Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Pelaku usaha pelayaran yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Indonesian National Shipowners Association (INSA) Banjarmasin keberatan atas komponen jasa dari Badan Usaha Pelabuhan PT Indonesia Multi Purpose Terminal (BUP-IMPT) yang memegang konsesi terminal apung di Taboneo, Kalimantan Selatan.
Ketua DPC INSA Banjarmasin Capt. Moch Nurdin mengatakan, apa yang diterapkan BUP-IMPT tak sesuai aturan karena melanggar Peraturan Menteri Perhubungan No PM 72 tahun 2017 tentang jenis struktur golongan dan mekanisme penetapan tarif jasa kepelabuhanan.
Dimana pada Pasal 25 ayat 3 disebutkan "Penyelenggara pelabuhan dan BUP dilarang memungut tarif jasa kepelabuhanan yang tidak ada pelayanan jasanya.
"Prinsipnya kan no service no pay, karena Kementerian Perhubungan mengeluarkan regulasi larangan mengutip biaya tanpa ada pelayanan jasa yang jelas di pelabuhan," kata Nurdin.
Dia menegaskan, BUP-IMPT terkesan memaksakan pelaku usaha pelayaran, yang harus membayar sesuatu yang tidak mereka gunakan jasanya.
"Kalau ada layanan jasa yang digunakan, maka kami siap membayar sesuai kesepakatan. Kalau tidak ada, kami tidak perlu dikenakan tarif," tegasnya.
Nurdin mencontohkan, seperti biaya jasa Vessel Traffic Service (VTS), mereka sudah membayarnya kepada negara. Seandainya itu ditagihkan kembali oleh BUP-IMPT, maka terjadi pembayaran ganda dalam satu lingkungan.
Kemudian di dalam fasilitas yang diakui BUP-IMPT ada klinik, pemantauan cuaca segala macam yang sudah dijadikan satu paket tagihan ke INSA.
"Hal itulah membuat kami keberatan. Jadi dalam paket-paket tagihan harga sudah ditetapkan ada jenis pelayanan jasa yang tidak kita gunakan. Contohnya klinik, kalau tidak ada orang sakit buat apa kita bayar," jelasnya.
Contoh lainnya seperti tarif pilot control service yang berisikan elektronik pilot, pelayanan informasi menyangkut kegiatan operasi kapal, pelayanan peringatan badan cuaca, pelayanan informasi bagi kapal berolah gerak hingga suvervisi masuk dalam satu komponen tarif.
"Elektronik pilot belum mengenal hal tersebut di Indonesia. Menyangkut pemanduan tetap pada pemanduan fisik yaitu pandu naik di atas kapal, sehingga tidak bisa diberlakukan auto pilot. Kemudian operasi kapal yang dimasukan dalam komponen tagihan juga tidak bisa kami terima," paparnya kepada sejumlah media yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Pelabuhan (Perwapel) Banjarmasin.
Hingga kini, tambah Nurdin, pihaknya masih menunggu daftar komponen tarif yang diberikan BUP-IMPT untuk selanjutnya dibahas di internal INSA.
"Kita tetap mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan. Namun yang jelas ada dampak secara global, yakni satu peningkatan biaya operasional dan potensi biaya tinggi serta dobel cost hingga biaya logistik makin tinggi. Inilah yang kami cegah, karena mengacu kepada Nawacita presiden akan memangkas biaya tinggi untuk logistik," tandasnya yang turut didampingi penasehat Perwapel Drs H Djumadri Masrun.
Nurdin pun berharap kepada Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Banjarmasin bisa bertindak profesional dan mengambil suatu kebijakan bermanfaat bagi semua pihak.
Untuk itu, INSA menaruh kepercayaan penuh kepada KSOP Banjarmasin bersikap netral sebagai regulator yang akan mengawasi.
"Di Banjarmasin kita coba kontrol. BUP boleh berdiri tapi tetap menerapkan no service no pay. Mereka sebagai percontohan yang baik bukan sebaliknya. Hari ini pun INSA pusat mengadap ke Dirjen menyampaikan masalah ini," pungkasnya.
Di sisi lain, Nurdin juga mempertanyakan definisi terminal terapung milik PT Indonesia Multi Purpose Terminal di Muara Taboneo tersebut. Karena menurutnya, kalau memang masuk kategori terminal maka harus mengikuti ketentuan yang ada dalam aturan.
Seperti mengadakan satu bangunan besar yang bisa memberikan layanan multifungsi kepada penumpang, kontainer dan muatan curah.
Sementara Wakil Ketua DPC INSA Banjarmasin Ronny Eduard Rottie pun mengaku sempat terkejut adanya tambahan persyaratan yang diberlakukan tanpa ada pemberitahuan secara tertulis sebelumnya. Dimana ketika kapal miliknya MV Asia Ruby IV siap clearance untuk membawa muatan batubara menuju India sempat tertahan.
"Kami diminta melampirkan kontrak antara shipper dan Perusahaan Bongkar Muat (PBM) sebagai salah satu syarat proses clearance. Tapi untungnya waktu itu dibatalkan oleh KSOP," bebernya.
Adapun tiga poin aturan baru yang diberlakukan oleh KSOP diantaranya, Tanda Daftar Perusahaan (TDP) perusahaan, RKBM, tambahan lampiran yang harus dilampirkan pada waktu clearance.
Kedua, Pemberitahun Keagenan Kapal Asing (PKKA) harus ada sebelum kapal tiba untuk keperluan pengajuan kedatangan. Ketiga, Ship To Ship (STS) jasa barang harus dari personal shipper sendiri untuk pembayaran di KSOP dan tidak boleh diwakilkan oleh agent atau pihak lain.