Bengaluru (ANTARA) - Harga minyak naik sekitar satu persen pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), di tengah tanda-tanda perlambatan produksi AS, tetapi mencatat rugi mingguan mengakhiri reli mingguan terpanjang mereka tahun ini karena meningkatnya kekhawatiran pertumbuhan permintaan global.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober terangkat 68 sen atau 0,8 persen, menjadi menetap pada 84,80 dolar Amerika Serikat (AS) per barel di London ICE Futures Exchange.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September meningkat 86 sen atau 1,1 persen menjadi ditutup pada 81,25 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Kedua harga acuan terdorong lebih tinggi pada Jumat (18/8), setelah data industri menunjukkan jumlah rig minyak dan gas alam AS, indikator awal produksi di masa depan, turun untuk minggu keenam berturut-turut. Kemerosotan produksi AS dapat memperburuk keketatan pasokan yang diantisipasi hingga akhir tahun ini.
Kekhawatiran itu, didorong oleh penurunan produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, membantu kenaikan harga minyak selama tujuh minggu berturut-turut sejak Juni. Minyak mentah Brent naik sekitar 18 persen dan WTI naik 20 persen selama tujuh minggu yang berakhir 11 Agustus.
Namun minggu ini, harga minyak turun sekitar 2,0 persen dari minggu lalu, karena krisis properti yang memburuk di China menambah kekhawatiran tentang pemulihan ekonomi yang lamban dan mengurangi minat investor terhadap aset-aset berisiko di seluruh pasar.
Baca juga: Minyak naik ditopang pelemahan dolar dan China berusaha dorong ekonomi
Baca juga: Harga minyak tertekan kekhawatiran ekonomi China
"Kekhawatiran bagi investor tetap terfokus pada ketegangan antara pertumbuhan global yang melambat dan pasokan global yang masih ketat," kata Rob Haworth, manajer portofolio senior di US Bank Asset Management.
"Harga kemungkinan akan tetap di kisaran ketat untuk saat ini," kata Haworth, menambahkan bahwa permintaan dipertanyakan karena investor khawatir dengan lemahnya data dari China.
Kekhawatiran juga memuncak bahwa Federal Reserve AS belum selesai menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi. Biaya pinjaman yang lebih tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya mengurangi permintaan minyak secara keseluruhan.
Harga acuan minyak semakin tertekan oleh melemahnya permintaan musiman menjelang musim gugur, kata Jay Hatfield, CEO Infrastructure Capital Management.
Hatfield memperkirakan permintaan akan bertahan di China, meskipun ekonominya melambat dan memperkirakan harga minyak akan diperdagangkan antara 75 dolar AS hingga 90 dolar AS per barel selama beberapa bulan mendatang.
Baca juga: Minyak naik tipis di Asia, tapi di jalur mencatat kerugian migguan
Baca juga: Emas naik hentikan penurunan 9-sesi beruntun
Baca juga: Dolar AS jatuh setelah data menunjukkan inflasi kawasan euro melambat
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Budisantoso Budiman