Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 1950-an menerbitkan beragam buku bahasa Indonesia bacaan buat murid-murid Sekolah Rakyat Negeri (SRN) yang kini bernama Sekolah Dasar Negeri (SDN).
Buku bacaan khusus untuk kelas III SRN terbitan Departemen P dan K itu bernama "Bendera Berkibar" (pada sampul buka tampak gambar bendera Merah Putih seakan berkibar).
Dalam buku bacaan anak-anak tersebut, ada beberapa cerita rakyat atau dongeng, di antaranya berjudul "Badjing Jang Tjerdik" (ejaan lama dan ejaan baru Bajing yang Cerdik). Namun, tanpa penulis (anonim).
Kalau dialihbahasakan ke bahasa daerah Banjar Kalimantan Selatan (Kalsel) dongeng itu berjudul "Tupai Nang Pintar (Akalan/Berakal)".
Sebagaimana pelajaran Bahasa Indonesia bidang kesusastraan, yang namanya dongeng bukan berdasar fakta atau catatan seperti penelusuran sejarah dengan pembuktian mendekati kebenaran.
Akan tetapi, yang namanya dongeng sebuah rekayasa pemikiran sejak lama dari para penduhulu hingga turun-temurun dari mulut ke mulut, dan belum banyak dalam bentuk buku/tertulis, terkecuali masuk dalam pencetakan buku nasional dan masuk program pengayaan bahasa Indonesia.
Namun, dongeng yang juga sebagai pengantar tidur anak-anak itu ada sebuah pembelajaran/pendidikan yang harus menjadi perhatian besama, terutama yang berkaitan dengan hal-hal buruk atau kejahatan agar jangan sampai terulang.
Dari dongeng itu, menunjukkan nenek moyang atau orang-orang tua tempo dahulu peduli dengan pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama dalam hal "character building" atau kepribadian/sikap moral dan sikap mental (mental attitude).
Orang-orang tempo dahulu atau berabad-abad tahun silam menyadari arti penting pendidikan kepribadian guna mewujudkan pribadi-pribadi yang berakhlak mulia, sebagaimana tuntunan Islam bahwa Allah Swt. mengutus Rasulullah Muhammad saw. untuk memperbaiki akhlak manusia.
Padahal, zaman nenek moyang tersebut mungkin belum memeluk Islam. Akan tetapi, secara naluri mempunyai pemikiran jauh ke depan terhadap generasinya agar berkepribadian yang baik (Islam: akhlakul karimah/berakhlak mulia dan terpuji).
Oleh karena itu, dalam dongeng atau cerita rakyat penuh dengan tamsil dan ibarat sebagai telaahan untuk menjadi pedoman/pegangan hidup dan kehidupan supaya lebih baik.
Dongen
Dalam dongeng bukan cuma manusia yang bisa bicara, melainkan juga menceritakan semua binatang dan pepohonan pun bisa "bapender" (ngomong/bercakap) alias bicara. Sebagaimana pada masa Nabi Sulaiman alaihi salam semua binatang, bisa bicara, sehingga pesuruh Allah Swt. ketika itu mudah berkomunikasi.
Alkisah zaman dahulu kala seorang laki-laki pencari kayu dengan membawa sebilah kampak (kapak) jalan-jalan dalam hutan rimba belantara untuk mencari kayu serta keperluan lain buat kebutuhan hidup.
Dalam perjalanan di rimba belantara itu terdengar suara meminta tolong. "Tolong ... tolong ... aku terjepit," dengar laki-laki tersebut. Dia pun segera mendatangi suara yang meminta tolonng itu, ternyata ada seekor ular besar terjepit di pohon yang besar pula sehingga tidak bergerak lagi.
Melihat nasib ular yang terjepit itu dan bisa mati kelaparan karena dapat mencari makan sebab badan terjepit maka laki-laki tersebut membantu untuk melepaskan ular dari jepitan pohon dengan terpaksa menggunakan kapaknya memotong kayu yang menjepitnya.
Sebelum mendapatkan pertolongan ular itu berjanji akan menjadi sahabat baik laki-laki yang membawa kapak tersebut kalau dirinya sudah lepas dari jepitan pohon kayu.
Namun, rupanya bagaikan peribahasa atau pepatah "air susu dibalas dengan air tuba" (kebaikan dibalas dengan kejahatan), ular yang terlepas dari jepitan pohon itu mau memangsa laki-laki penolong tersebut. Mungkin karena lama terjepit tidak ada mendapatkan makanan sehingga lapar dan menjadikan sang penolong menjadi santapannya.
Karena ganasnya ular tersebut, laki-laki itu pun lari terbirit-birit, pontang-panting menghindari kejaran ular yang sebelumnya mendapatkan pertolongan dari dirinya. Ketika lari tersebut, bertemu dengan seekor bajing.
Bajing pun bertanya kepada laki-laki yang napasnya terengah-engah karena kejaran ular yang tidak mau kenal balas budi itu. "Ada apa?" ucap bajing. Si laki-laki itu pun menjawab dan menceritakan duduk persoalannya.
Mendengar penuturan laki-laki penolong itu, bajing seakan tidak percaya, lalu mengajaknya bersama ular tersebut ke tempat kejadian perkara (TKP) untuk reka ulang seolah-olah mau melihat kejadian yang sebenarnya.
"Coba ulang bagaimana kejadian awal, aku melihat keadaan yang sebenarnya agar aku bisa membantu siapa yang salah dan mendapat hukuman, seperti laki-laki penolong menjadi makanan ular," ujar bajing.
Pendek cerita reka ulang pun dilakukan, yaitu ular kembali dalam posisi terjepit. Dalam keadaan ular terjepit itulah, dengan kerlingan mata/bahasa isyarat banjig menyuruh laki-laki penolong tersebut membunuh si ular jahat itu. Ular pun akhirnya mati.
Pelajaran
Dalam dongeng Banjing yang Cerdik itu pada dasarnya sarat ibarat atau iktibar terkait dengan perilaku seseorang jika mau mencermati dan mendalami yang bisa menjadi pembelajaran, setidaknya, seperti sifat kemunafikan, tidak menepati janji, dan akhirnya berdampak buruk pada diri sendiri.
Sebagaimana si ular yang sudah mendapat pertolongan bukan cuma sekadar lupa akan janjinya, melainkan memang ingkar, tidak mau menepati janji, yaitu mau memangsa orang yang menolongnya. Dalam Islam, orang yang mengingkari janji itu disebut munafik, dan balasannya neraka, azab yang kekal abadi di alam akhirat.
Di sisi lain seorang laki-laki yang memberikan pertolongan dengan ikhlas karena faktor prikemanusiaan (prikebinatangan, red.) semata dan sudah diambang maut oleh kejaran ular yang tidak tahu membalas budi itu akhirnya selamat atas pertolongan banjing yang cerdik.
Islam pun atau mungkin agama apa pun mengajarkan, siapa yang menyamai kebaikan, akan memanen kebaikan pula. Sebaliknya, seseorang berbuat jahat akan berakibat buruk terhadap diri sendiri, yaitu bagaikan pepatah "tangan mencencang bahu memikul".
Oleh sebab itu, pada dasarnya agama apa pun menganjurkan penganutnya untuk senantian ikhlas dan berbuat kebaikan, seperti laki-laki pencari kayu yang tidak berpikir panjang serta mengharap imbalan langsung memberikan bantuan melepaskan ular dari jepitan pohon.
Dengan pelajaran dari dongeng Bajing yang Cerdik itu, mungkin tidak perlu percaya penuh dengan perkataan atau mulut manis/janji-janji orang belum kita kenal secara baik. Sikap kehati-hatian atau kewaspadaan hendaknya menjadi perhatian dan pertimbangan yang prima.
Tidak menutup kemungkinan di balik janji-janji muluk dan perkataan yang manis itu bagiakan peribahasan "ada udang di balik batu" (sesuatu yang tidak diketahui). Seperti sebuah lagu yang berasal dari peribahasa pula, "dalam lautan dapat diduga, dalam hati siapa tahu".
Alhamdulillah, kalau mulut manis atau janji-janji itu sesuai dengan kenyataan, yaitu sesuai kata dengan perbuatan (dalam pengertian positif), sebagaiman dalam Alquran Surah Alikhlas: "Katakan Allah itu satu, tidak beranak dan tidak diperanakan, dan tiada ada serikat/sekutu bagi-Nya".
