Banjarmasin (ANTARA) - Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Kalimantan Selatan (Kalsel) HM Syarbani Haira mengatakan, jika masyarakat saat ini butuh nasihat menyejukkan ketimbang hasutan atau provokasi untuk kepentingan politik.
"Saya rasa publik sudah bijak menilai, mana urusan agama dan mana kepentingan politik belaka yang mengatasnamakan agama. Mari kita semua tokoh agama memberikan kesejukan umat untuk mendinginkan suhu politik yang sejatinya sudah berangsur dingin usai pemilu," kata Syarbani di Banjarmasin, Kamis (9/5).
Dia pun meminta masyarakat mempertahankan ukhuwah Islamiyah dan menolak ajakan-ajakan yang bertentangan dari konstitusi negara.
Secara khusus Syarbani juga menyinggung adanya pihak yang mengatasnamakan Ijtima Ulama hingga mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait pemilu.
Menurut dia, Ijtima merupakan tradisi para ulama pesantren untuk membahas sesuatu yang dianggap urgen. Dalam dunia pesantren tradisional, ijtima ulama biasanya dikaitkan dengan keputusan dalam ranah fikih (hukum Islam), bukan politik.
Pada cabang ilmu fikih, paparnya, ijtima menempati level ketiga dari empat sumber hukum yang sah dan diakui setelah Alquran dan Hadis. Sumber hukum keempat adalah qiyas (preseden hukum). Dengan kata lain, ijtima bukan sesuatu yang main-main, dan aktornya tak bisa orang sembarangan. Melainkan orang yang ilmu agama dan ilmu alatnya harus dalam, mumpuni dan kuat.
Selama ini berdasar tradisi pesantren sebagai wadah dilaksanakannya ijtima ulama, tambah Syarbani, kegiatan tersebut pekerjaan mulia sebagai upaya untuk legitimasi religius yang kuat. Realitas ini diyakini menjadi penyatu umat muslim Indonesia, yang bertumpu pada para ulama yang mumpuni di bidangnya. Ijtima kerap dianggap sebagai amanah, yang diberikan pada orang tertentu saja, sesuai kompetensi ilmunya.
"Kesimpulannya tak mudah melakukan Ijtima Ulama, Syaratnya sangat ketat. Selain pesantren, ada Ormas yang menyelenggarakannya, misalnya di MUI ada Komisi Fatwa, di Muhammadiyah ada Majelis Tarjih, dan di NU ada Bahstul Masail," jelas Syarbani.
Dari pemikiran tersebut, dia mempertanyakan orisinalitas Ijtima Ulama yang dimotori penggerak GNPF. Dimana mereka umumnya tim sukses dan pendukung salah satu pasangan capres. Maka itu, tak heran jika keputusannya selalu mendelegasikan semua yang tak menguntungkan kelompok mereka, sekali pun itu benar.
Oleh karena itu, jika ada kegiatan bernama ijtima ulama, maka legitimasi hasil ijtima itu sangat ditentukan oleh siapa saja ulama yang hadir. Dalam hal ini hanya ulama-ulama mujtahid dengan pemahaman ilmu fiqih mumpuni yang bisa menghasilkan sebuah ijtima.
Lagi pula, ungkap mantan Ketua PWNU Kalsel ini, sepanjang sejarah di republik ini tidak pernah ada ijtima ulama yang menghasilkan putusan politik praktis seperti penyebutan langsung nama orang yang mesti dipilih menjadi pemimpin. Biasanya ijtima ulama untuk politik hanya merujuk kriteria akhlak dan keimanan seseorang.
"Ironisnya, itu hanya menilai pihak lain, seperti mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Amin. Sementara mereka menegasikan pihak sendiri dari pembahasan, dalam arti seolah-olah sangat hebat, tanpa cacat dan tanpa cela," pungkas Syarbani Haira yang juga Dewan Pembina Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif NU Kalsel.