"Makannn!!!" Teriakan parau itu terdengar menakutkan. Membuat Safnah, wanita berusia 55 tahun, tersentak mendengarnya.
Menyapu air mata dengan ujung lipatan "tapih" (sarung) kusam yang ia kenakan, wanita tua itu lantas berdiri.
Berjalan dengan langkah sedikit gemetar, ia beranjak menuju dapur. Mengambil sepiring nasi putih dan membawanya ke belakang rumah, ke arah ruangan berukuran 2x2 meter yang suram.
Dari ruangan beratap seng dengan lantai papan yang disusun jarang-jarang itulah, suara teriakan tadi berasal. Suara parau anak sulungnya, Safi`i yang kini berusia 30 tahun.
Safi`i, lelaki berperawakan kecil, kurus dan kotor dengan rambut awut-awutan, sudah 15 tahun menjadi penghuni tetap ruangan tanpa penerangan dan tanpa jendela itu.
Andai ruangan itu berjeruji, tentu tak jauh beda dengan penjara. Selama 15 tahun, sekalipun ia tak pernah beranjak keluar, meski hanya sebentar.
Mungkin saja Safi`i sangat ingin sekali keluar dari ruangan buram yang pengap dan bau itu. Tetapi, seutas rantai yang terikat di mata kaki, membuat ia hanya bisa beranjak tak lebih dari dua jengkal jauhnya.
Ya, ia terpasung karena mengalami gangguan kejiwaan atau biasa dikatakan gila.
"Safi`i terpaksa dipasung dalam `istana`-nya itu. Saya takut. Ia pernah hendak `manimpas` (membacok) saya dengan parang," Safnah menyeka air matanya yang mengalir tanpa isak.
Safnah tinggal sendirian. Di rumahnya, di Desa Alat, Kecamatan Hantakan, sekitar 14 km dari Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan. Sejak suaminya, Husni, meninggal dunia 15 tahun silam, seorang diri ia merawat Safi`i.
Karena Safi`i terkadang mengamuk dan pernah hendak "manimpas" dirinya, Safnah ketakutan. Keputusan beratpun dilaksanakan. Safi`i terpaksa dipasung. Terasing sendirian dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benangpun melekat di tubuh kecilnya yang kurus.
Saat pemasungan itu, Safi`i masih remaja belasan. Baru tiga tahun menyelesaikan pendidikan dasar dan sempat belajar di sebuah pondok pesantren di kampung tetangga yang berjarak hanya sekitar 50 meter dari rumahnya. Nyaris beriringan waktu dengan kepergian sang ayah untuk selama-lamanya.
Hingga kini, 15 tahun sudah ia habiskan jatah usia dengan rantai besi berkarat yang terikat di kaki kiri.
"Dia tidak pernah mau berpakaian. Bila diberikan baju, selalu `dirabit-rabit` (dirobek-robek)," Safnah menghela nafas.
Sungguh, bukan hal mudah bagi Safnah menjalani hidup sedemikian rupa. Hanya air mata yang menemaninya bila malam tiba. Ketika sendirian berbaring di "tilam" (kasur) kapuk yang lumayan empuk ketika hendak memejamkan mata di balik kelambu yang warnanya kusam tak berbentuk. Pun, ketika meringkuk dalam sarung butut yang dijadikan selimut saat dingin malam datang memeluk.
Bagaimana tidak tumpah air mata sebagaimana jeram sungai Hantakan yang mengalir deras di belakang rumahnya. Ketika terbayang sang anak sendirian dalam ruangan sempit yang gelap, pengap dan bau tanpa kelambu. Tanpa tilam yang empuk, tanpa selimut dan bahkan tanpa seutas benangpun melilit badan yang hanya bisa meringkuk.
Bagaimanapun juga, "si gila" itu tetaplah anak yang lahir dari rahimnya.
"Sabar...." Kata-kata Safnah terputus hingga di situ saja. Berganti dengan tangis yang kini meledak. Membuat "tapih" kusam yang digunakan menutup wajah keriputnya, basah oleh derai air mata.
Sementara, Safi`i malah tertawa-tawa dari dalam "istana"-nya. Tawa yang seakan bahagia di antara kosong tatap matanya. Tatapan keentahan yang tak pasti bermakna apa.
* * *
Safi`i tidak sendirian. Berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya di desa yang berbeda, ada Asrani (25) yang juga mengalami nasib serupa. Terpasung dengan rantai di pergelangan kaki kanan, sendirian berdiam di "istana" reyot yang sebenarnya disebut rumahpun nyaris takpantas.
Meski letaknya berada persis di pinggir jalan desa, "istana" Asrani itu menyendiri, cukup jauh dari rumah penduduk lainnya. Model rumah "bahari" (tua) yang bolong di sana sini. Dengan pintu utama tanpa kunci dan plastik warna biru sebagi pengganti kaca jendela yang entah sejak kapan berderai pecah. Reyot, kotor dan bau menyengat dengan halaman yang ditumbuhi rumput ilalang semak semak belukar.
"Saya lupa kapan tepatnya Asrani mulai dipasung. Mungkin sekitar lima tahun," ujar sang ayah, Idrus (50).
Menurut pengakuan sang ayah, dibantu petugas puskesmas setempat, ia pernah membawa Asrani ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Anshari Shaleh di Banjarmasin. Namun saat dilakukan tes oleh pihak RSJ, Asrani tidak menunjukkan gejala penderita gangguan kejiwaan.
"Asrani mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik dan benar. Ia bisa berhitung dari satu hingga sepuluh, maupun sebaliknya dan begitu pula dengan nama-nama hari, ia mampu menyebutkan dari senin hingga minggu atau sebaliknya.
Ia juga tak mau ketika disuruh mengisi ember yang sengaja dilubangi. Ia tahu ember itu bocor, Idrus bercerita sambil menggelengkan kepala.
Sepulang dari RSJ yang tak menerimanya, menurut sang ayah, "kegilaan" Asrani bertambah. Ia menjadi sering bepergian tak tentu arah. Kadang hingga ke Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) yang berjarak puluhan kilometer dari rumahnya di Desa Tanjung Hantakan, Kecamatan Hantakan, HST.
Asrani juga kerap mencuri "wadai" (kue) di warung. Puncaknya, ketika Asrani menggoda seorang wanita desa yang tengah mandi di sungai, menghantarkan pemuda yang sempat mengenyam pendidikan hingga kelas II Madrasyah Alyah di sebuah pondok pesantren di Alabio itu ke pemasungan.
Tinggal terpasung sendirian di ruangan berukuran 3x2 meter yang kotor, berantakan, pengap dan bau dalam "istana" kosong yang reyot tanpa penerangan lampu, Asrani terkadang tertawa sendiri. Tingkah yang semakin menafsikan bahwa dirinya memang gila.
Betulkah Asrani gila? Karena pemuda itu masih bisa diajak berbincang. Dia masih ingat nama dan di mana pernah bersekolah. Dia juga mampu menyebutkan usia dan nama ayah serta nama almarhumah ibunya.
"Canggih," ujar Asrani sambil cengengesan ketika ditanya kenapa ia sampai mengalami pemasungan. Entah apa maksudnya.
Beberapa warga Desa Tanjung Hantakan meragukan Asrani betul-betul gila. "Kalau dikatakan `stress`, mungkin iya. Tapi gila, rasanya kurang tepat juga," ujar seorang warga.
Alasannya, selain Asrani tidak diterima RSJ, pemuda yang kondisinya sangat memprihatinkan itu tidak pernah mengamuk atau mengganggu orang lain, kecuali sekali saat ia bertingkah "menggoda" seorang wanita saat mandi.
Tidak sulit untuk mengajaknya berbincang, meski dengan orang yang baru ia kenal. Cukup dengan memberinya beberapa batang rokok merk apa saja, Asrani akan menjawab pertanyaan yang diajukan. Cukup lancar, meski seringkali ditingkahi tawanya yang tiba-tiba.
Menurut pengakuan warga setempat, dulu sebelum ia dipasung, saat mengambil kue di sebuah warung Asrani tidak melakukannya dengan aksi pemaksaan atau dengan diam-diam sebagaimana pencuri ayam. Meskipun tidak meminta dengan sopan dan tanpa permisi, tetapi ia selalu mengatakan bahwa sang ayah nanti yang akan membayar.
"Bisa jadi hal tersebut dilakukannya karena lapar. Bukan berarti ia gila. Mungkin saja stress yang ia alami diwarisi dari almarhumah ibunya," ujar seorang warga yang tak bersedia menyebutkan nama.
Masih menurut pengakuan warga, bila sudah begitu maka sang ayah akan memukuli dan mengurungnya di dalam kamar seraya mengatakan ia gila. Bisa jadi, vonis "gila" yang diberikan sang ayah akhirnya membuatnya betul-betul "gila". Bagaimanapun juga, orang waraspun bisa gila bila dipasung sedemikian rupa dalam renang waktu yang lama pula.
Asrani terlahir bukan dari keluarga kaya. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Dua orang saudara perempuannya tinggal di Banjarmasin mengikuti suami mereka, sedang dua saudara laki-lakinya tinggal di provinsi tetangga.
Dulu, almarhum ibunya, Jamilah, juga pernah mengalami nasib yang sama. Dipasung karena vonis gila. Setelah sempat menjalani perawatan di RSJ, sang ibu dinyatakan sembuh dan tak lama kemudian meninggal dunia. Saat itu, usia Asrani masih belasan.
Sang ayah, Idrus, tidak memiliki pekerjaan tetap meski penampilannya tak menggambarkan hal itu. Mengenakan kemeja dan celana kain dengan "tunggangan" sepeda motor baru merk Honda Revo, orang yang melihat tentu takkan percaya bila ia sebenarnya tak punya sumber penghasilan yang pasti.
Menurut pengakuan sang ayah, setelah putus sekolah Madrasyah Alyah, Asranipernah mengikuti saudaranya ke Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk bekerja disebuah bansaw.
"Di sana Asrani sering mengonsumsi pil koplo. Karena tidak bisa dinasehati, Asrani kemudian saya suruh pulang. Mungkin karena hal itu ia gila," ujar Idrus yang sejak istrinya tiada lebih memilih tinggal bersama saudara perempuannya, meninggalkan Arsani terpasung sendiri.
Terkadang, ia bermalam di "istana" Asrani. Menemani sang anak tidur di ruangan yang sama, meski dengan tempat yang berbeda. Ia tidur di kasur dengan bantal, guling, selimut dan kelambu sementara Asrani tidur beralaskan tilam butut tipis yang kotor dan bau. Tanpa selimut, hanya menggunakan sarung yang sekaligus berfungsi sebagai pakaian.
Saat sang ayah bermalam itulah, Asrani baru akan menikmati redup cahaya lampu minyak. Selebihnya, ia mengarungi hening malam sendirian di tilam yang menjadi alas tidur sekaligus tempatnya beraktivitas, seperti melamun, tertawa dan berbicara seorang diri.
Bagaimana lagi, karena hanya itu yang ia bisa lakukan. Melamun, tertawa dan berbicara seorang diri sambil menikmati asap rokok pemberian tetangga yang merasa iba. Untaian rantai yang melilit kaki, membuat ruang geraknya sangat terbatas.
* * *
Meski sama-sama gila, Asrani bisa dikatakan sedikit lebih beruntung dibandingkan Safi`i. Setidaknya, pernah ada petugas puskesmas setempat yang menaruh iba dan mengusahakannya untuk dirawat di RSJ.
Tidak seperti Safi`i. Terpasung selama 15 tahun dalam keadaan telanjang, tak pernah sekalipun ada petugas puskesmas atau pihak pemerintah daerah yang mengupayakan bantuan pengobatan. Jangankan bantuan, sekadar menjengukpun tidak pernah. Setidaknya, begitulah pengakuan sang ibu.
"Satu kalipun tidak pernah ada yang datang menjenguk apalagi menawari bantuan. Entah mereka tidak tahu atau tidak mau tahu. Padahal, dulu saya sering meminta obat untuk Safi`i ke puskesmas," ujarnya.
Kurun waktu 15 tahun yang dijalani Safi`i dalam pasungan, rasanya tak mungkin tidak ada yang mengetahuinya. Pun juga, tidak mungkin keluarga atau masyarakat sekitar sengaja menutupinya. Karena saat dikunjungi, Safnah sangat terbuka dan berharap kepedulian serta bantuan dari pemerintah.
"Tentu saya sangat senang bila pemerintah mau membantu. Saya memang sangat ingin membawa Safi`i berobat ke RSJ tetapi tidak mengerti caranya dan tak punya uang untuk itu," Safnah masih berlinang air mata.
Pemerintah daerah sendiri, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos) serta Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat, memang betul-betul tidak mengetahui adanya penderita gangguan kejiwaan yang mengalami pemasungan di wilayah kerja mereka.
Kedua instansi yang berkompeten tersebut baru ribut setelah ada pemberitaan media.
Bukan hanya itu, kedua instansi tersebut juga tidak tahu adanya pencanangan Indonesia Bebas Pasung pada 2014 yang dicetuskan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
"Saya baru tahu dari Anda. Secepatnya kami akan koordinasikan dengan pihak Dinas Sosial provinsi dan menanyakan perihal tersebut," ujar Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial, Disnakertransos setempat, Abdul Halim saat dikonfirmasi.
Namun, diakuinya Disnakertransos memiliki alokasi dana khusus yang bisa digunakan untuk keperluan penanganan penderita gangguan kejiwaan.
Selain itu, juga ada petugas Tenaga Kerja Sukarela Kecamatan (TKSK) yang meskipun aliran dananya langsung dari Kementerian Sosial, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi Disnakertransos setempat. TKSK tersebut bertugas untuk mengetahui, mencari dan melakukan pendataan terhadap masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial, termasuk penderita gangguan kejiwaan.
Namun entah mengapa, meskipun memiliki fasilitas tersebut, Disnakertransos setempat tidak juga mengetahui keberadaan penderita gangguan kejiwaan yang mengalami pemasungan di wilayah kerja mereka.
Setali tiga uang, jawaban dari Dinkes setempat juga sama. Mereka tidak tahu adanya pencanangan Indonesia Bebas Pasung pada 2014.
"Kami tidak pernah mendengar," ujar Kepala Bidang Promosi Kesehatan (Promkes), Dinkes setempat, Kursani.
Ketidaktahuan yang agak "janggal" dan sedikit "lucu" keedengarannya. Bagaimana mungkin Dinkes setempat tidak mengetahuinya? Sedangkan beberapa pemerintah kabupaten di Kalsel, melalui Kepala Dinas Kesehatann (Kadinkes) masing-masing, sejak beberapa tahun sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan bebas pasung sebagai langkah mendukung pencapaian Indonesia Bebas Pasung 2014
Seperti misalnya pemerintah Kabupaten Balangan yang telah mengeluarkan kebijakan pencanganan kabupaten tersebut bebas pasung pada 2013. Begitu pula dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), telah mengeluarkan kebijakan yang sama oleh Dinkes bekerja sama dengan Dinas Sosial setempat. Dan lagi, jarak kedua kabupaten tersebut dengan HST kurang dari 60 Km.
Bahkan, pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) lebih "berani" lagi. Melalui Dinkes setempat, pemerintah daerah HSS mengeluarkan kebijakan pencanangan bebas pasung pada 2012 lalu.
"Mengapa kita berani mencanangkan HSS bebas padung pada 2012? Karena pencangan Indonesia Bebas Pasung 2014 telah dicetuskan presiden RI sejak peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 2010 lalu," ujar Kadinkes setempat, Mursidi.
Rentang waktu 2010 hingga 2012 dipandang cukup realistis untuk dapat mencapai upaya pembebasan penderita gangguan kejiwaan dari pemasungan, minimal menekan. Namun sayangnya, apa yang telah dicetuskan oleh presiden pada 2010 lalu, ternyata tak terdengar di HST.
Sementara pemerintah daerah HST tenggelam dalam ketidaktahuan, pemerintah daerah HSS telah melakukan berbagai langkah dan kegiatan dalam upaya pencapaian bebas pasung pada 2012.
Hasilnya? Pemerintah daerah HSS memperoleh data lengkap tentang angka prevalensi (angka pesakitan) Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yaitu sebesar 4,5 perseribu penduduk, di atas prevalensi Provinsi Kalsel yang sebesar 4,0 perseribu penduduk.
"Berdasarkan pendataan yang kita lakukan, diketahui terdapat penderita schizoprene (orang yang mengalami gangguan emosi, pikiran dan perilaku) sebanyak 83 orang. Bila dihitung berdasarkan prevalensi penderita schizoprene secara nasional, maka di HSS tercatat sebesar 0,39 persen," ujar Mursidi.
Adanya data tersebut mempermudah pemerintah daerah setempat melakukan pendekatan kepada pihak keluarga penderita gangguan kejiwaan untuk kemudian melakukan penanganan dengan mengirimkannya ke RSJ.
Bukan itu saja, keseriusan pemerintah daerah HSS dibuktikan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 307 Tahun 2012 tentang Penanganan Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat yang dikeluarkan berdasarkan Surat Edaran Kementrian Dalam Negeri RI Nomor 440.05/1980/POUD dan Surat Edaran Kementrian Kesehatan RI Nomor 868/Menkes/E/VII/2002, sebagai landasan untuk membentuk Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat atau TP-KJM.
Sebuah tim khusus yang merupakan kerja sama lintas sektoral, melibatkan instansi pemerintah dan unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) setempat. TP-KJM beranggotakan 22 orang, melibatkan seluruh Camat dengan Kepala Dinas Kesehatan sebagai Ketua dan Bupati selaku Pembina.
Bila pemerintah daerah HST tidak mengetahui adanya pencanangan Indonesia Bebas Pasung 2014 karena katakanlah begitu--dicetuskan oleh presiden pada 2010, artinya sudah lama dengan asumsi adanya pergantian kepemimpinan di Disnakertransos dan Dinkes setempat- mungkin "sedikit" bisa dimaklumi. Tapi, bagaimana dengan Surat Edaran dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan yang "baru" dikeluarkan pada 2012? Mungkinkah pemerintah daerah HST tidak menerima surat edaran tersebut?
Padahal, HST terletak persis diantara tiga kabupaten yang telah lebih dulu mencanangkan daerah mereka bebas pasung, yaitu HSS, HSU dan Balangan. Bila pemerintah daerah HST tidak tahu tentang pencanangan Indonesia Bebas Pasung 2014 karena saat dicetuskan oleh presiden RI dilakukan di tempat yang jauh, dan sudah lama pula-, bagaimana mungkin mereka juga tidak tahu pencanganan bebas pasung yang dilakukan oleh kabupaten tetangganya yang jaraknya masing-masing kurang dari 60 km?
Sungguh ironis bila pemerintah daerah HST, baik pihak Disnakertransos maupun Dinkes setempat tetap berlindung di balik ketidaktahuan. Meskipun faktanya memang begitu. Mereka, kedua instansi tersebut, juga tidak tahu bila Kemensos RI telah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk menangani penderita gangguan kejiwaan yang mengalami pemasungan.
Ketidaktahuan tersebut akhirnya menghantarkan kedua instansi tersebut kepada "ketidaktahuan-ketidaktahuan" lainnya. Seperti misalnya, kedua instansi tersebut tidak tahu, dalam arti sebenarnya- berapa jumlah penderita gangguan kejiwaan, baik yang mengalami pemasungan atau tidak, di wilayah HST. Jangankan angka pasti, perkiraan pun mereka tidak mengetahuinya.
"Kami tidak pernah melakukan pendataan terkait hal tersebut," ujar Abdul Halim. "Tapi untuk diketahui, pada 2012u kami telah mengirim 100 orang penderita gangguan kejiwaan ke RSJ Sambang Lihum untuk mendapatkan perawatan. Artinya, penanganan terhadap penderita gangguan kejiwaan memang menjadi perhatian kami," lanjutnya sedikit membela diri.
Kursani mengatakan hal senada. "Kami tidak punya data itu. Tapi setelah adanya pemberitaan di media, kami melakukan koordinasi dan mengintruksikan kepada seluruh petugas puskesmas untuk melakukan pendataan," katanya
Luar biasa!
Istanaku Bukan Pasungan Oleh Rusmanadi (bagian Pertama Dari Dua)
Kamis, 21 Maret 2013 16:24 WIB