Pemkab Kotabaru, Kalimantan Selatan, diminta kembali menyerahkan bukti Pulau Larilarian masuk wilayah Kotabaru kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta.
Penyerahan berkas tersebut, kata Bupati Kotabaru H Irhami Ridjani, bagian dari tindaklanjut akan segera dieksploitasinya gas di Blok Sebuku.
"Kita belum mengetahui kapan perusahaan mulai melakukan eksploitasi gas di Blok Sebuku, yang pasti kita diminta ESDM untuk menyerahkan berkas-berkas penting kelengkapan terkait Pulau Larilarian.
Bupati juga masih enggan membicarakan hak saham yang berupa "participating interest" (PI) sekitar 3-10 persen dari perusahaan migas terkait eksploitasi gas di Blok Sebuku.
"Kita masih bicara tentang hak pembagian pajak dan yang lainnya dulu, masalah "participating interest" itu nanti saja," ujarnya lirih.
Sebelumnya, Pemprov Kalimantan Selatan bersama Pemkab Kotabaru mengunjungi Pulau Larilarian, sekitar 60 mil sebelah timur Kotabaru, dengan menggunakan empat buah kapal.
Kunjungan ke Pulau Larilarian merupakan tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan Pemprov Kalsel atas Permendagri No 43 Tahun 2011 tentang Pulau Larilarian," ujar Ketua DPRD Kotabaru H Alpidri Supian Noor MAP.
Kunjungan tersebut juga merupakan bagian dari pemeliharaan dan pembinaan Pemprov Kalsel dan Pemkab Kotabaru terhadap Pulau Larilarian.
Hasil kunjungan nanti, kata Ketua DPRD, akan dikumpulkan sebagai bahan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri di Jakarta.
Sementara itu, Pulau Larilarian adalah sebuah pulau yang termasuk wilayah kecamatan Pulau Sebuku di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Keberadaan Pulau Larilarian terletak 60 mil di sebelah timur pulau Sebuku dan 80 mil dari Pulau Sulawesi.
Pulau Larilarian kaya dengan gas methana yang kini siap dieksplorasi oleh perusahaan pengeboran gas nasional tersebut, pada 2011 sempat menjadi daerah sengeketa setelah terbitnya Permendagri No/2011 yang menyatakan bahwa Pulau Lerek-lerekan masuk wilayah administrasi Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Keputusan Mendagri yang memasukkan Pulau Lerek-lerekan ke wilayah Majene, Sulbar, dinilai sebagai keputusan sepihak oleh Pemprov Kalsel.
Kronologis merebut kembali Pulau yang diberi nama Lerek-lerakan yang sebenarnya adalah Pulau Larilarian tersebut, diawali Pemprov Kalsel bersama Pemkab Kotabaru mengumpulkan seluruh bukti yang dimiliki dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung (MA).
Gugatan tersebut akan disampaikan oleh Pansus yang dibentuk pemerintah setempat.
Wakil Ketua DPRD Kalimantan Selatan, Fathurrahman dari Partai Persatuan Pembangunan, sebelumnya, menyatakan, Panitia Khusus (Pansus) membahas/menangani Pulau Larilarian itu, berintikan anggota Komisi I bidang hukum dan pemerintahan DPRD Kalsel," ujarnya.
Dua orang dari perutusan fraksi-fraksi DPRD Kalsel, sehingga jumlah keanggotaan Pansus tersebut kemungkinan menjadi 26 orang. Karena anggota Komisi I sebanyak 10 orang, kemudian ditambah 2 X 8 fraksi atau 16 orang.
Melalui Pansus, pihaknya dapat melakukan kajian secara lebih seksama dan mendalam, guna mengambil kembali Pulau Larilarian.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 43 Tahun 2011 Pulau Larilarian dengan sebutan lain Pulau Lereklerekan itu masuk wilayah administrasi Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Sulbar).
Ketua DPRD Kalsel, Kolonel Inf (Purn) Nasib Alamsyah menyatakan, provinsinya harus berhasil mengambil kembali Pulau Larilarian dari Sulbar.
Menurut mantan Komandan Korem Bone Sulawesi Selatan (Sulsel) itu, satu-satunya jalan untuk mengambil kembali Pulau Larilarian tersebut adalah melalui perlawanan hukum atau melakukan gugatan terhadap Permendagri 43/2011.
"Namun kita harus berhati-hati mempelajari peraturan perundang-undangan agar tidak salah dalam mengajukan gugatan terhadap Permendagri 43/2011 tersebut," katanya.
Permendagri 43/2011, yang dikeluarkan 29 September 2011 itu berisikan penetapan bahwa Pulau Lereklerekan (Pulau Larilarian = versi Kalsel), masuk wilayah administrasi Kabupaten Majene Sulbar.
Gugatan terhadap Permendagri 43/2011 harus rinci dan jelas, sehingga tak ada keraguan mengenai kepemilikan Pulau Larilarian, yang sejak zaman Hindia Belanda masuk wilayah Kabupaten Kotabaru, Kalsel.
Gubernur Kalsel, H Rudy Ariffin menyatakan, Permendagri 43/2011 tidak sesuai dengan prosedur penetapan tapal batas antar wilayah, termasuk menjadikan masukan Kalsel sebagai bahan pertimbangan menetapkan status Pulau Larilarian tersebut.
Masukan Kalsel berupa berbagai dokumen ternyata tidak menjadi bahan pertimbangan dan Menteri Dalam Negeri dalam menetapkan Permendagri 43/2011 tersebut.
"Upaya lain dari Pemprov Kalsel, yakni meminta pendapat sejumlah kalangan untuk mendukung `second opinion` terhadap keberadaan Pulau Larilarian, dengan tinjauan berbagai aspek," kata gubernur dua periode di provinsi tersebut.
"Kita akan terus berupaya mengembalikan Pulau Larilarian ke wilayah Kotabaru Kalsel, baik melalui diplomasi atau pendekatan politik maupun jalur hukum, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Dalam perjalannya, gugatan Pemprov Kalsel kalah di PTUN, namun itu tidak memutuskan semangat tim Pemprov untuk melanjutkan gugatan ke MA hingga akhirnya MA memenangkan gugatan Pemprov Kalsel.
Menang
Ketua DPRD Kabupaten Kotabaru, H Alpidri Supian Nor MAP, menyatakan, dirinya merasa lega karena Pulau Larilarian tidak jadi lepas, masuk wilayah Majene, Sulbar.
"Alhamdulillah, uji materi terhadap Permendagri Nomor 43 Tahun 2011 masuk wilayah Majene, Sulawesi Barat, dikabulkan oleh Mahkamah Agung, itu artinya Kotabaru menang," kata Alpidri menjelaskan.
Kerja keras dan perjuangan Pemkab Kotabaru, Pemprov Kalsel serta masyarakat bersama-sama pihak-pihak lain tidak sia-sia, membuahkan hasil yang menggembirakan.
Gugatan dengan register 1P/HUM/2012 tersebut statusnya dinyatakan telah putus dengan amar putusan Kabul.
Pemkab Kotabaru harus segera menyusun strategis untuk mengelola dan membina lebih intensif terhadap wilayahnya yang sempat menjadi sengketa dengan Majene, Sulawesi barat tersebut.
Terbitnya Permendagri Nomor 43 Tahun 2011 yang menjelaskan, bahwa Pulau Larilarian masuk wilayah Majene, Sulawesi Barat, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pemkab Kotabaru.
Peristiwa tersebut tidak boleh terulang kembali pada hal-hal yang lain.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru Talib, mengaku lega bahwa Larilarian tidak jadi lepas dari wilayah Kotabaru.
Status Pulau Larilarian secara normatif atau ketentuan perundang-undangan sudah final masuk wilayah Kalimantan Selatan, bukan bagian dari Sulawesi Barat sebagaimana Peratuan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 43 Tahun 2011.
Pengamat hukum tatanegara dari Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Dr H Mohammad Effendy SH MH, menjelaskan, dalam sistem hukum tatanegara, tak mengenal Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia terkait permohonan "Judicial Review " (JR/uji materi) Permendagri 43/2011.
"Jadi putusan MA yang membatalkan Permendagri 43/2011 itu bersifat final, tak ada celah hukum lain, kecuali celah-celah lainnya di luar ketentuan hukum," katanya.
Menurut mantan Ketua Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unlam itu, Pemerintah provinsi Kalsel tidak perlu berpayah-payah lagi untuk melakukan tuntutan hukum sebagai tindaklanjut putusan MA atas Permendagri 43/2011.
"Sebab sesuai ketentuan, bila sampai 90 hari sejak putusan MA tersebut tidak ada keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang Pulau Larilarian yang sebelumnya dalam wilayah Kabupaten Kotabaru, Kalsel, maka secara otomatis pulau itu masuk Kalsel," ujarnya.
"Namun jika ingin meminta kepastian hukum, tidak salahnya pula meminta agar Mendagri mengeluarkan peraturan/keputusan baru, yang menyatakan Pulau Larilarian masuk wilayah Kalsel," katanya.
Mengenai keinginan Pemprov Sulbar menggunakan jasa Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacara untuk menuntut pembatalan putusan MA tentang Pulau Larilarian, dosen pascasarana ilmu hukum di Unlam itu hanya tersenyum.
"Saya kira Pak Yusril itu orangnya rasional dan cukup cermat mengamati persoalan. Oleh karenanya mungkin tak akan sembarangan menerima tawaran kalau nanti membuat malu beliau, walau misalnya dibayar mahal sekalipun," katanya.
"Karena saya kira, mantan Menteri Sekretaris Negara itu, bukan orang materialis, tapi selalu bersikap kritis dan objektif, yang selalu ingin meluruskan persoalan hukum," demikian Moh Effendy.
Kapolda Kalsel Brigjen Pol Syafruddin mengharapkan, persoalan Pulau Larilarian jangan sampai menimbulkan konflik antara warga masyarakat yang bertetangga.
Bupati Kotabaru H Irhami Ridjani mengatakan, sampai kapan pun, Pemprov Kalsel dan Pemkab Kotabaru akan terus mempertahankan bahwa Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
Kemendagri tidak seharusnya menerbitkan Permendagri 43/2011 hanya merujuk satu dasar yang masih dalam masalah, namun harus merujuk pada bukti-bukti lain yang lebih kuat, seperti yang diamanatkan Pasal 10 Undang-Undang No.1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengesahan Batas Daerah.
Sementara itu, Pulau Lari-Larian yang memiliki panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter atau total luas 3,5 hektare tersebut terletak di koordinat LS 03 drajat 32`53" dan BT 117 drajat 27`14".
Pulau tersebut berjarak 60 mil laut dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru dan 40 mil dengan Pulau Sambergelap Kotabaru dan 80 mil dengan wilayah Sulawesi Barat.
Pulau yang luasnya sekitar 3,5 hektare tersebut memiliki potensi minyak dan gas bumi. Dan untuk memanfaatkan kekayaan alam tersebut, sebuah perusahaan swasta telah siap melakukan eksploitasi sumber daya alam di Pulau Larilarian atau Blok Sebuku.
Taufik Rifani saat menjabat Kabag Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Kotabaru, mengatakan, Pemkab Kotabaru diperkirakan akan memperoleh sekitar 66,6 persen saham dari "participation interst" (PI) sebesar 10 persen pemberian perusahaan migas PT Pearl Oil Blok Sebuku. Sedangkan Pemprov Kalsel akan mendapatkan saham dari PI sebesar 33,3 persen dari 10 persen PI.
Berdasarkan peratuan pemerintah (PP) no.35 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu migas pasal 34, daerah mendapatkan hak istimewa berupa saham `participation interst` sebesar 10.
PI 10 persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah kerja pertambangan (WKP) kontraktor kerja sama (KKS).
"Saat ini Kotabaru telah membentuk BUMD `Saijaan Mitra Lestari`," kata dia.
BUMD Saijaan Mitra Lestari itu bukan hanya akan menangani PI dari PT Pearl Oil yang membuka tambang di Blok Sebuku, namun juga PI dari Blok Segiri dan blok-blok yang lain yang membuka tambang migas di wilayah Kotabaru.
Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa penawaran 10 persen PI itu harus dilakukan sejak disetujuinya `plant of development` (POD) rencana pengembangan lapangan pertama kali yang akan diproduksi dari suatu wilayah kerja pertambangan, ujarnya.
Berdasarkan data teknis lapangan, Blok Sebuku yang terletak di perairan Lari-larian, Kecamatan Pulau Sebuku itu memiliki cadangan gas sekitar 370 billion cubic feet (BCF).
Hasil DST test di sumur Makssar Strait-4 menunjukkan adanya kandungan 40 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCF/D) gas dan 50 BPD condensate, terang Taufik.
Rencananya gas akan dialirkan melalui pipa di dasar laut sepanjang 300 km ke Senipah, Bontang-Kalimatan Timur.
Hasil perhitungan keekonomian, proyek gas dan condensate Blok KKKS Sebuku menunjukkan belanja modal yang harus dikucurkan untuk proyek ini (Capex) mencapai 211 juta dollar AS, Sunk Cost 90 juta dolar, dan internal rate of return (IRR) 35 persen.
Selain `participation interst`, Kotabaru juga masih berhak mendapatkan penerimaan atas pengelolaan minyak dan gas keterkaitan dengan kewenangan dan hak Kabupaten Kotabaru pada Blok Sebuku.
"Dana bagi hasil dan peluang pendukung bidang migas (Bidang logistik dan penyedia kegiatan teknis seluruh aktivitas pertambangan migas)," katanya.
Pemberian dana bagi hasil telah dijelaskan dalam Undang-Undang no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
H Akhmad Rivai saat menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi, menjelaskan, telah meminta perusahaan serta badan pengelola migas segera menyampaikan berapa total investasi Pearl Oil di Blok Sebuku agar pemerintah mudah menyiapkan dana untuk penyertaan saham PI tersebut.
"Kami juga meminta perusahaan membangun kantor perwakilan dan selalu berkoordinasi dengan pemerinta daerah," katanya.
Siap beroperasi
Rivai menjelaskan, Pearl Oil yang telah berhasil melakukan pemboran enam sumur di Blok Sebuku itu mulai Pebruari 2010 melaksanakan tahapan pra-kontruksi, dan memasang pipa distribusi di dasar laut, memasang fasilitas produksi (WHP dan PQP), pembangunan ORF serta pemboran sumur untuk pengembangan.
Ia mengatakan, khusus untuk pipa distribusi, perusahaan memiliki dua alternatif dalam pemipaan tersebut.
Alternatif pertama, pipa produksi dipasang mulai dari Lapangan Ruby (lokasi sumur) ke Senipah dengan jarak sekitar 312 km.
Selanjutnya, alternatif kedua, mulai Lapangan ruby ke Peciko dengan jarak 305 km.
Lokasi rencana kegiatan ORF terletak di Desa Senipah, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim.
Sedangkan pemipaan yang berada di daratan terletak di Kelurahan Senipah, dan untuk di lautnya, terletak di lepas pantai Kabupaten Kutai Kertanegara, Kota Balikpapan, Kabupaten Panajam Paser Utara, Kabupaten Paser dan Kabupaten Kotabaru.
Lapangan gas ruby tersebut, terletak di Blok Sebuku, Selat Makassar.
Rivai mengemukakan, gas yang diproduksi merupakan gas kering (dry gas) dengan kandungan 97-98 persen metana 0,5-0,75 mol persen CO2 dan 0,2-0,32 mol persen nitrogen dan 0 persen H2S.
"Gas yang dihasilkan tidak mengandung logam berat," ujarnya.
Perusahaan mengharapkan Delivery rate dari pengoperasian enam sumur adalah 100 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCTD) atau Juta Standar Metrik Kaki Kubik per Hari.
Menurut perkiraan sementara, rencananya gas di Blok Sebuku itu akan dieksploitasi mulai 2011 hingga 2020 atau sekitar sembilan tahun.
Melalui putusan MA tersebut, Pulau Larilarian dengan segala potensi yang dimilikinya itu akan kembali pangkuan Kotabaru/D.