Jakarta, (AntaraNews Kalsel) - Hingar bingar Asian Games 2018 memiliki kesan khusus bagi media massa serta masyarakat Indonesia, sebab Indonesia menjadi tuan rumah dalam perhelatan besar tersebut.
Cabang olahraga yang tidak awam diketahui masyarakat bahkan mulai dilirik sebagai olahraga alternatif, misal kabaddi, kurash, sambo bahkan game elektronik juga mampu masuk cabang olahraga ketangkasan alternatif, berkat terpaan informatif pemberitaan media kepada masyarakat.
Secara umum sajian pertandingan olahraga tidak akan menjadi menarik tanpa kehadiran awak media untuk mencatatkan, menggambarkan bahkan menyajikan audio visual guna disaksikan masyarakat. Sebab secara khusus media massa dan olahraga memiliki hubungan yang resiprokal atau keduanya saling berpengaruh dan saling bergantung atas kesuksesan secara komersial serta popularitas masing-masing (Coakley, 1994 : 334-335).
Bagaimana sejarahnya media massa tertarik dengan isu olahraga?
Menurut Suherman (1998: 71) olahraga lebih dulu dikenal oleh manusia dibandingkan dengan media massa. Sejarah olahraga, mayoritas sumber menuliskan bahwa bangsa Yunani dan Romawi menjadi awal untuk perkembangan olahraga, melalui berbagai permainan dan inovasi yang hingga kini banyak menyebar jenisnya di tiap-tiap negara dunia.
Media massa berkembang kemudian, di mana perkembangan olahraga sudah mulai menemukan komunitas dan penggemarnya di tiap wilayah dunia untuk mengembangkan menjadi digemari. Seiring perkembangan peradaban dan teknologi, informasi mulai dapat menembus ruang dan waktu.
Kepopularitasan olahraga dan penggemarnya terbentuk dari paparan media yang menyoroti keberlangsungan olahraga, sehingga masyarakat mulai terbiasa serta menikmatinya. Kedua hubungan tersebut mulai tidak dapat dipisahkan, ketika keduanya mulai mendapatkan keuntungan dari masing-masing sajian olahraga yang digemari masyarakat sebagai hiburan.
Di Indonesia sendiri, tautan keduanya baru dimulai pada awal abad 20, yaitu pada era pergerakan sosial (Raditya, 2009 : 25). Ketika jaman tersebut olahraga belumlah terlalu populer, di mana isu masih didominasi tentang politik, pemerintahan dan peristiwa. Hingga suatu ketika beberapa surat kabar mulai melirik hasil pertandingan sepak bola, berkuda dan isu seputar kesehatan menjadi berita pelengkap dari tema utama.
Sampai akhirnya muncul tablod serta surat kabar khusus yang membahas beritanya tentang ulasan serba olahraga, ketika masyarakat mulai menjadikan berita olahraga sebagai suatu kebutuhan.
Beberapa koran yang terbit pada masa itu, antara lain Pembrita Betawi merupakan satu dari sedikit koran yang mempelopori pemberitaan khusus untuk berita olahraga, walaupun sajiannya masih berupa kolom kecil dengan nama rubrik “Sepakraga” (Sukarmin, 2015 : 4). Bintang Batavia merupakan surat kabar yang terbit kemudian dan mengikuti jejak pendahulunya dengan memberitakan hasil perlombaan olahraga berkuda.
Setelah itu lahir Pantjaran Warta yang melakukan terobosan besar dengan menyisipkan suplemen olahraga dan seminggu sekali melalui rubrik olahraga “Kabar Sport” menyediakan empat halaman khusus liputan olahraga. Koran dan mingguan yang terbit menyusul, antara lain Djawa Tengah, Sport (mingguan), Pemandangan, dan Noesantara juga ikut menyisipkan olahraga secara berkala atau rutin dalam setiap edisinya (Sukarmin 2015 : 4).
Intervensi terhadap olahraga
Apakah semua dampak media massa baik untuk perkembangan olahraga?
Tidak bisa dipastikan secara satu sisi, bagaimana pengaruh pemberitaan media terhadap perkembangan media, tergantung bagaimana sisi penulis berita melihat permasalahan yang diangkat dan penerimaan subyektif pembaca juga menjadi hal mempengaruhi perkembangan olahraga sendiri.
Secara umum, dampak intervensi media massa terhadap olahraga bisa dikategorikan menjadi tiga, yaitu : netral, menguntungkan, dan merugikan (Suherman, 1998: 73-77). Pertama, kategori netral apabila media massa menyiarkan olahraga secara profesional, atau tidak mendiskusikannya lebih lanjut lagi. Siaran hanya sebatas oleh tujuan komersial. Contoh : ketika tayangan sepakbola di mana hanya disiarkan mulai pertama hingga ada hasil akhir, tanpa adanya komentator yang menanggapi pertandingan.
Dalam porsi ini, olahraga mengembangkan kepopularitasnya atas usaha sendiri, dan menggandeng siaran media hanya untuk komersil hiburan semata, begitu sebaliknya, media menganggap bukan sajian utama untuk digali lebih dalam lagi.
Kedua, media massa juga mampu memberikan keuntungan bagi olahraga, UNESCO dikutip oleh Bennett (1983: 241-243) mengusulkan agar media massa mengambil peran dalam meningkatkan pemahaman internasional terhadap nilai-nilai olahraga yang, tentu saja, jauh melebihi realitas dunia olahraga yang ada. Media massa juga mampu memberikan makna politik olahraga secara internasional.
Siapa yang kenal Lalu Mohammad Zohri sebelumnya? masyarakat tidak akan penasaran terhadap cabang olahraga atletik nomor lari di Asian Games 2018 jika pemegang gelar juara dunia lari 100 meter di bahwa usia 20 tahun tersebut cerita suksesnya tidak dilirik oleh media massa.
Siapakah Jonathan Christie? masyarakat bahkan mengenalnya dengan nama sapaan akrab Jojo, ia adalah pemenang medali emas tunggal putra di cabang olahraga badminton di Asian Games 2018. Aksinya membuka baju ketika melaju ke final, bahkan diabadikan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, dan langsung menjadi viral.
Kepopulerannya pada saat itu melebihi pemberitaan Mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang ditahan KPK karena dugaan korupsi, pada porsi ini olahraga mendapat keuntungan dari sorotan media massa, menjadikan seorang atlet mampu menjelma menjadi selebriti, di mana berita olahraga tidak hanya tentang prestasinya, melainkan mulai kehidupan pribadinya.
Baca juga: Rusia puji keberhasilan Indonesia selenggarakan Asian Games 2018
Ketiga, adapula peran merugikan perkembangan media massa bagi olahraga. Sage (1990: 119) menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya tarik bagi penonton dan menyesuaikan dengan kebutuhan siaran, industri televisi diizinkan untuk mengubah struktur dan proses olahraga. Tayangan olahraga dalam televisi semata-mata diarahkan untuk mendapatkan iklan, demikianlah cara media memanfaatkan olahraga.
Contoh yang terjadi, misalnya Indonesia Open 1994 di Yogyakarta, pemegang hak siar pada saat itu mengatur jam pertandingan suatu turnamen bulutangkis tingkat dunia tersebut, agar sesuai dengan prime time (waktu tayang utama) di negara yang dituju. Partai utama harus disiarkan tengah malam, karena perbedaan waktu sekitar enam jam dengan negara yang dituju siaran langsung.
Selain hal yang sudah diatur jadwalnya tersebut, partai tertentu juga harus dimainkan di lapangan utama agar dapat disiarkan ke negara tujuan. Pemimpin pertandingan, atau wasit sekalipun tidak memiliki kewenangan untuk membantah pengaturan tersebut. Dari contoh tersebut secara jelas, media massa hanya mengambil keuntungan dari hak siar, tanpa mempedulikan mengenai olahraga atau atlet itu sendiri, porsi di sini, olahraga secara langsung mendapat perlakuan yang rugi, walaupun penonton akan menyukainya karena tayang pada jam prime time.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah media massa dan olahraga adalah keterkaitan yang tidak mungkin dapat dipisahkan, karena keduanya memiliki keuntungan masing-masing, baik segi popularitas ataupun komersial bisnis. Namun, ada ketika olahraga mendapat porsi kerugian ketika intervensi media sudah terlalu jauh hingga mampu mempengaruhi hasil pertandingan.
Baca juga: Prestasi versus Birokrasi
Baca juga: Indonesia harusnya belajar basket dari Jepang, bukan (cuma) impor grup idola 48
Oleh Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Tasrief Tarmizi