asal Sumbar itu tidak akan bekerja di sektor informal. Mereka bekerja di sektor formal. Di Syarikat Hartalega SDN. BHD, Malaysia. Mereka dikontrak selama dua tahun dengan opsi perpanjangan hingga 10 tahun.
Gajinya lumayan. Direktur Utama PT. Andalan Mitra Prestasi, Tafyani Kasim menyebutkan sesuai kontrak kerja yang ditandatangani, pekerja formal asal Sumbar itu bisa mendapatkan gaji sekitar Rp6 juta di luar lembur. Dengan segala fasilitas yang diberikan perusahaan, mereka bisa menabung atau mengirim ke kampung halaman hingga Rp4 juta sebulan.
Baca juga: Nilai transfer TKI melalui Kantor Pos Wonosari melonjak
Dua kali UMP
Jumlah itu, nyaris dua kali Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumbar 2019 yang hanya Rp2.289.228 per bulan. Dengan begitu, peluang untuk memupuk modal untuk membuka usaha jika sudah kembali ke kampung halaman semakin besar.
Usaha itu sangat memungkinkan membuka peluang kerja pula bagi orang-orang terdekat dengannya. para dunsanak atau keluarga yang tamat sekolah namun tidak kunjung mendapatkan kerja.
Potensi besar menempatkan pekerja formal asal Sumbar yang bekerja di luar negeri, menjadi seorang investor. The real investor yang menyisihkan pendapatannya untuk membangun kampung halaman. Nilai mereka semakin tinggi jika merujuk latar belakang keluarga yang rata-rata kurang mampu.
Investor itu kini tidak lagi hanya terbatas pada orang-orang kaya yang mencari untung mengandalkan modalnya, tetapi juga dari orang-orang miskin yang memeras keringat, memupuk mimpi di negeri seberang.
Tidak dapat dipungkiri, mereka yang menyekolahkan anak di SMK, rata-rata adalah orang kurang mampu. Orang yang tidak memiliki cukup biaya untuk memberikan sekolah tinggi bagi anak-anaknya. Orang yang hanya bisa bermimpi esok masih ada rezeki untuk sekadar melanjutkan hidup.
Kini, orang-orang yang biasa terpinggirkan itulah yang ternyata bisa menjadi tulang punggung bagi keluarga, bagi kampung halaman. Berdasarkan pengalaman, kata Tafyani Kasim, satu orang tenaga kerja formal di luar negeri bisa menghidupi empat orang di kampungnya, bahkan bisa berinvestasi juga dalam bentuk rumah maupun lahan pertanian.
Bekerja di luar negeri seolah menjelma menjadi lubang jarum bagi mereka untuk bisa lepas dari mimpi buruk kemiskinan. Memang hanya lubang jarum. Kecil, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
Apalagi tahun 2019 kesempatan pekerja asal Sumbar untuk bekerja di luar negeri terutama di Malaysia terbuka sangat lebar karena Pemerintah Malaysia sedang merapikan sistem penerimaan tenaga kerja dari Bangladesh dan Nepal karena sejumlah persoalan diantaranya persoalan sosial.
Terlebih tenaga kerja Sumbar juga punya keunggulan daripada tenaga kerja lain untuk bekerja di luar negeri, terutama dari tenaga kerja dari Nepal, Bangladesh, Myanmar ataupun Vietnam. Keunggulan itu dari segi bahasa yang relatif masih saling dimengerti oleh dua belah pihak karena berasal dari bangsa serumpun.
Itu menjadi momentum yang bagus bagi tenaga kerja dari Sumbar untuk memupuk harapan di negeri jiran.
Baca juga: Tiga TKI diculik di Lahad Datu Sabah Malaysia
Atasi pengangguran
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno saat membuka bursa kerja di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat Juli 2019 menyebut angka pengangguran di provinsi itu masih cukup tinggi yaitu 5,29 persen di atas nasional yang berada pada posisi 5,01 persen.
Salah satu penyebabnya, menurut dia, adalah karakter orang Minangkabau yang hanya mau bekerja di sektor formal dan tidak mau bekerja di sektor informal.
Padahal sektor informal punya potensi besar untuk menyerap tenaga kerja, namun orang Minang tidak suka kerja itu. Maunya kerja formal, karena itu serapan tenaga kerjanya juga terbatas, katanya.
Apa yang dikatakan Gubernur itu memang tidak berlebihan. Pada sektor konstruksi saja, anggaran untuk Sumbar dari APBN, APBD Provinsi dan Kabupaten/kota mencapai puluhan triliun. Jumlah itu seharusnya ekuivalen dengan serapan ribuan tenaga kerja. Namun, karena masyarakat Sumbar tidak berminat bekerja di bidang itu, maka tenaga kerja yang masuk ke sektor tersebut dari luar provinsi.
Hal yang sama terjadi pada tenaga kerja Sumbar di luar negeri. Hampir seluruhnya bekerja di sektor formal. Hanya sebagian kecil, amat kecil yang mau bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).
Beruntung perusahaan penyalur tenaga kerja di provinsi itu bisa membaca karakter masyarakat Minang tersebut. Seluruh tenaga kerja yang dikirim ke luar rata-rata bekerja di sektor formal.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar, Nasrizal, mengatakan peluang kerja di luar negeri saat ini tidak hanya melulu ke Malaysia. Banyak negara di Asia, Eropa dan Australia yang membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia, termasuk Sumbar. Hal itu bisa menjadi solusi bagi persoalan pengangguran di provinsi itu.
Baca juga: 81 TKI dideportasi dari Malaysia
Penguatan SDM
Nasrizal menyebut salah satu syarat mutlak untuk bekerja di luar negeri adalah penguasaan bahasa. Setidaknya bahasa percakapan sehari-hari. Saat ini, dari beberapa angkatan yang telah dikirimkan, kendala itu masih menjadi persoalan utama.
Penguatan kemampuan bahasa asing bagi siswa terutama SMK dengan orientasi kerja di luar negeri adalah solusi logis dari persoalan tersebut. Instansi terkait seperti Disnakertrans dan Dinas Pendidikan Sumbar harus bisa menjawab persoalan itu, tanpa memikirkan ego sektoral.
Apalagi secara kualitas lulusan SMK di Sumbar sebenarnya sudah memenuhi syarat tinggal mengikuti serangkaian tes yang harus dilewati dalam proses seleksi.
Selain persoalan bahasa, kelengkapan dokumen terutama pengurusan paspor juga menjadi kendala dalam pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Pihak imigrasi diharapkan tanggap atas peluang yang bisa saja terganjal karena persoalan itu.
Data Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia( BP3TKI) Padang saat ini jumlah tenaga kerja formal asal Sumbar di Malaysia sekitar 900 orang. Namun, dengan peluang yang ada saat ini, hingga akhir tahun bisa bertambah hingga lebih dari 1000 orang.
Tetapi menurut Ketua DPD Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Sumbar, Tafyani Kasim ada sekitar 5000 orang pekerja asal Sumbar yang saat ini berada di luar negeri.
Lima ribu orang itu adalah orang yang memupuk mimpi. Orang yang menanti melewati lubang jarum untuk meninggalkan jurang kemiskinan. Mereka yang nanti akan jadi pahlawan untuk kampung halamannya.*
Menyemai masa depan di negeri Malaysia
Rabu, 9 Oktober 2019 13:40 WIB