Komunitas Dayak Pitap dengan populasi sekitar 1.400 jiwa ini bermukim di dataran tinggi tersebar di lima kampung besar yakni ; Ajung, Iyam, Kambiyain, Langkap dan Panitikin. Terlepas dari administratif desa yang diatur negara, tatanan sosial Dayak Pitap terbagi lagi dalam 19 wilayah balai adat, masing-masing kelompok memiliki pimpinan adat.
Persisnya permukiman, ladang hingga kebun mereka berada di sekitar Hulu Sungai Pitap di bawah kaki Gunung Hauk nan sakral menyimpan hutan hujan tropis yang dikeramatkan seluas 22.806 hektare. Letak georafis kawasan ini masih satu ke satuan Pegunungan Meratus yang terhampar 600 kilometer, melintang dari arah tenggara Provinsi Kalimantan Selatan hingga melintasi Kalimantan Timur.
Tanah warisan yang subur di bentang alam ini membuat komunitas Dayak Pitap tetap eksis dan bertahan dengan turun temurun menjalankan kearifan lokal tentang ekonomi, lingkungan hingga sosial agama.
Bisa dikatakan nyaris seluruh Kepala Keluarga hingga perempuan dewasa Dayak Pitap bertumpu hidup pada bidang pertanian ; peladang dan kebun. Ekonomi lain sebagian dipasok dari “sedekah” hutan seperti madu lebah, buah-buahan, rotan, damar, gaharu hingga berburu hewan liar.
Rasa-rasanya, semua kebutuhan dasar manusia tersedia dan bisa didapatkan oleh masyarakat Dayak Pitap mulai dari air, pangan hingga ruang hidup.
Kepala Desa Kambiyain Anang Suriani (39) mengatakan rata-rata masyarakat memiliki ladang 2-3 hektar per keluarga untuk menanam padi serta komoditas tanaman penunjang pada sela lahan seperti singkong, talas hingga pisang.
“Produksi per hektar rata-rata 2-3 ton (gabah kering),” ungkapnya di Desa Kambiayin, Kabupaten Balangan.
Saban tahun, produksi yang hanya untuk asupan nasi keluarga di rumah ini dipastikan surplus kurang lebih 200 persen dari kebutuhan sepanjang musim siklus tanam-panen.
“Paling habis 700 kg gabah kering (asumsi empat orang dalam setiap KK),” ujar Anang berdasarkan pengalaman pribadi dan keluarganya.
Surplus hasil produksi menjadi cadangan pangan masyarakat. Setiap rumah punya lumbung khusus berbentuk lingkaran panjang untuk menyimpan gabah kering dengan daya tampung bervariatif dari lima sampai 10 ton gabah kering.
Rupanya leluhur Dayak Pitap juga punya konsep mitigasi krisis pangan ancaman perubahan iklim seperti isu yang dikhawatirkan dunia saat ini. Jadi, hasil bumi khusus gabah atau beras pantang untuk di jual hal demikian merupakan wasiat bahari supaya anak cucu tak mengalami krisis pangan apabila terjadi musibah atau bencana alam menahun yang berpotensi tak bisa tanam.
Ditaksir cadangan gabah segitu banyaknya, mampu bertahan antara tiga – lima tahun. “Kalau Indonesia perang, kebutuhan logistik habis kita tiga tahun masih bisa makan nasi, kalau habis juga bisa pinjam lagi ke keluarga,” celetuk Anang mengukur kekuatan pangan Dayak Pitap.
Jadi, jika stok pangan melimpah seperti kondisi demikian ada kebiasaan masyarakat untuk memulai atau konsentrasi menggarap lahan kebun yang bernilai ekonomis untuk kebutuhan hidup hingga pendidikan, diantaranya ; karet, jengkol, pisang, umbi-umbian, cabai rawit, tomat, kacang tanah.
“Biasanya ada pengepul datang ke kampung,” ujar Anang.
Di tengah hiruk pikuk ancaman masa depan terkait isu krisis pangan yang mendunia, setelah berbincang dengan Anang rasa-rasanya Dayak Pitap yang punya konsep hidup sederhana ini bisa saja bertahan, apalagi kalau hanya dipicu perihal pupuk mahal di Indonesia.
Ekonomi hijau dan pendidikan
Anang sosok pemuda Dayak Pitap yang penulis nilai mempunyai pemikiran revolusioner untuk kemajuan desa ini mengatakan hasil bumi yang bernial ekonomis ini mampu untuk merubah taraf pendidikan masyarakat.
“Semuanya sudah tersedia, tanah kita sangat kaya, asal mau bekerja saya rasa rata-rata kepala keluarga bisa untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi,” ungkapnya.
Modern ini, kata Anang, sebagian besar masyarakat sudah melek terhadap pendidikan. Ia punya harapan besar Dayak Pitap mempunyai generasi yang terpelajar tanpa meninggalkan adat istiadat.
Baginya, melalui pendidikan era sekarang ini bisa menjadi alat perjuangan untuk melindungi eksistensi sosial hingga lingkungan hidup Dayak Pitap dari ancaman perampasan pihak luar.
“Rasanya, sekarang ini tinggal kemauan anak masing mau kuliah atau tidak. Orang tua dari hasil tani di sini mampu untuk membiayai,” ujar Anang.
Anang selagi menjabat sebagai kepala desa saat ini sudah memulai langkah dan menyusun rencana untuk membangun rantai ekonomi sektor hulu hilir industri pertanian hingga pariwisata.
Niat ini, kata Anang, salah satunya aktif didorong oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan selatan dengan beragam program terkait pengembangan ekonomi yang ramah lingkungan yang menghasilkan bagi desa dan masyarakat.
“Sejauh ini berjalan harmonis antara pemerintah desa dengan Walhi,” ungkapnya.
Salah satu upaya membangun generasi ini juga tercermin dari semangat seorang warga Desa Kambiayin, yakni Hasan (48) ayah dari Megawati, Ida Yasa, Elsa, Karismon dan Yuliana.
Perjuangan Hasan merintis usaha sejak awal berkeluarga di usia 20’an untuk masa depan anak patut diacungi jempol. Ia termasuk orang yang tak banyak diwarisi tanah apalagi harta oleh orang tuanya, namun mampu menghantar dua anaknya ke perguruan tinggi, sedangkan sisa dipastikan sama.
Dua anak ini yakni ; Megawati (26) kuliah di Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Banjarmasin jurusan Bahasa Inggris dan Ida Yasa jurusan teknik informatika. Dan akan menyusul Elsa hampir lulus di SMK Batu Mandi. Sedangkan, anak lainya ada Karismon sekarang duduk di bangku kelas 2 SMP dan yang terakhir Yuliana masih berumur dua tahun.
Hasan mengatakan kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan ini sepenuhnya dari hasil berkebun yang ia kumpulkan bertahun-tahun. Selain itu, aset tanah dan tanaman juga disiapkan untuk menunjang harapan masa depan anak cucu.
“Contoh dari nenek, orang tua sampai ke kita kehidupan begini saja benar-benar minim, anak cucu ke depan harus ‘makan’ bangku sekolahan. Kita siapkan selagi kita mampu,”ujarnya.
“Biar saja di masa kita sakit yang penting anak cucu punya harapan dan bisa sukses bermanfaat untuk orang banyak,” sambungnya.
Dalam perjalanan menembus rimba keramat, Hasan bercerita hasil kebun saban tahun. Mulai dari kacang tanah seluas satu hektare omset Rp15 juta-Rp20 juta sekali panen asumsi harga per satu gantang Rp20 ribu, untuk kacang ini dalam setahun bisa dua kali panen. Di sela lahan kacang tanah ini juga ada pisang dan singkong, capai aja Rp2 juta sepanjang musim sebagai tambahan.
Terus pemasukan yang terbilang intens yakni karet sebanyak 11 ribu batang umur 25 tahun, sekali panen rata-rata Rp1,5 juta, per bulan biasanya empat kali panen. Jadi, jika dikalkulasikan dari karet, Hasan potensi dapat uang Rp72 juta per tahun.
“Sekarang kita juga garap 85.000 batang karet hutan sudah umur tiga tahun,” ujar Hasan.
Dengan kehidupan sederhana di Desa Kambiyain, Hasan bilang hasil pertahun dari kebun ini sebagian besar keluar untuk ongkos sekolah dan tabungan anak di masa depan.
Ancaman dan perjuangan
Siapa sangka, di balik kisah ‘kesejahteraan’ ada ancaman terhadap alam dan sosial budaya Dayak Pitap yang mapan ini. Cita dan cinta Anang, Hasan dan masyarakat yang sepemikiran ini bisa saja pupus bila diganggu perusahan kayu, sawit, biji besi hingga batu bara yang notabene potensi merusak hutan dan merubah sosial masyarakat.
Dayak Pitap punya catatan perjuangan membertahankan tanah moyang dan ruang hidup sebagai dayak di bentang Pegunungan Meratus yang kaya mineral ini. Dulu, mereka tegas menolak ‘kapitalis’ tersebut masuk dengan perjuangan yang panjang dan pelik.
Komunitas Dayak Pitap secara adminisratif menempati lima desa dalam wilayah adat tersebut, yaitu Desa Mayanau, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap, Desa Kambiyain dan Desa Ajung.
Gerakan masyarakat Dayak Pitap dalam upaya melindungi hutan dan wilayah kelola mereka direpresentasikan melalui gerakan menolak investasi untuk industri yang dinilao merusak seperti ; pengusahaan hutan, perkebunan sawit skala besar, tambang bijih besi, pertambangan batu bara hingga penebangan liar.
Catatan Walhi Kalsel senada dengan kesaksian tokoh masyarakat : bahwa perjuangan ini dimulai dari tahun 1980 hingga 1987, waktu itu Dayak Pitap secara kolektif membangun gerakan perlawanan menolak aktivitas perusahaan PT Fass Forest bagian dari Daya Sakti Group. PT Fass Forest saat itu telah mengantongi SK.HPH No. 174/kpts/um/3/1980 tanggal 14 Maret 1980 yang merupakan dokumen untuk melegalkan eksploitasi yang akan dilakukan perusahaan tersebut.
Praktik eksploitasi hutan yang menyebabkan deforestasi itu juga diiringi kisah mistis, diyakini masyarakat merupakan sikap leluhur mengutuk perambah hutan keramat di wilayah adat Dayak Pitap.
Aktivitas penebangan akhirnya berhenti setelah peristiwa di luar nalar terjadi, empat pekerja dari perusahaan gila dan 17 warga tewas akibat penyakit diduga akibat mengkonsumsi air sungai yang tercemar pada 1987.
Perambah hutan pergi, namun dampaknya masih terasa. Pada 1995 banjir bandang terjadi, kayu gelondongan berdiameter ‘raksasa’ jenis meranti dkk ikut hanyut lantas menghancurkan rumah hingga fasilitas umum. Dua orang tewas, ternak dan kebun rusak. Kepiluan diperparah karena lumbung pangan di rumah-rumah juga disapu banjir, sehingga menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat Dayak Pitap.
Selang empat tahun masyarakat kembali terancam, tahun 1999 PT Kodeco mendapat izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) di wilayah adat Dayak Pitap sebagai kompensasi hutan produksi yang diubah menjadi kawasan Hutan Lindung Kapet Batulicin atau yang dikenal dengan istilah ‘Tukar Guling Hutan Lindung Meratus’. Lokasinya, bekas lahan PT Fass Forest yang ditinggalkan pada tahun 1987 itu.
Tidak cukup dengan kehadiran PT Kodeco, diam-diam hadir lagi satu perusahaan yang mempunyai izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bernama PT Bina Alam Indah Lestari (BAIL) yang juga menduduki wilayah adat Dayak Pitap. Tahun 1999 ini rencana ekspansi perkebunan sawit 1.000 hektare oleh PT Malindo Jaya Diraja (MJD) juga dinilai mengancam hidup Dayak Pitap.
Tahun itu, Walhi Kalsel turun tangan. 15 hingga 17 September 1999 dilaksanakan lah pertemuan lima dusun ; Ajung Hilir, Dusun Ajung Hulu, Dusun Nanai, Dusun Kambiyain dan Dusun Iyam. Pokok pembahasan membebaskan Dayak Pitap dari serangkaian gerakan industri yang dinilai mengancam. Siasat dan gerakan aksi protes dilayangkan, pada 2001 perusahaan sawit ini menghentikan operasi setelah membangun empat hektare lokasi pembibitan.
Masih ada lagi, kini dari luar negeri melirik kekayaan alam Dayak Pitap. Mei 2001 terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara (sebelum pemekaran kabupaten) dan investor asal Korea Utara yakni PT Han In Iron Mining.
Perusahaan ini juga mempunyai anak perusahaan dioperasikan di wilayah adat Dayak Pitap. Perusahaan tersebut bernama PT Sari Bumi Sinar Karya (SBSK) yang telah mengantongi izin konsesi sejak 1998 seluas 3.604 hektar.
Sekarang perusahaan ini tak ada kabar terkait produksi, namun sebelumnya disebut sudah beberapa kali survei pada wilayah keramat Dayak Pitap itu di kawasan Tanalang. Izin konsesi SBSK juga masih berlaku sampai 2029.
Kepala Adat Dayak Pitap (2000-2005) Rahmadi mengatakan tanah, air, hutan sakral yang berkali-kali terancam dan diperjuangkan ini merupakan ‘nyawa’ masyarakat untuk hidup dan berkehidupan sejatinya orang dayak di Kalimantan.
“Kenapa dipertahankan tanah Dayak Pitap ini karena adalah penghidupan dan tanah pemujaan leluhur kami misalnya dengan ritual adat melalui aruh (ritual pasca panen),” ungkapnya saat ditemui ANTARA.
Rahmadi mengatakan Gunung Hauk, Hutan Keramat hingga ladang tak bisa dilepaskan dari identitas Dayak Pitap. Apabila hilang maka putuslah adat istiadat.
Semua masyarakat Dayak Pitap memberikan pernyataan sewarna, betapa berharga sisa hutan di Kalimantan ini. Bagi mereka seisi alam di Dayak Pitap sakral untuk kehidupan mereka.