“Perguruan tinggi harus inklusif, harus bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Untuk itu hati-hati dalam penetapan tarif UKT, jangan menaikkan UKT. Namun buka ruang atau tambah kelompok tarif UKT,” katanya dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Nizam menuturkan biaya yang ditanggung mahasiswa nantinya harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
Sementara itu, Plt. Sekretaris Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek Tjitjik Srie Tjahjandarie mengatakan penetapan UKT untuk setiap program studi pada setiap program pendidikan tinggi sendiri harus didasarkan pada Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
Baca juga: UGM akan evaluasi kerja sama pinjaman daring untuk pembayaran UKT
Baca juga: Komisi X DPR RI usulkan kredit bagi mahasiswa untuk bayar UKT
Sedangkan penetapan BKT untuk setiap prodi pada program diploma dan program sarjana harus berdasarkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).
Ia menjelaskan SSBOPT merupakan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yakni disebutkan bahwa pemerintah perlu menetapkan SSBOPT secara periodik.
Penetapan SSBOPT oleh pemerintah harus mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah.
SSBOPT tersebut menjadi dasar dalam pengalokasian anggaran APBN untuk Perguruan Tinggi Negeri dan penetapan BKT untuk setiap prodi pada program diploma dan program sarjana.
Untuk tahun ini, Kemendikbudristek mengatur melalui Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemdikbudristek.
“Kami juga merilis Kepmendikbudristek Nomor 54/P/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi,” ujarnya.*
Baca juga: Tanggapi soal UKT mahal, Ganjar: Hentikan liberalisasi pendidikan
Baca juga: Anies: Kampus Merdeka bukan berarti “merdeka” naikkan biaya UKT
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS