Banjarmasin (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Selatan (Kalsel) Drs HM Syarbani Haira berpendapat, kawin kontrak persoalan yang serba kompleks.
Pendapat tersebut menjawab Antara Kalsel di Banjarmasin, Ahad, sehubungan terbongkarnya sindikat perdagangan orang dengan modus kawin kontrak pada perumahan mewah Komplek Surya Purnama Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) belum lama ini.
Menurut magister demografi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu, kawin kontrak bisa saja terjadi karena persoalan ekonomi dan bisa pula karena eksploitasi terhadap perempuan.
Alumnus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) tersebut memaparkan hasil penelitian sejumlah sarjana di negeri ini yang secara khusus meneliti tentang kawin kontrak.
Menurutnya, dalam Islam kawin kontrak yaitu "nikah mut'ah". Apakah dibolehkan? Sampai hari ini, di kalangan ulama dan intelektual Islam menganggapnya sebagai persoalan "khilafiah", terlebih antara faksi Sunni dan Syi'ah.
"Mereka berbeda pandangan" ucap Ketua Tanfidziah Pengurus Wilayah NU Kalsel periode 2007 - 2017 yang juga termasuk penggagas berdirinya Universitas NU di provinsi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota tersebut.
Oleh karena masuk ranah khilafiyah, maka nikah mut'ah ada yang membolehkan dan ada pula mengharamkan. Ini tak bisa dikompromikan, tergantung keyakinan masing-masing.
"Hal itu artinya, secara agama sudah bermasalah. Walau pun dalilnya ada juga yang kuat, khusus mereka yang tulus," ujarnya menjawab Antara Kalsel.
"Tetapi secara kenegaraan di negeri ini, pasti tak bisa dibenarkan. Karena hasil kompilasi hukum Islam sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, sebuah perkawinan baru dinyatakan sah jika sudah tercatat dalam lembaran negara," lanjutnya.
Persoalannya, menurut dia, adalah implikasi dari kawin kontrak tersebut, yang mudhoratnya (dampak negatifnya) lebih besar ketimbang manfaat.
Misalnya, penelitian di kota-kota besar, ada temuan negatif. Seperti, tidak menghargai peran negara, merusak martabat dan moralitas perempuan, nasab anak yang terabaikan, menyebarkan penyakit, serta merusak niat pernikahan.
Menurut mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tersebut kasus kawin kontrak mencuat ke permukaan setelah ditemukannya "Kampung Arab" di Bogor tahun 1980-an. Kasus kawin kontrak tersebut ramai diberitakan sejumlah media cetak.
Data sementara menunjukkan, faktor ekonomi sangat determinan (menentukan). Perempuan Indonesia yang menjadi pasangan orang asing tersebut kala itu mendapatkan kompensasi sebesar Rp5 juta per bulan.
"Temuan tersebut di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Barat (Jabar), bahkan Sumatera Utara (Sumut) Rp 15 juta. Itu artinya, uang yang jadi faktornya" ungkapnya mengutip hasil penelitian sejumlah sarjana di negeri ini.
Ironisnya, ujar mantan wartawan sebuah koran Ibu Kota tersebut, ada temuan, kawin kontrak itu oleh perempuan yang punya suami, dan sang suami mengizinkan.
Namun, ada pula kawin kontrak itu semacam tameng saja. Karena resminya, mereka tidak lebih dari perempuan pelacur biasa, seperti halnya kaum penjaja seks komersial (PSK) lainnya.
Menurut dia, kawin kontrak tersebut merupakan persoalan sosial, bukan melulu ekonomi atau eksploitasi. Karena nyatanya, banyak melibatkan perempuan yang memang bermasalah secara sosial. "Jadi kawin kontrak bukan cuma masalah sosial pula, melainkan masalah pembinaan berbangsa dan juga beragama."*